Kaderisasi pelatih asal Italia lebih baik ketimbang Inggris. Bahkan, berbicara kualitas peracik strategi dari Italia lebih baik dari Jerman atau Spanyol setidaknya untuk musim ini. Jika sampel yang pas untuk diambil adalah Liga Primer Inggris atau Liga Champions sekalipun ‘The Italian Job’ tetap kokoh menduduki posisi teratas sebagai pelatih paling mengesankan, saya ulangi, setidaknya untuk saat ini/musim ini.
Sudah dua musim berlalu Liga Inggris dikuasai oleh tim yang ditangani pelatih berpaspor Italia. Tentu masih segar dalam ingatan bagaimana Claudio Ranieri mengukir cerita Cinderella bersama Leicester City. Dengan pemain yang alakadarnya, Claudio berhasil menjadikan King Power Stadium sebagai tempat paling ditakuti peserta Liga Primer musim 2014/15.
Jamie Vardy menjadi lumbung gol, Riyad Mahrez menjadi penyedia peluang, N’Golo Kante sebagai penyeimbang tim. Sesederhana itu pula permainan Leicester di analisis musim itu. Meski amat sederhana, cara menemukan solusinya sedikit rumit. Karena Leicester pada saat itu bermain tidak hanya dengan strategi melainkan juga dengan daya juang tinggi, kekompakan, keyakinan, dan sedikit keberuntungan.
Kata terakhir agaknya terlalu mengundang kontroversi. Ya, keberuntungan. Sebagian orang percaya bahwa keberuntungan itu takhayul dalam sepakbola, namun bagi sebagian lagi malah sebaliknya. Jadi, tergantung dari sudut pandang masing-masing individu, jika keberuntungan itu tidak ada maka tak perlu menganggap kata diatas ada, pun sebaliknya.
Terbukti, pada musim kedua Claudio tidak bisa mempertahankan tren positifnya, alih-alih mempertahankan gelar juara, Ia malah nyaris membawa Leicester ke jurang degradasi. Imbasnya, Ia di PHK sebagai pegawai King Power di pertengahan musim ini. Agar tak mengundang kontroversi, agaknya kinerja Claudio bisa dibilang sebagai kejutan bukan keberuntungan. Dan, kejutan macam itu langka terjadi, maka tak heran jika banyak yang berasumsi bahwa cerita Cinderella dalam sepakbola yang Leicester buat tidak akan pernah terjadi lagi.
Disamping Claudio yang hebat musim itu, perlu diingat tim-tim besar di Liga Primer tengah tidak konsisten. Namun tetap saja, juara adalah juara, sebuah titel yang disematkan kepada yang terbaik. Logikanya, apapun alasan Leicester juara, merekalah yang terbaik dan Claudio-lah pelatih hebat pada musim itu.
Dan, di musim berikutnya neraca perburuan pelatih berdarah Italia cukup tinggi. Semua atas kinerja hebat Claudio di musim sebelumnya. Terdaftar, Watford sempat mengejutkan bersama Walter Mazzari, namun sayang kendala bahasa menjadi bumerangnya.
Lantas, kehebatan pelatih Italia dilanjutkan kepada Antonio Conte yang menangani The Blues Chelsea. Sebuah perjudian dilakukan manajemen London Biru, mereka mengontrak pelatih yang minim pengalaman di negeri sepakbola yang mengandalkan kick n’rush. Sebuah perjudian pula ketika Conte memilih menggunakan pola tiga bek saat bersua Arsenal di pertengahan babak kedua. Namun, di saat itu pula dirinya mampu menemukan formula terbaik.
Sejak saat itu, Chelsea yang awalnya tidak konsisten menjadi begitu digdaya, 13 pertandingan di lalui tanpa kekalahan, sebuah  prestasi yang membanggakan bagi seorang debutan. Jika ada pemain yang paling beruntung di Liga Primer dua musim terakhir ini adalah N’golo Kante. Selain berhasil menggondol dua trofi di dua klub berbeda, Ia juga beruntung bisa dilatih oleh dua orang Italia.
Claudio meningkatkan kepercayaan diri seorang Kante, sedangkan Conte membuatnya lebih kuat. Bukan tidak mungkin Kante akan menjadi manusia 100 juta euro selanjutnya setelah Paul Pogba. Ada dua hal yang menarik dari kinerja dua pelatih Italia yang sama-sama meraih trofi Liga Primer bagi klubnya masing-masing.
Pertama, seperti yang sudah dijelaskan diatas mereka sama-sama mengandalkan N’golo Kante sebagai jantung permainan tim. Bisa dibilang bahwa kuncinya ada di Kante, karena Leicester City setelah ditinggal Kante kehilangan jati dirinya sebagai tim juara, akankah Chelsea pun begitu jika ditinggal oleh pemain bernomor punggung tujuh ini?
Kedua, baik Claudio maupun Conte tidak mengandalkan satu pun pemain Italia di dalam timnya. Leicester saat juara didominasi oleh pemain asli Inggris, sedangkan Chelsea didominasi oleh pemain Spanyol, keduanya tanpa satu pun pemain Italia. Awalnya Conte meminta agar pihak The Blues mendatangkan bek Italia macam Leonardo Bonucci atau Alesio Romagnoli namun yang datang malah David Luiz. Hal tersebut membuat Conte menerapkan strategi tanpa pemain andalannya (baca: dari Italia).
Di kancah domestik Italia, pelatih lokal masih sangat mendominasi seperti Luciano Spaletti, Stefano Pioli (catatan: diberhentikan Inter di pekan ke-34), Vicenzo Montella, Simone Inzaghi, Gianpiero Gasperini, dan lainnya. Namun yang paling beruntung disini adalah Massimiliano Allegri, Ia didapuk sebagai pelatih Juve disaat tim asal Turin itu tengah berjaya. Semua berkat The Confather alias Antonio Conte.
Ia menjadi ahli waris Antonio Conte di Juventus Stadium. Walaupun begitu, Allegri tetap berjasa dalam perkembangan Juve menjadi tim paling digdaya. Ada satu pernyataan yang perlu diajukan; Conte membangun, Allegri menyempurnakannya. Bersama eks pelatih AC Milan itu, La Vecchia Signora dua kali dibawa ke final Liga Champions disamping mempertahankan scudetto beruntun.
Juventus dijadikan tim yang terus berkembang lebih kuat oleh Allegri. Selain kekuatan finansial untuk menggaet siapapun yang dibutuhkan, Allenatore Allegri berkontribusi membangun mental juara di Eropa. Sebelumnya, Juve seperti tim yang jago kandang. Di Italia mereka digdaya, sedangkan di Eropa mereka melempem.
Label jago kandang terasa masuk akal mengingat mereka tak ubahnya Bayern Munchen di Jerman yang hobi menggembosi para rival dengan menggaet pemain andalan dengan harga berapapun dari klub Dortmund dan lainnya. Contohnya ketika menggaet Gonzalo Higuain dari Napoli seolah mereka sudah mencolong start dalam perebutan scudetto karena pemain andalan pelatih Maurizio Sarri di kudeta ke Juve.
Pun dengan Mattia Caldara, disaat Atalanta tengah semangat memantaskan diri sebagai tim kuda hitam, pemain kunci mereka dibajak Juve. Seolah scudetto bisa diraih sebelum musim dimulai. Maka tak heran jika kehebatan Juve di Eropa anti-klimaks ketimbang di kancah domestik mengingat di Seri A tidak ada lawan sepadan. Namun, untuk musim ini mereka berhasil mengalahkan Barcelona yang pada final Liga Champions sebelumnya menjadi mimpi buruk Buffon dan kolega.
Kali ini mereka mulai melakukan pembajakan pemain lebih meluas, Dani Alves di gaet ke Turin. Imbasnya, mereka bisa memantaskan diri sebagai klub terbaik yang di huni skuad mumpuni bukan saja di domestik melainkan juga mancanegara. Terbaca mudah, Juve ingin jadi penguasa dan mengambil alih kedigdayaan Barcelona dan menyetarakan diri dengan Real Madrid atau Bayern Munchen.
Sejatinya, Claudio, Conte, dan Allegri saling menguntungkan dan bekerjasama. Allegri beruntung mendapat warisan dari Conte berupa skuad hebat, sedangkan Conte beruntung mendapat N’golo Kante dari Claudio. Seperti paham Komunisme, ketiganya tengah menyebar bahwa tokoh Catenaccio hidup kembali dalam wujud lain.
Claudio pergi ke Leicester untuk membuktikan diri bahwa orang Italia belum habis di sepakbola. Conte pergi ke London untuk meneruskan perjuangan Claudio, Ia menebarkan pahamnya (baca: catenaccio modern) dengan propaganda; pertahanan adalah kunci! Sedangkan Allegeri mengambil alih Juve yang dibangun Conte untuk menguasai Eropa. Sebuah strategi menguasai dunia yang mematikan dari The Italian Job.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H