Kedua, baik Claudio maupun Conte tidak mengandalkan satu pun pemain Italia di dalam timnya. Leicester saat juara didominasi oleh pemain asli Inggris, sedangkan Chelsea didominasi oleh pemain Spanyol, keduanya tanpa satu pun pemain Italia. Awalnya Conte meminta agar pihak The Blues mendatangkan bek Italia macam Leonardo Bonucci atau Alesio Romagnoli namun yang datang malah David Luiz. Hal tersebut membuat Conte menerapkan strategi tanpa pemain andalannya (baca: dari Italia).
Di kancah domestik Italia, pelatih lokal masih sangat mendominasi seperti Luciano Spaletti, Stefano Pioli (catatan: diberhentikan Inter di pekan ke-34), Vicenzo Montella, Simone Inzaghi, Gianpiero Gasperini, dan lainnya. Namun yang paling beruntung disini adalah Massimiliano Allegri, Ia didapuk sebagai pelatih Juve disaat tim asal Turin itu tengah berjaya. Semua berkat The Confather alias Antonio Conte.
Ia menjadi ahli waris Antonio Conte di Juventus Stadium. Walaupun begitu, Allegri tetap berjasa dalam perkembangan Juve menjadi tim paling digdaya. Ada satu pernyataan yang perlu diajukan; Conte membangun, Allegri menyempurnakannya. Bersama eks pelatih AC Milan itu, La Vecchia Signora dua kali dibawa ke final Liga Champions disamping mempertahankan scudetto beruntun.
Juventus dijadikan tim yang terus berkembang lebih kuat oleh Allegri. Selain kekuatan finansial untuk menggaet siapapun yang dibutuhkan, Allenatore Allegri berkontribusi membangun mental juara di Eropa. Sebelumnya, Juve seperti tim yang jago kandang. Di Italia mereka digdaya, sedangkan di Eropa mereka melempem.
Label jago kandang terasa masuk akal mengingat mereka tak ubahnya Bayern Munchen di Jerman yang hobi menggembosi para rival dengan menggaet pemain andalan dengan harga berapapun dari klub Dortmund dan lainnya. Contohnya ketika menggaet Gonzalo Higuain dari Napoli seolah mereka sudah mencolong start dalam perebutan scudetto karena pemain andalan pelatih Maurizio Sarri di kudeta ke Juve.
Pun dengan Mattia Caldara, disaat Atalanta tengah semangat memantaskan diri sebagai tim kuda hitam, pemain kunci mereka dibajak Juve. Seolah scudetto bisa diraih sebelum musim dimulai. Maka tak heran jika kehebatan Juve di Eropa anti-klimaks ketimbang di kancah domestik mengingat di Seri A tidak ada lawan sepadan. Namun, untuk musim ini mereka berhasil mengalahkan Barcelona yang pada final Liga Champions sebelumnya menjadi mimpi buruk Buffon dan kolega.
Kali ini mereka mulai melakukan pembajakan pemain lebih meluas, Dani Alves di gaet ke Turin. Imbasnya, mereka bisa memantaskan diri sebagai klub terbaik yang di huni skuad mumpuni bukan saja di domestik melainkan juga mancanegara. Terbaca mudah, Juve ingin jadi penguasa dan mengambil alih kedigdayaan Barcelona dan menyetarakan diri dengan Real Madrid atau Bayern Munchen.
Sejatinya, Claudio, Conte, dan Allegri saling menguntungkan dan bekerjasama. Allegri beruntung mendapat warisan dari Conte berupa skuad hebat, sedangkan Conte beruntung mendapat N’golo Kante dari Claudio. Seperti paham Komunisme, ketiganya tengah menyebar bahwa tokoh Catenaccio hidup kembali dalam wujud lain.
Claudio pergi ke Leicester untuk membuktikan diri bahwa orang Italia belum habis di sepakbola. Conte pergi ke London untuk meneruskan perjuangan Claudio, Ia menebarkan pahamnya (baca: catenaccio modern) dengan propaganda; pertahanan adalah kunci! Sedangkan Allegeri mengambil alih Juve yang dibangun Conte untuk menguasai Eropa. Sebuah strategi menguasai dunia yang mematikan dari The Italian Job.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H