Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Keputusan Keliru di Awal Musim, Semoga Saya Juga Keliru

5 Mei 2017   09:22 Diperbarui: 5 Mei 2017   10:18 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis mendengar beberapa manajemen, pemain, hingga supporter yang menghakimi sebagian pengadil pertandingan GO-JEK Traveloka Liga 1 dengan hujatan dan pelbagai protes lainnya. Ya, sebatas mendengar tanpa bisa menanggapi apa yang sebenarnya terjadi. Tentunya, kita sebagai manusia selalu ingin melihat segala sesuatunya bisa ideal, akan tetapi fakta di lapangan tidak di pahami betul.

Jujur, tidak mudah menjadi seorang wasit, itu berdasarkan sedikit pengalaman penulis di pertandingan tarkam hingga event-event yang sedikit lebih besar diatasnya. Selain menuntun konsentrasi tingkat tinggi, kekuatan fisik, hingga kejelian, seorang wasit harus memiliki kemampuan dalam pengambilan keputusan secara cepat dan tepat. Tidak mudah!

Sederhananya, seorang wasit dituntut sempurna dalam menjalankan tugasnya. Terlepas dari segala tekanan dan intervensi yang diberikan oleh teriakan suporter, protes pemain plus pelatih. Suatu ketika, si pengadil lapangan menjalankan tugasnya dengan baik dan tegas, namun diakhir pertandingan Ia membuat sebuah keputusan yang salah karena faktor konsentrasi dan fisiknya yang mulai menurun. Tentu, hal tersebut akan mencoreng kinerja baik yang selama itu Ia tampilkan hanya karena sebiji keputusan, apalagi jika hal tersebut merugikan salah satu tim.

Bukan saja menjadi kambing hitam, sebiji kesalahan yang dibuat sang pengadil bakal disimpan dalam memori suporter, pemain, dan pelatih sampai ketika wasit yang bersangkutan ditunjuk untuk memimpin kembali tim yang dirugikan tadi. Kita kadang lupa, bahwa wasit juga manusia yang berhak atas dalil ‘tidak pernah luput dari kesalahan’. Jika pun dibantu teknologi, yakinlah seyakin-yakinnya, jika alat canggih berkategori teknologi pun bisa error pada waktunya.

Jadi kembali, tidak ada yang sempurna. Jika beberapa klub mengajukan rekomendasi untuk wasit impor, sama saja bohong toh jika pengadil asing yang netral ditugaskan akan sama hasilnya dengan apa yang sebelumnya terjadi. Artinya, jika pihak klub dan stakeholder sepakbola tanah air tidak memiliki sifat legowo, darimana pun wasitnya akan tetap sama; menimbulkan hujatan dan pelbagai protes.

Penulis bukan bermaksud membela para pengadil lapangan yang jelas-jelas keliru. Bukan. Demi pembenahan sepakbola nasional yang lebih baik, terkadang kritik itu diperlukan. Namun, kritik dan hujatan itu berbeda. Jika boleh memilih, penulis lebih suka disebut sebagai seorang yang kritis ketimbang dicap seorang penghujat. Lantas, siapa yang keliru? Kinerja wasit, para penghujat kinerja wasit, atau penulis artikel ini? saya rasa semuanya pernah keliru, kita akui saja.

Meski begitu, ada yang lebih keliru dari pihak-pihak yang melakukan kekeliruan tadi. Adalah pihak klub PS TNI yang membebas-tugaskan Laurent Hatton sebagai pelatih kepala. Ya, apa yang salah dengan pelatih asal Perancis tersebut? Sejak Manahati Lestusen dan kolega ditangani Hatton, rasa-rasanya tim ini menunjukan progress yang signifikan. Dua hasil draw dan satu kemenangan bukanlah hasil yang terlalu buruk.

Apalagi, satu hasil draw tersebut didapat dengan cara yang mengesankan yakni menahan sang juara bertahan Persib di kandangnya sendiri. Artinya, Hutton dipecat ketika tim yang dibesutnya belum mengalami sakalipun kekalahan dalam tiga kali main alias Ia belum melakukan sebiji kesalahan pun.

Militan, bertenaga, pantang menyerah, dan segala identitas pasukan loreng tercermin dalam permainan tim PS TNI. Rasanya, tak berlebihan menganalogikan Hutton dengan cara sukses Antonio Conte di Juventus, Timnas Italia, dan Chelsea. Ketika di Turin, seorang Conte membuat fondasi permainan yang hingga kini berguna bagi Allegri. Jika diibaratkan Conte yang menciptakan, Allegri yang menyempurnakan.

Kemudian jasa Conte juga terlihat jelas di Timnas Italia, Ia menyulap pemain alakadarnya menjadi bak bintang kenamaan di Piala Eropa 2016 lalu. Tak pelak miliuner yang bergerak di bidang perminyakan bernama Roman Abramovich mempercayainya untuk membesut Eden Hazard dkk. Conte dengan berani memainkan formasi tiga bek di kompetisi elit Inggris. Bisa disimpulkan, Conte punya konsep, ide, identitas, dan kualitas mumpuni dalam mengembangkan pemain dan strateginya. Itu yang terlihat pada diri Laurent Hutton.

Secara prematur, saya bisa menilai bahwa seorang Hutton tengah membangun sebuah fondasi tak ubahnya Conte di Juve tadi. Ia merupakan orang yang pas menangani pasukan loreng, manajemen harus ingat bahwa dalam beberapa turnamen pramusim PS TNI tidak tampil sebaik yang ditampilkan bersama Hutton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun