Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Capek Rasa Bangga Mengurusi Sepak Bola Akar Rumput

9 Maret 2017   10:38 Diperbarui: 9 Maret 2017   10:43 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat kami mengikuti Danone Nation Cup 2017

Ada rasa lelah yang tidak bisa lagi disembunyikan. Selepas latihan rutin di sore hari, seperti biasa kami bertiga mendiskusikan program latihan, membicarakan fasilitas/perlengkapan apa yang dibutuhkan kedepan, progres setiap siswa, sampai event-event turnamen yang wajib diikuti. Evaluasi sehabis latihan menjadi hal yang penting, memang itu bukan kebijakan SSB (Sekolah Sepak Bola) ini. Semua berjalan seperti air yang mengalir saja. Hal-hal menarik semacam kelakuan siswa juga menjadi bahan evaluasi/diskusi menarik menjelang maghrib.

Kelakuan anak-anak 6-15 tahun memang selalu membuat kami tertawa sekaligus kesal. Kepolosan yang mereka miliki, hingga kekanak-kanakan yang masih pekat kadang mengganggu sesi latihan. Ketika ada layang-layang putus misalnya, mereka secara serentak beratensi pada layang-layang tersebut. Hal semacam itu membuat kami kesal tentunya.

Pernah juga suatu waktu saat latih tanding dengan SSB lain salah satu siswa kami keluar lapangan seenaknya dan Buang Air Kecil seenaknya di tepi lapangan. Dan lelucon seperti itu tetap kami bahas secara intens hingga akhirnya menciptakan ide baru bahwasannya kami harus mulai mengajarkan mereka attitude dilapangan sekaligus membangun karakter baik bagi tiap-tiap siswa.

Tak jarang ada siswa yang merengek kecapean hingga Ia benar-benar memelas untuk beristirahat. Jika kami keras tentu saja mereka akan merasa kapok untuk berlatih sepak bola namun ketika kami terlalu lembek mereka akan seenaknya berlatih dan sudah barang tentu hasil dari latihan selama dua jam itu tak ada gunanya. Keadaan menjadi serba salah.

Rasa lelah kami terbayar ketika menyaksikan mereka mengamalkan betul ilmu yang kami berikan walau sedikit. Seorang anak yang dulunya tidak bisa mengolah bola bahkan takut dengan bola kini mulai bisa bersahabat dengan bola, lebih dari itu, teknik dasarnya digunakan secara fasih di lapangan. Sebuah kebanggaan yang menghapus rasa lelah tadi.

Peran orang tua seharusnya juga bisa dimaksimalkan dalam perkembangan pesepakbola usia dini ini. Kami menekankan agar para orang tua bersinergi untuk memberikan satu bola bagi anaknya sendiri, biasakan anak-anak bersahabat dengan bola setiap harinya.

Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Neymar, hingga Febri Hariyadi pun masa kecilnya dihabiskan dengan menimang bola. Mereka begitu bersahabat dengan bola, menurut coach Timo sewaktu coaching clinic, anak kecil berusia 3-6 tahun harus mulai diberikan bola agar supaya kakinya lentur dan nyaman ketika berdekatan/bersentuhan dengan bola.

Coach Timo juga tidak menganjurkan anak-anak menendang-nendang bola, menurutnya hal tersebut sangat tidak efektif bagi perkembangan si anak. Lebih baik jika anak-anak diberikan contoh untuk menggiring bola, menekuk bola, dan pergerakan-pergerakan lain dengan bola. Jika masih diajarkan shooting, tentu saja ketika bermain anak-anak tersebut akan memiliki mindset untuk menendang bola secara terus menerus dan enggan mengolahnya/dengan kata lain teknik olah bola-nya nol besar.

Hal ini penting kami bicarakan dengan para orang tua siswa, meskipun tidak semua yang bisa diajak diskusi, karena kami tidak sempat mengadakan pertemuan untuk membicarakan ini, seharusnya ada bagian pengurus yang bisa mengurusi hal-hal semacam ini/menjembatani antara SSB dengan orang tua siswa. Maklum, SSB kami ini masih belum ideal jika berbicara ideal.

Kami hanya baru berdiskusi dengan beberapa orang tua siswa yang mengantar jemput anaknya latihan, selebihnya kami sampaikan hal ini kepada anak-anak agar mereka memiliki satu bola di rumah. Memang lelah jika roda organisasi SSB belum berputar sebagaimana mestinya, bisa dihitung dengan jari orang-orang yang terlibat langsung dengan SSB ini.

Menjadi sebuah kebiasan bagi kami untuk rangkap jabatan. Misalnya saat latihan pelatih merangkap menjadi fisioterapist/masseur, pelatih kiper merangkap menjadi pelatih fisik, pelatih teknik merangkap menjadi sekretaris, pelatih kepala merangkap menjadi manajer tim untuk mengikuti rapat-rapat di Askab.

Studi banding ke SSB/akademi yang lebih maju di perkotaan sudah menjadi hal yang pasti jika kami tertinggal segalanya. Mulai dari fasilitas, roda organisasi, hingga secara administrasi. Hal tersebut belum seberapa runyam, semua menjadi lebih sulit ketika PSSI pusat tidak memberikan kurikulum sepak bola yang pasti.

Padahal, kurikulum itu sangat penting untuk mencari identitas sepak bola nasional. Bertahun-tahun kami (baca: Indonesia) tidak punya identitas diri dalam bermain bola. Jika PSSI sadar dan mau memperbaiki semuanya, tentu harus dimulai dari sepak bola akar rumput bukan hirearki tertinggi macam timnas senior. Luis Milla dikontrak untuk prestasi yang instan, tidakkah akan lebih baik jika uang yang digelontorkan itu digunakan untuk membangun sistem pembinaan usia dini yang lebih baik?

Harapan agar PSSI/pemerintah berinvestasi di sepak bola akar rumput selalu tinggi. Sewaktu kongres tahunan di Hotel Arya Duta, Bandung. Kami stakeholder grassroot harus kembali kecewa dengan tidak adanya pembahasan mengenai sepak bola akar rumput. Padahal, saya tahu jika sebetulnya mereka paham betapa pentingnya pembinaan itu sendiri. Sepak bola akar rumput adalah ujung tombak perkembangan sepak bola di suatu Negara.

16906655-1790884071233918-8580535545698975744-n-58c0ce455fafbd990512d3c0.jpg
16906655-1790884071233918-8580535545698975744-n-58c0ce455fafbd990512d3c0.jpg
Selama ini, pelatih usia dini selalu berimprovisasi merangkai program latihan dan permainan khasnya sendiri. Ketidakseragaman ini membuat para pemain kehilangan jati diri. Apalagi, jika timnas bergonta-ganti pelatih. Kadang mereka harus mempelajari permainan khas Belanda bernama total voetbal dari pelatih A namun dikemudian hari si pemain harus mempelajari permainan tiki-taka dari pelatih anyar mereka.

La Masia mengajarkan para siswa-nya bola-bola pendek sejak dini. Sehingga terlahirlah Xavi Hernandez, Andres Iniesta yang kuat dan memiliki identitas diri yang dikenal sebagai maestro tiki-taka. Kembali lagi ke fondasi, apa fondasi/kerangka awal mereka ketika dibentuk menjadi pesepak bola?

Rasa lelah ini akan terus bersama kami selama PSSI/pemerintah belum sepenuhnya peduli terhadap usia dini namun juga ada kebanggaan yang sulit ditutup-tutupi ketika PSSI/pemerintah itu mulai membicarakan sepakbola akar rumput. Lelah dan bangga tidak hanya kami dapatkan dari lapangan saja, melainkan juga dari luar lapangan. Dan keduanya akan terus mengiringi kami, entah sampai kapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun