Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Capek Rasa Bangga Mengurusi Sepak Bola Akar Rumput

9 Maret 2017   10:38 Diperbarui: 9 Maret 2017   10:43 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat kami mengikuti Danone Nation Cup 2017

Studi banding ke SSB/akademi yang lebih maju di perkotaan sudah menjadi hal yang pasti jika kami tertinggal segalanya. Mulai dari fasilitas, roda organisasi, hingga secara administrasi. Hal tersebut belum seberapa runyam, semua menjadi lebih sulit ketika PSSI pusat tidak memberikan kurikulum sepak bola yang pasti.

Padahal, kurikulum itu sangat penting untuk mencari identitas sepak bola nasional. Bertahun-tahun kami (baca: Indonesia) tidak punya identitas diri dalam bermain bola. Jika PSSI sadar dan mau memperbaiki semuanya, tentu harus dimulai dari sepak bola akar rumput bukan hirearki tertinggi macam timnas senior. Luis Milla dikontrak untuk prestasi yang instan, tidakkah akan lebih baik jika uang yang digelontorkan itu digunakan untuk membangun sistem pembinaan usia dini yang lebih baik?

Harapan agar PSSI/pemerintah berinvestasi di sepak bola akar rumput selalu tinggi. Sewaktu kongres tahunan di Hotel Arya Duta, Bandung. Kami stakeholder grassroot harus kembali kecewa dengan tidak adanya pembahasan mengenai sepak bola akar rumput. Padahal, saya tahu jika sebetulnya mereka paham betapa pentingnya pembinaan itu sendiri. Sepak bola akar rumput adalah ujung tombak perkembangan sepak bola di suatu Negara.

16906655-1790884071233918-8580535545698975744-n-58c0ce455fafbd990512d3c0.jpg
16906655-1790884071233918-8580535545698975744-n-58c0ce455fafbd990512d3c0.jpg
Selama ini, pelatih usia dini selalu berimprovisasi merangkai program latihan dan permainan khasnya sendiri. Ketidakseragaman ini membuat para pemain kehilangan jati diri. Apalagi, jika timnas bergonta-ganti pelatih. Kadang mereka harus mempelajari permainan khas Belanda bernama total voetbal dari pelatih A namun dikemudian hari si pemain harus mempelajari permainan tiki-taka dari pelatih anyar mereka.

La Masia mengajarkan para siswa-nya bola-bola pendek sejak dini. Sehingga terlahirlah Xavi Hernandez, Andres Iniesta yang kuat dan memiliki identitas diri yang dikenal sebagai maestro tiki-taka. Kembali lagi ke fondasi, apa fondasi/kerangka awal mereka ketika dibentuk menjadi pesepak bola?

Rasa lelah ini akan terus bersama kami selama PSSI/pemerintah belum sepenuhnya peduli terhadap usia dini namun juga ada kebanggaan yang sulit ditutup-tutupi ketika PSSI/pemerintah itu mulai membicarakan sepakbola akar rumput. Lelah dan bangga tidak hanya kami dapatkan dari lapangan saja, melainkan juga dari luar lapangan. Dan keduanya akan terus mengiringi kami, entah sampai kapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun