Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Cerita Bersama Peri Sandria, Legenda Sepak Bola Indonesia yang Paling Terlupakan

16 Januari 2017   10:03 Diperbarui: 16 Januari 2017   11:59 5014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan bisa saya simpulkan dari pertama bertemu hingga usai, Peri Sandria adalah orang hebat yang sederhana, low profile, dan baik sekali. Saat itu, saya bukan seorang jurnalis olahraga. Namun, Ia memberikan data-data menarik tentang kehidupan sepakbolanya. Seandainya saja saat itu saya sudah bisa menulis di Kompasiana, mungkin artikel ini akan lebih aktual untuk disajikan.

Karena sudah lama dan banyak yang lupa, saya mencoba sebisa mungkin membuka kembali kenangan yang masih tersisa di dalam ingatan tentang pertemuan ini. Ia menarasikan tentang dua pelatih terbaiknya di Timnas dan klub MBR, Anatoli Polosin dan Henk Wullems. Di Timnas 91 banyak pemain yang mundur dari tim karena coach Polosin menguras fisik pemain, ketika latihan berlangsung tidak sedikit pemain menepi barang sebentar untuk muntah. Latihan fisik yang terlalu keras bagi standar pemain Indonesia. Tapi gemblengan tersebut menuaikan hasil positif yaitu emas SEA GAMES 91 di Manilla.

Ia juga tak lupa mengulas pelatihnya di klub MBR, coach Henk Wullems, suatu hari Ia pernah di gembleng fisik dengan cara yang tak lazim; beradu lari dengan anjing Herder milik Kodam Siliwangi. Dengan statistik sekali menang dan sekali kalah, untuk race pertama dirinya kalah karena ketika sedang unggul Peri Sandria takut anjing helder itu mengejarnya dari belakang dan memilih melarikan diri ke tribun stadion Siliwangi. Untuk race kedua, Ia lebih cerdik dengan membiarkan anjing herder itu berlari terlebih dahulu untuk kemudian Ia mengejarnya dan menang ketika menginjak garis finish. Maka tak heran dengan proses seperti itu Ia disegani oleh bek-bek lawan di masanya.

Cerita mengenai cara latihan fisik jaman dulu yang dibeberkan langsung oleh sang legenda membikin saya terbahak-bahak tak kuasa menahan tawa karena dikisahkan dengan intonasi dan ekspresi yang lebih lucu. Ia juga mengisahkan tempramentalnya yang sulit dikendalikan, pernah suatu hari ketika makan siang di mes MBR Ia melempar sepatu bolanya ke arah makanan dan mendarat mulus di panci sayur asem. Ia juga sempat mengobrak-ngabrik sekre Persib Bandung karena tak kunjung mendapat kesempatan bermain sejak pindah dari MBR.

Kadang, Ia mendadak berubah menjadi lebih serius tatkala membahas peran striker lokal yang kian tenggelam ditengah gemerlapnya kompetisi hari ini. Menurutnya keberadaan pemain asing menjadi pemicu mengapa pemain lokal tidak berkontribusi maksimal seperti di era-nya dulu.

Dulu, ketika bermain Ia mendedikasikan sepenuh hatinya untuk klub maupun Timnas, hari ini ada asumsi bahwa pemain seolah ‘hitungan’ dalam bermain. Atau kasarnya, acuannya adalah uang. Maka dari itu, Ia membuat sayembara; Barangsiapa pemain lokal dikompetisi tertinggi Indonesia yang bisa memecahkan rekor golnya, Ia akan memberikan sepatu emasnya kepada yang bersangkutan.Hal tersebut bukan sekadar mencari sensasi, akan tetapi lebih kepada memotivasi agar pemain lokal berani bersaing dengan pemain asing.

Royalti dari beberapa perusahaan swasta nasional juga tak berhenti dikucurkan kepada dirinya. Sebagai pemegang rekor gol abadi dengan 34 biji gol dalam semusim tentunya Peri bisa saja dihargai lebih dari sekadar reward-reward yang berbentuk uang tunai. Misalnya seperti monumen patung. Namun yang terlihat di persimpangan Jalan Tamblong, Bandung, adalah pemain Persib yang dijadikan model patung sepakbola (Adjat Sudrajat).

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, mungkin saja faktor pensiun dini menjadi pemicu mengapa Peri tak begitu dikenal masyarakat bola Bandung dan sekitarnya atau karena dia bukan putera daerah, melainkan anak Medan yang melegenda di Bandung. seandainya cedera lututnya tak menjemputnya dari kejayaan, bukan tidak mungkin Ia bisa lebih dihormati atau sekadar dikenal masyarakat luas. Karena penghargaan bukan semata karena Local Youth atau anak rantau, di Eropa pun patung-patung legenda sepakbola banyak berdiri kokoh tanpa menyinggung unsur kedaerahan.

Ironisnya lagi, pemain yang mengidolai Karl-Heinz Rummenigge ini hanya punya bekal lisensi B Nasional yang diraihnya 2008 silam untuk bertahan hidup di sepakbola nasional sebagai pelatih. Ia tak bisa mengambil lisensi A nasional maupun AFC karena batasan usia. Menurutnya, untuk mengambil A AFC batasan umurnya adalah 40 tahun.

Pemain legendaris yang dikenal dengan duet mautnya bersama Dejan Gluscevic ini adalah potret kecil bagaimana atlit berprestasi di Indonesia tak begitu diperhatikan setelah melepas masa kejayaannya. Di Eropa, Pep Guardiola yang tak pernah mencetak rekor gol sepanjang masa saja bisa menjadi pelatih hebat. Artinya di Eropa masih ada kesempatan bagi eks pemain yang karirnya biasa-biasa saja untuk menjadi pelatih hebat.

Dengan sengaja saya memperalat kata ‘paling’ untuk menjelaskan judul artikel ini (legenda hidup yang paling terlupakan). Karena dari 34 gol yang tercatat sebagai rekor gol terbanyak sepanjang masa di dokumentasi PSSI tidak ada sebiji gol pun yang dipresentasikan melalui video. Kisah Peri Sandria tak ubahnya sebuah mitos belaka, karena manusia modern saat ini baru akan percaya setelah melihat barang bukti yang banyak termasuk video itu sendiri di Youtube.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun