Tidak banyak yang mengenal Peri Sandria di Kota Kembang dan sekitarnya. Padahal, Ia adalah mantan pemain hebat di klub sepakbola Mastrans Bandung Raya (MBR). Entah karena Bandung lebih menghormati putra daerahnya macam Robby Darwis, Adjat Sudrajat, dan Djadjang Nurdjaman. Atau karena tim yang menjadi pengantar puncak karir Peri Sandria yakni MBR sendiri sudah hilang dari peredaran, sehingga hal demikian sedikit banyak membantu masyarakat bola umumnya Indonesia dan khususnya Bandung melupakan sang legenda hidup kelahiran Binjai ini.
Pada pertengahan Februari di tahun 2013 saya sempat melacak keberadaan sang legenda hidup sepakbola Bandung dan nasional ini ke kediamannya di Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Jadi, agaknya artikel ini tidak memiliki referensi baku dari google karena saya berkesempatan langsung bercengkrama dengan narasumber.
Ketika itu, sehari selepas Charity Match antara AC Milan Glorie vs Indonesia All Star di Stadion Utama Gelora Bung Karno, saya mendapat kesempatan kedua untuk bertemu dengan Peri Sandria, karena dikesempatan pertama (hari H-1 pertandingan) harus berbenturan dengan alasan pekerjaan.Â
Saya sadar betul itu adalah kesempatan terakhir, karena jika saat itu urung kembali untuk bertemu, maka akan sangat sulit bagi saya untuk mengulangnya mengingat Peri Sandria saat itu tengah sibuk menangani tim PS Siak di Pekanbaru, Riau.
Jam weker di kamar menunjukan pukul 20.00 ketika saya bergegas menuju kediaman sang legenda. Cukup dengan menyetop taksi tarif bawah dan menyebut alamat yang dituju kemudian duduk manis, sepraktis dan sesimpel itu, karena jujur saat itu daerah Jakarta Selatan memang belum saya kenali.
Beberapa waktu kemudian taksi yang saya tumpangi berhenti tepat di depan patung Gorila Ragunan Zoo. Tak butuh waktu lama, setelah membereskan pembayaran sesuai dengan argo, tiga orang menjemput saya, mereka adalah teman, tetangga, dan anak dari Peri Sandria yang sudah janjian dengan saya sebelumnya. Kami pun langsung bergegas masuk ke gang-gang sempit untuk kemudian sampai ditempat tujuan.
Sesampainya di kediaman Peri Sandria, saya tidak melihat langsung sosok legenda yang dikenal dengan nomor punggung 8 itu, rumahnya sepi. Usut punya usut, ternyata Ia tengah mancing disebuah empang bersama istrinya tercinta. Tidak ada pilihan lain selain menunggu. Butuh 1-2 jam untuk menunggu legenda pulang.
Sembari menunggu, saya melihat ke kanan kiri bak disebuah museum yang penuh benda bersejarah, di dinding rumah banyak bergelantungan medali penghargaan, dilemari pun banyak piagam penghargaan. Mata saya tertuju ke sepatu emas yang bergeletakan begitu saja ditempat tidur. Golden foot, yang biasa saya lihat digenggam oleh bukan sembarang pemain.
Peri Sandria mengawali percakapan dengan prolog; Kemarin kemana ditungguin gak datang ke stadion, tiket sayang kebuang. Ya, sebelumnya saya diundang untuk hadir di Charity Match di stadion GBK. Akses ini saya dapat setelah salah satu teman saya mengaku bahwa sahabat kampusnya memiliki ayah legenda sepakbola nasional.
Genderang diskusi pun mulai ditabuh, perbincangan ngalor ngidul terjadi. Dari membahas karirnya sendiri, era perserikatan, SEA GAMES 1991, rekor gol, Anatoli Polosin (Pelatihnya di Timnas SEA GAMES 91), Henk Wullem (Pelatihnya di Bandung Raya), Mastrans Bandung Raya, Persib Bandung, Tim Nasional, hingga keberadaan pemain asing di sepak bola nasional. Obrolan panjang itu baru berhenti ketika waktu subuh menjemput.
Dan bisa saya simpulkan dari pertama bertemu hingga usai, Peri Sandria adalah orang hebat yang sederhana, low profile, dan baik sekali. Saat itu, saya bukan seorang jurnalis olahraga. Namun, Ia memberikan data-data menarik tentang kehidupan sepakbolanya. Seandainya saja saat itu saya sudah bisa menulis di Kompasiana, mungkin artikel ini akan lebih aktual untuk disajikan.
Karena sudah lama dan banyak yang lupa, saya mencoba sebisa mungkin membuka kembali kenangan yang masih tersisa di dalam ingatan tentang pertemuan ini. Ia menarasikan tentang dua pelatih terbaiknya di Timnas dan klub MBR, Anatoli Polosin dan Henk Wullems. Di Timnas 91 banyak pemain yang mundur dari tim karena coach Polosin menguras fisik pemain, ketika latihan berlangsung tidak sedikit pemain menepi barang sebentar untuk muntah. Latihan fisik yang terlalu keras bagi standar pemain Indonesia. Tapi gemblengan tersebut menuaikan hasil positif yaitu emas SEA GAMES 91 di Manilla.
Ia juga tak lupa mengulas pelatihnya di klub MBR, coach Henk Wullems, suatu hari Ia pernah di gembleng fisik dengan cara yang tak lazim; beradu lari dengan anjing Herder milik Kodam Siliwangi. Dengan statistik sekali menang dan sekali kalah, untuk race pertama dirinya kalah karena ketika sedang unggul Peri Sandria takut anjing helder itu mengejarnya dari belakang dan memilih melarikan diri ke tribun stadion Siliwangi. Untuk race kedua, Ia lebih cerdik dengan membiarkan anjing herder itu berlari terlebih dahulu untuk kemudian Ia mengejarnya dan menang ketika menginjak garis finish. Maka tak heran dengan proses seperti itu Ia disegani oleh bek-bek lawan di masanya.
Cerita mengenai cara latihan fisik jaman dulu yang dibeberkan langsung oleh sang legenda membikin saya terbahak-bahak tak kuasa menahan tawa karena dikisahkan dengan intonasi dan ekspresi yang lebih lucu. Ia juga mengisahkan tempramentalnya yang sulit dikendalikan, pernah suatu hari ketika makan siang di mes MBR Ia melempar sepatu bolanya ke arah makanan dan mendarat mulus di panci sayur asem. Ia juga sempat mengobrak-ngabrik sekre Persib Bandung karena tak kunjung mendapat kesempatan bermain sejak pindah dari MBR.
Kadang, Ia mendadak berubah menjadi lebih serius tatkala membahas peran striker lokal yang kian tenggelam ditengah gemerlapnya kompetisi hari ini. Menurutnya keberadaan pemain asing menjadi pemicu mengapa pemain lokal tidak berkontribusi maksimal seperti di era-nya dulu.
Dulu, ketika bermain Ia mendedikasikan sepenuh hatinya untuk klub maupun Timnas, hari ini ada asumsi bahwa pemain seolah ‘hitungan’ dalam bermain. Atau kasarnya, acuannya adalah uang. Maka dari itu, Ia membuat sayembara; Barangsiapa pemain lokal dikompetisi tertinggi Indonesia yang bisa memecahkan rekor golnya, Ia akan memberikan sepatu emasnya kepada yang bersangkutan.Hal tersebut bukan sekadar mencari sensasi, akan tetapi lebih kepada memotivasi agar pemain lokal berani bersaing dengan pemain asing.
Royalti dari beberapa perusahaan swasta nasional juga tak berhenti dikucurkan kepada dirinya. Sebagai pemegang rekor gol abadi dengan 34 biji gol dalam semusim tentunya Peri bisa saja dihargai lebih dari sekadar reward-reward yang berbentuk uang tunai. Misalnya seperti monumen patung. Namun yang terlihat di persimpangan Jalan Tamblong, Bandung, adalah pemain Persib yang dijadikan model patung sepakbola (Adjat Sudrajat).
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, mungkin saja faktor pensiun dini menjadi pemicu mengapa Peri tak begitu dikenal masyarakat bola Bandung dan sekitarnya atau karena dia bukan putera daerah, melainkan anak Medan yang melegenda di Bandung. seandainya cedera lututnya tak menjemputnya dari kejayaan, bukan tidak mungkin Ia bisa lebih dihormati atau sekadar dikenal masyarakat luas. Karena penghargaan bukan semata karena Local Youth atau anak rantau, di Eropa pun patung-patung legenda sepakbola banyak berdiri kokoh tanpa menyinggung unsur kedaerahan.
Ironisnya lagi, pemain yang mengidolai Karl-Heinz Rummenigge ini hanya punya bekal lisensi B Nasional yang diraihnya 2008 silam untuk bertahan hidup di sepakbola nasional sebagai pelatih. Ia tak bisa mengambil lisensi A nasional maupun AFC karena batasan usia. Menurutnya, untuk mengambil A AFC batasan umurnya adalah 40 tahun.
Pemain legendaris yang dikenal dengan duet mautnya bersama Dejan Gluscevic ini adalah potret kecil bagaimana atlit berprestasi di Indonesia tak begitu diperhatikan setelah melepas masa kejayaannya. Di Eropa, Pep Guardiola yang tak pernah mencetak rekor gol sepanjang masa saja bisa menjadi pelatih hebat. Artinya di Eropa masih ada kesempatan bagi eks pemain yang karirnya biasa-biasa saja untuk menjadi pelatih hebat.
Dengan sengaja saya memperalat kata ‘paling’ untuk menjelaskan judul artikel ini (legenda hidup yang paling terlupakan). Karena dari 34 gol yang tercatat sebagai rekor gol terbanyak sepanjang masa di dokumentasi PSSI tidak ada sebiji gol pun yang dipresentasikan melalui video. Kisah Peri Sandria tak ubahnya sebuah mitos belaka, karena manusia modern saat ini baru akan percaya setelah melihat barang bukti yang banyak termasuk video itu sendiri di Youtube.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H