Olah bola orang-orang Indonesia Timur memang tidak bisa di dustakan lagi kehebatannya. Teknik yang bercampur bakat alam seakan menjadi seni tersendiri bagi pecinta sepakbola yang menikmatinya. Maluku merupakan penghasil bakat sepakbola terbaik yang tersedia di Nusantara. Lima pemain asal Maluku yang membela Timnas Garuda di Piala AFF 2016 menjadi alasan kuat mengapa kata ‘terbaik’ ditekankan dalam pernyataan diatas.
Di Gor ITB Kampus Jatinangor saya melihat Maluku dari sisi lain, walaupun masih menyoal mengolah si kulit bundar namun dalam bingkai yang lain yakni futsal atau biasa saya menyebutnya dengan dua kata yang dipecah ‘sepakbola mini’. Tim bernama Arrow FC perwakilan dari Maluku mampu membikin saya duduk lebih lama lagi dikursi penonton. Padahal, awalnya saya sudah mengurungkan niat untuk menjadi saksi ‘siapa tim terakhir yang lolos ke Liga Pro Futsal Indonesia’.
Secara teknis, permainan Arrow FC memang tidak bisa dikatakan ideal sebagai sebuah tim, dengan citra rasa yang khas ketimuran, mereka lebih mengandalkan skill individu pemain. Jika dibandingkan, APK Samarinda (delegasi tim dari Kalimantan Timur) jauh diatas Arrow FC.
Setelah melewati babak penyisihan yang dimulai di kota Ambon dan dilanjutkan ke wilayah Indonesia timur, Arrow FC hendaknya siap berlaga di babak delapan besar Liga Nusantara. Sistem yang diterapkan di final delapan besar yakni sistem gugur, karena itu jika satu kali menang berarti akan masuk ke liga Pro Futsal League 2017.
Namun, agaknya perjalanan jauh dari Maluku dan perjuangan menjadi yang terbaik di tingkat daerah atau provinsi yang berhasil mereka lewati selama ini menjadi sia-sia setelah kiper Leonardi Watimena kebobolan 8 gol dan timnya hanya bisa membalas setengah dari jumlah gol yang diciptakan APK Samarinda.
Diawal babak pertama Arrow FC tak ubahnya onggokan pemain amatir yang baru saja dibentuk menjadi sebuah tim, entah apa yang bisa memecah belah keharmonisan permainan tim juara grup D wilayah timur ini. Skor 1-4 mengindikasikan betapa kacau-nya organisasi permainan Arrow di 20 menit pertama pertandingan.
Selepas turun minum memang ada perubahan pola permainan, para pemain Arrow seakan baru saja berhasil merembuk ego tiap-tiap individu di ruang ganti pemain. Hasilnya, dua biji gol berhasil memangkas skor yang terlalu jauh itu, akan tetapi sejurus kemudian eror kembali terjadi di pertahanan mereka dan APK pun membalas kontan. Skor 5-3 nyaris melambungkan kembali asa anak-anak Timur itu.
Time out diambil, Manajer Arrow FC Johanis Latuheru terlihat begitu sibuk memberi intruksi, ada kata ‘tanggung jawab’ yang muncul dari mulutnya dengan nada yang sedikit tinggi. Tentu, satu kata bermakna yang bisa mewakili bahwa anak asuhnya kurang kompak dan saling bergantung satu sama lain. Ketika diserang misalnya, tak jarang kiper Leonardi merangkap tugas sebagai kiper sekaligus stopper karena tidak adanya cover dari pemain lain.
Bertubi-tubi Ambon Manise ini menunjukan kelemahannya; ‘organisasi bertahan yang kacau’. Bahkan saking kacaunya saya sampai lupa berapa gol yang berhasil dikumpulkan oleh APK. Saat itu,terakhir kali saya memerhatikan papan skor saat kedudukan masih 8-4. Dan, saya pun mengklaim bahwa pertandingan telah usai setelah itu.
Tradisi permainan sepakbola Timur memang tak bisa lepas dari skill individu dan kata ‘keras’. Tak ada salahnya jika saya menunjuk Arrow FC sebagai duta futsal Ambon dewasa ini, mengingat mereka adalah delegasi Maluku dan yang terbaik di Timur hari ini.
Berbicara futsal wilayah Indonesia timur, ada yang jauh lebih baik dari Arrow FC yaitu Black Steel dari Papua, namun dari segi level agaknya hanya akan menimbulkan ketimpangan belaka jika kualitas keduanya dibanding-bandingkan. Karena Black Steel adalah juara Liga Pro Futsal Indonesia tahun lalu.
Black Steel tentu lebih matang ketimbang Arrow FC yang notabene merupakan tim yang memperjuangkan tiket promosi ke Liga utama. Mereka punya perpaduan yang bisa membikin tim jadi kuat yakni skill individu luar biasa dan organisasi permainan yang baik. Tak ubahnya Persipura Jayapura di sepakbola nasional, jika yang belum pernah menyaksikan Black Steel bermain maka tak usah bingung seperti apa kehebatan mereka karena mengamati Black Steel bermain ibarat melihat permainan Persipura.
Kembali ke Arrow FC, sebagai duta futsal Ambon, agaknya layak dijadikan barometer penilaian saya terhadap futsal daerah Maluku dan sekitarnya hari ini. Bakat-bakat potensial olah bola Ambon ternyata masih sulit disatukan dalam satu tim. Sebelumnya saya sempat menelurkan sebuah tulisan dengan judul ‘Maluku Basudara’ yang membahas mengenai pemain-pemain Maluku yang jika disatukan akan terbentuk tim yang kuat, itu hanya sebuah hipotesis yang benar-benar perlu diuji dan Arrow FC ini seakan menguji betul hipotesis pribadi saya itu.
Butuh banyak Sani Tawaneilla atau Jacksen F Tiago untuk menyatukan bakat-bakat Ambon. Individualistik atau egoism kerap melekat kuat menjaga tradisi sepakbola Indonesia Timur. Karena sebetulnya Arrow FC yang baru saja saya lihat pun memiliki potensi luar biasa dari segi skill individu. Namun, kelebihan mereka tidak bisa diiringi dengan hal lain seperti ‘kekompakan tim’, karena bagaimana pun juga futsal adalah sebuah olahraga tim.
Tak bisa dipungkiri, bahwa bakat-bakat Maluku adalah yang terbaik, tinggal bagaimana memahami, menjaga, dan mengelola-nya dengan cara yang terbaik pula. Di sepakbola atau pun futsal, jangan sekali-kali mendustakan bakat Maluku.
Pada akhirnya Liga Futsal Nusantara 2017 mengantarkan empat tim promosi ke Liga Pro tahun ini. Diantaranya ; Kamiada Bekasi (Jawa Barat), SFC Planet Sleman (DIY), Kancil BBK Pontianak (Kalimantan Barat), dan APK Samarinda (Kalimantan Timur). Walaupun tak ada nama Arrow FC yang seharusnya mewakili Maluku di khasanah per-futsalan nasional, sekurang-kurangnya saya sudah bersyukur bisa menikmati olah bola bakat-bakat Maluku disudut yang lebih sempit; ‘sepakbola mini atau futsal’ malam hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H