Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Catatan Pinggir Pemain ke-12 Tim Garuda

20 Desember 2016   11:53 Diperbarui: 20 Desember 2016   13:07 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ditengah optimisnya masyarakat bola dari sabang sampai merauke, pada sebuah sabtu pagi saya mendengar cuitan burung ‘uncuing’, awalnya saya menganggap bahwa keadaan tersebut adalah hal yang lumrah mengingat pemukiman yang dihampari pesawahan, bukit, pegunungan, dan aliran sungai merupakan habitatnya berbagai makhluk hidup flora maupun fauna. Lalu secara tiba-tiba sore harinya beberapa menit menjelang kick off Thailand vs Indonesia di final leg kedua piala Aff 2016 mata kanan saya berdenyut secara berkesinambungan. Asumsi yang keluar saat itu adalah bahwa saya kurang tidur. Optimisme saya tetap terjaga bersama seluruh suporter Timnas Indonesia saat itu.

Akan tetapi, setelah menyusun kembali puzzle kejadian sederhana itu, saya baru sadar bahwa keduanya merupakan sebuah pertanda bagi Timnas Indonesia. Cuitan burung uncuing dan mata kanan yang berdenyut merupakan pertanda buruk kata orang tua jaman dulu. Cuitan uncuing memang dikaitkan dengan pertanda kematian, namun tidak semua cuitan burung tersebut mutlak merupakan sebuah kabar bahwa akan ada yang meninggal. Ditempat saya tinggal, Si uncuing itu sering bernyanyi setiap waktunya dan bisa dipastikan kehadiran suaranya hanya sebagai makhluk alam sebagaimana mestinya. Namanya juga kabar burung.

Sejak lama, saya tak percaya dengan hal-hal demikian. Klenik dan mitos di sepakbola perlu dikesampingkan! Itulah sikap terdegil saya. Dua hari setelah kejadian uncuing bernyanyi sepanjang pagi saya akhirnya menyadari bahwa kekalahan Indonesia dari Thailand sudah diberitahukan lebih dulu melalui burung tersebut. Juga dengan mata kanan saya yang tiba-tiba berkedut disore harinya, jika puzzle itu langsung disusun seharusnya malam minggu itu, saya tak perlu optimis-optimis amat Indonesia bakal juara. Mata kanan berkedut kata orang tua jaman dulu merupakan sebuah pertanda bahwa kita akan menangis sedih sedangkan jika mata kiri kita yang berkedut merupakan tanda-tanda kita akan menangis bahagia dikemudian hari.

Pagi ini saya mencoba beruthak-athik gathuk menyusun puzzle misterius itu dengan dua kata: kematian dan kesedihan. Permainan Indonesia dibuat mati kutu oleh Kiatisuk Senamuang, Boaz bersama kolega mati langkah di Bangkok, dan matinya harapan ingin melihat Alfred Riedl tersenyum bersama kita sebelum Ia meninggalkan Timnas (baca: merayakan gelar juara). Maka timbul-lah kesedihan.

Agaknya puzzle tersebut masih tersusun secara berantakan, saya pun mencoba mencari cara kembali bagaimana menyusunnya dengan susunan yang pas untuk diambil sebagai jawaban. Kematian sportifitas suporter Indonesia, dan kematian ekspetasi yang tinggi itu. Rasa-rasanya masih saja terasa kikuk kata demi kata yang mendelegasikan ‘kematian’ itu.  

Perlu dikatahui, kematian sportifitas suporter kita terjadi saat Indonesia menjamu Thailand di leg pertama, saat itu lagu kebangsaan Thailand disoraki sedegil-degilnya dengan kata ‘huuuuuuu’. Bukan tidak mungkin, dengan faktor tersebut kita di karma oleh Tuhannya orang-orang Thailand karena berlaku kurang ajar terhadap sesama.

Baik kita susun ulang puzzle yang tidak lengkap itu. Agaknya tak ada cara lain selain mengganti soal teka-teki itu sendiri. Bagaimana jika kematian diganti menjadi kekalahan? Sepakat, harus sepakat demi keberlangsungan artikel ini. Sepertinya yang ini lebih pas ‘Timnas Indonesia mengalami kekalahan telak dari Thailand, telak sekali, dan kami pun sedih harus melanjutkan puasa gelar!’

Ya, saya rasa Timnas tercinta mengalami kekalahan yang telak. Kalah dari segi tehnik, mental bertanding, dan lain sebagainya dibanding Thailand yang levelnya bukan lagi Asia Tenggara lagi. Sejujurnya saat itu kita hanya menanti keajaiban belaka agar Timnas bisa kembali ke tanah air dengan trofi Aff. Saya tidak bisa mengungkapkan resep jitu untuk mengalahkan atau sekadar menahan Thailand dirumahnya sendiri, terbukti tidak ada satu artikel pun yang saya terbitkan ke Kompasiana jelang final berlangsung.

Saya lebih memilih berdoa dengan khusyuk ketimbang menulis sebuah artikel yang mengiringi langkah Timnas ke Stadion Rajamanggala yang belum tentu lebih baik mudharatnya dari berdoa saat itu. Pelbagai data dan fakta menarik terus menguatkan langkah demi langkah Boaz dan kolega, intinya semua jurnalis olahraga nasional secara serempak menulis artikel dengan tema yang sama: Optimis juara! Namun, sejarah kembali menegaskan bahwa tidak mudah mengalahkan Thailand.

Saya sudah mengikhlaskan sedalam-dalamnya gelar juara yang berada di tangan Teerasil Dangda itu walaupun sebelumnya ada anggapan bahwa piala AFF tak penting-penting amat bagi Thailand, Kiatisuk memiliki ambisi tersendiri dalam merengkuh trofi tersebut Ia memiliki tujuan yakni mendedikasikan trofi AFF untuk raja Thailand yang baru saja berpulang beberapa waktu lalu, atas nama sportifitas dan respect saya ucapkan selamat untuk Thailand! Namun sebagai manusia biasa saya tak menampik apalagi munafik, tentu dari lubuk hati yang paling dalam keinginan melihat Boaz mengangkat piala setinggi-tingginya masih ada dan sulit disembunyikan.

Kita acapkali memasang ekspestasi yang terlalu tinggi untuk Timnas kita sendiri. tampil apik didalam negeri saja sudah bisa membangkitkan kembali mimpi untuk juara. Tapi hal itu masih kebilang wajar karena kita sudah lama tidak juara, kerinduan yang sangat berat diungkapkan oleh kata sehingga menimbulkan hal-hal yang dilebih-lebihkan saat menyaksikan tim Garuda menggapai partai puncak.

Tiga kali saya pribadi mengalami hal ini. pertama saat piala AFF 2010, Sea Games 2012, dan Piala AFF 2016. Saat itu kita mengelu-elukan Timnas, kelewat berlebihan para media hiburan berbondong-bondong menyulap penggawa Timnas menjadi artis beken. Ada asumsi di Indonesia masuk final adalah tujuan, setelahnya bodo amat.

Idealnya final merupakan batu loncatan untuk mencapai gelar juara bukan sebagai tujuan akhir. Tapi sebagai manusia kita sulit untuk belajar dari kesalahan yang sama. Dalam waktu yang berdekatan itu, medio 2010, 2012, 2016 kita tak pernah belajar bahwa memasang ekspetasi berlebih tidak membuat para pemain Timnas termotivasi. Bahkan kelewat berlebihan penggawa Timnas seperti terbebani dengan harapan masyarakat.

Apresiasi boleh saja dialamatkan kepada pasukan perang Timnas saat mereka berhasil menasbihkan diri ke partai puncak namun tak perlu-lah kita melebih-lebihkannya. Memang kebanggaan sangat sulit diredam, tapi disinilah kita belajar bahwa menjadi low profile itu penting.

Seandainya suporter yang hadir di stadion Pakansari Cibinong tidak menyoraki lagu kebangsaan Thailand tentu Timnas kita juga akan dihormati dan tidak akan mendapat tekanan yang berat. Seperti hutang, dendam harus dibayar lunas. Mungkin itu yang terjadi di Stadion Rajamanggala, Bangkok.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pejuang tiket (baca; suporter timnas), agaknya kita perlu belajar dari pendukung Thailand yang begitu respek. Sekitar 100-an orang Thailand yang hadir di leg pertama final AFF 2016 membentangkan spanduk “FRIEND” disalah satu sudut stadion Pakansari.

Begitulah sepakbola seutuhnya menarasikan, bahwa sportifitas merupakan jalan menuju kemenangan sesungguhnya. Thailand hari itu lebih dewasa dari berbagai sudut pandang. Terutama pelatih mereka Kiatisuk Senamuang yang dalam preskon di Pakansari menyatakan bahwa timnya mutlak kalah dari Indonesia, Ia tidak ingin mencari alasan. Sejurus kemudian Kiatisuk mengucapkan selamat untuk Indonesia.

Ditemui secara terpisah, Alfred Riedl sendiri yang notabene pelatih Timnas yang didukung oleh 30 ribuan orang di Pakansari sempat mengajukan kekecewaannya terhadap tingkah suporter kita. "Saya tidak suka suporter Timnas Indonesia menyalakan laser ke arah pemain. Tolong ditulis”.

Saya mengapresiasi setinggi-tingginya kekompakan, ketertiban, dan sebagainya yang sudah dipertontonkan suporter Tim Garuda. Namun, sebagai pemain ke-12 agaknya kita perlu mempelajari lagi satu hal supaya bisa lebih sempurna yakni ‘menghormati lawan’.

Seperti yang sudah saya katakan diatas, bahwasannya saya tidak menyukai klenik dan mitos. Maka itu, kekalahan Indonesia rasa-rasanya bukan berdasarkan cuitan uncuing atau kedutan mata kanan melainkan gara-gara kalian, antum, anda, kamu, kita, kami, dan saya sendiri yang mengkalim dirinya sebagai pemain ke-12 Timnas yang memasang ekspetasi kelewat tinggi kemudian hanya membebani pemain.

Kesimpulan terakhir, sesungguhnya ini dosa saya dan kami pemain ke-12 karena berlaku kurang senonoh kepada tim tamu di Pakansari Cibinong dengan menyalakan laser, menyoraki lagu kebangsaan lawan, dan meneror secara berlebihan pemain Thailand selama 90 menit. Maafkan kami Thailand, semoga kami bisa belajar dari kedewasaan kalian. Selamat merayakan gelar juara!

Selesai..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun