Tiga kali saya pribadi mengalami hal ini. pertama saat piala AFF 2010, Sea Games 2012, dan Piala AFF 2016. Saat itu kita mengelu-elukan Timnas, kelewat berlebihan para media hiburan berbondong-bondong menyulap penggawa Timnas menjadi artis beken. Ada asumsi di Indonesia masuk final adalah tujuan, setelahnya bodo amat.
Idealnya final merupakan batu loncatan untuk mencapai gelar juara bukan sebagai tujuan akhir. Tapi sebagai manusia kita sulit untuk belajar dari kesalahan yang sama. Dalam waktu yang berdekatan itu, medio 2010, 2012, 2016 kita tak pernah belajar bahwa memasang ekspetasi berlebih tidak membuat para pemain Timnas termotivasi. Bahkan kelewat berlebihan penggawa Timnas seperti terbebani dengan harapan masyarakat.
Apresiasi boleh saja dialamatkan kepada pasukan perang Timnas saat mereka berhasil menasbihkan diri ke partai puncak namun tak perlu-lah kita melebih-lebihkannya. Memang kebanggaan sangat sulit diredam, tapi disinilah kita belajar bahwa menjadi low profile itu penting.
Seandainya suporter yang hadir di stadion Pakansari Cibinong tidak menyoraki lagu kebangsaan Thailand tentu Timnas kita juga akan dihormati dan tidak akan mendapat tekanan yang berat. Seperti hutang, dendam harus dibayar lunas. Mungkin itu yang terjadi di Stadion Rajamanggala, Bangkok.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pejuang tiket (baca; suporter timnas), agaknya kita perlu belajar dari pendukung Thailand yang begitu respek. Sekitar 100-an orang Thailand yang hadir di leg pertama final AFF 2016 membentangkan spanduk “FRIEND” disalah satu sudut stadion Pakansari.
Ditemui secara terpisah, Alfred Riedl sendiri yang notabene pelatih Timnas yang didukung oleh 30 ribuan orang di Pakansari sempat mengajukan kekecewaannya terhadap tingkah suporter kita. "Saya tidak suka suporter Timnas Indonesia menyalakan laser ke arah pemain. Tolong ditulis”.
Saya mengapresiasi setinggi-tingginya kekompakan, ketertiban, dan sebagainya yang sudah dipertontonkan suporter Tim Garuda. Namun, sebagai pemain ke-12 agaknya kita perlu mempelajari lagi satu hal supaya bisa lebih sempurna yakni ‘menghormati lawan’.
Seperti yang sudah saya katakan diatas, bahwasannya saya tidak menyukai klenik dan mitos. Maka itu, kekalahan Indonesia rasa-rasanya bukan berdasarkan cuitan uncuing atau kedutan mata kanan melainkan gara-gara kalian, antum, anda, kamu, kita, kami, dan saya sendiri yang mengkalim dirinya sebagai pemain ke-12 Timnas yang memasang ekspetasi kelewat tinggi kemudian hanya membebani pemain.
Kesimpulan terakhir, sesungguhnya ini dosa saya dan kami pemain ke-12 karena berlaku kurang senonoh kepada tim tamu di Pakansari Cibinong dengan menyalakan laser, menyoraki lagu kebangsaan lawan, dan meneror secara berlebihan pemain Thailand selama 90 menit. Maafkan kami Thailand, semoga kami bisa belajar dari kedewasaan kalian. Selamat merayakan gelar juara!
Selesai..