Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Dinasti Kepemimpinan Keluarga Solossa

13 Desember 2016   07:17 Diperbarui: 13 Desember 2016   09:41 2959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah pula saya mendengar sebuah kutipan atau teori dari sebuah seminar kepemimpinan, bahwasannya Leader (baca; pemimpin) yang baik itu yang bisa menyuruh atau menggerakan kelompok yang dipimpinnya tanpa harus banyak berbicara atau menunjuk-nunjuk. Karena pemimpin itu bukan bos. Pemimpin merupakan guru (baca: contoh) namun tidak semua guru adalah pemimpin. Disinilah saya mulai dapat memisahkan antara pemimpin dan bos.

Kadangkala banyak pemimpin yang melenceng dari teorinya, salah satunya bahwa pemimpin hebat itu yang memiliki mental galak, tegas, dan pandai mengomel agar disegani bawahannya. Bagi saya itu bukan pemimpin sejati, gaya semacam itu tak ubahnya seorang bos dan tidak masuk kedalam kategori pemimpin, baik dilapangan maupun diluar lapangan sepakbola sosok pemimpin tidak jauh beda dari teorinya yang umum.

Mereka memiliki dwifungsi dilapangan, sebagai pemain seutuhnya dan sebagai alat mengejewantahkan antara pelatih dengan pemain, atau pemain dengan wasit. Sosok Bambang Pamungkas begitu elegan dalam memimpin rekannya di Timnas maupun Persija Jakarta selama bertahun-tahun. Ia tidak hanya memperalat senioritasnya untuk disegani dan didengar. Bochi sapaan akrab Boaz memiliki kesamaan dengan Bepe (baca: Bambang Pamungkas) dalam hal memimpin. Tak banyak bicara namun didengar oleh seisi tim.

Sekalipun Solossa bersaudara memiliki sejarah kepemimpinan yang baik sejak era pamannya Gubernur JP Solossa akan tetapi Leadership Skill itu bagaimanapun juga tidak bisa diwariskan secara turun temurun dari satu orang ke orang lain. Jiwa kepemimpinan itu perlu dibangun bukan saja atas dasar senioritas belaka. Tidak bisa ilmu kepemimpinan ditransfer dalam waktu sehari.

Menjadi pemimpin dalam sebuah tim bukan perkara melingkari lengan kiri dengan ban kapten saja, butuh mengadopsi ilmu kepemimpinan yang ada pada umumnya. Sebagai penyambung lidah pemain, seorang kapten tidak bisa seenak jidatnya menyuruh pemain lain untuk bergerak sedangkan dirinya sendiri hanya berteriak, menunjuk, dan berjalan santai. Tipe kapten semacam itu hanya pantas menjadi seorang bos tim.

Tak bisa dipungkiri didalam lapangan sebuah tim membutuhkan seorang yang bawel alias leader yang aktif. Namun, agaknya kita perlu bertanya pada diri sendiri, sebagai manusia yang jujur kita lebih condong enak dipimpin oleh orang yang bawel atau tipe pemimpin macam Gubernur JP, Ortizan, dan Boaz?

Dari keluarga Solossa kita bisa belajar bahwa dinasti dalam sebuah kekuasaan itu akan terus ada, walaupun tidak diturunkan secara langsung. Jadi teringat satu fragmen dalam sebuah film dokumenter berjudul ‘Soekarno’, tatkala Bung Karno berdiskusi disebuah mobil Volkswagen dengan Bung Hatta, “Kemerdekaan bukan tujuan Bung, kemerdekaan adalah awal dan kitalah orang-orang yang mengawali, selebihnya kita percayakan kepada anak-anak kita. Yah, diantara mereka pasti ada pecundang, tapi pemimpin yang baik selalu muncul dalam peristiwa yang tak terduga”.

Dan ucapan Bung Karno terhadap Bung Hatta itu benar adanya, nama keluarga ‘Soekarno’ berhasil kembali menjadi Presiden kelima di negeri ini. Sebetulnya hal demikian tidak termasuk ke dalam politik dinasti karena pada awalnya kekuasaan tersebut tidak diturunkan secara langsung oleh sang empunya. Dalam kasus politik Bung Karno ini tidak ada maksud sedikitpun untuk mengarahkan proses regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan disuatu Negara

Seperti dinasti ‘keluarga Solossa’, tidak terdeteksi politik dinasti. Jika JP Solossa memiliki niat berdinasti mungkin keluarga Solossa tidak muncul sebagai tokoh pemimpin di sepakbola Papua dewasa ini. Dan jika di Persipura ban kapten tergolong berbau dinasti, saya tegaskan bahwa yang mencium bau demikian penciumannya salah karena kalau dinasti politik soal kapten ini berjalan mulus maka seharusnya ban kapten melingkari terlebih dahulu lengan Nehemia Bill Solossa tidak langsung kepada si bungsu Boaz Solossa.

Jadi bisa dicerna dengan baik bahwa dinasti disini, merupakan konsistensi keluarga Solossa sebagai sosok pemimpin di tanah Papua bukan mengacu politik dinasti pada umumnya. Menarik ditunggu sejauh mana dinasti (baca: konsistensi) keluarga Solossa ini akan bertahan di Persipura Jayapura maupun Tim Nasional. Apakah Boaz merupakan orang terakhir pemegang nama akhiran Solossa yang menjadi pemimpin? Keluarga Maldini di Milan bisa menjadi referensi keluarga Solossa jika mereka ingin tetap eksis sebagai tokoh Leader di sepakbola Papua maupun Nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun