Mohon tunggu...
Gilang Dejan
Gilang Dejan Mohon Tunggu... Jurnalis - Sports Writers

Tanpa sepak bola, peradaban terlampau apatis | Surat menyurat: nagusdejan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Dinasti Kepemimpinan Keluarga Solossa

13 Desember 2016   07:17 Diperbarui: 13 Desember 2016   09:41 2959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: alchetron.com

Selama satu dekade terakhir ini nama dengan akhiran ‘Solossa’ selalu menghiasi Timnas Indonesia dan klub asal Papua bernama Persipura Jayapura. Lebih dari itu, peran mereka disebuah tim bukan hanya sekadar sebagai pemain bintang semata melainkan juga memiliki jiwa kepemimpinan di lapangan.

Diawali dari rekam jejak kaki Ortizan Bertilone Nusye Solossa sampai era Boaz Theofilius Erwin Solossa hari ini. Dilahirkan dalam keluarga Solossa, keluarga terkenal di Provinsi Papua Barat mereka sebetulnya tidak berdua saja dikenal sebagai pesepakbola hebat dari tanah Papua, ada nama lain yang tidak seberuntung Ortizan ataupun Boaz di keluarga Solossa yakni Joice Solossa dan Nehemia Bill Solossa.

Joice merupakan pendahulu Ortizan, sedangkan Nehemia merupakan adik pertama Ortizan. Karir mereka berdua di dunia sepakbola nasional tidak secemerlang Ortizan dan Boaz. Keduanya nyaris tidak dikenal oleh supporter Timnas mengingat Nehemia sendiri belum sekalipun berseragam Timnas Indonesia. Terlebih pria berusia 33 tahun itu memilih berkarir di tim-tim medioker nusantara dan tak pernah menembus skuad utama Persipura Jayapura. Cerita Joice lebih kelam daripada Nehemia, Ia terakhir bermain di tim PON Papua.

Justru Ortizan-lah yang pertama kali muncul mewakili keluarga Solossa di panggung sepakbola nasional. Ortizan sendiri lahir di Sorong  28 Oktober 1977, ia merupakan bek kiri andal yang pernah dimiliki Persipura Jayapura dan Timnas Indonesia. Senioritasnya di Persipura Jayapura sempat membuatnya beberapa kali menjabat kapten tim. Ortiz juga tidak berkarir di satu klub saja selama hidupnya, Pada tahun 1999-2008 Ortizan meninggalkan Persipura Jayapura, Ia berlalu-lalang dari satu tim besar ke tim besar lainnya di Indonesia. PSM Makassar, Persija Jakarta, Arema Malang, Persiram Raja Ampat pernah menggunakan jasanya.

Pemain yang akrab disapa Sajojo ini mencuat namanya saat memperkuat PSM Makasar (1999-2004), sehingga sejak tahun 2004-2005 ia berkesempatan bermain bareng dengan adiknya Boaz di Tim Nasional Indonesia, Ortizan dan Boaz sering saling berpasangan di sebelah kiri lapangan dalam membangun serangan. Pada saat itu, status Boaz sebagai ‘wonderkid’ dan Ortizan sendiri merupakan senior yang cukup disegani para koleganya.

Meski begitu, Ortizan bukan merupakan produk pemain bola terbaik yang terlahir dari keluarga Solossa. Nama Boaz menjadi yang paling harum diantara keempat Solossa bersaudara itu. Di usia 13 tahun pemain yang akrab disapa Bochi ini sudah menjadi andalan klub amatir PS Putera Yohan. Di klub pertamanya itu, Ia menyandang status pemain binaan 1999-2000. Setahun kemudian, Ia pun kembali menjadi pemain binaan Perserui Serui.

Boaz kemudian mendapat panggilan dari Tim PON Papua ketika usianya baru menginjak 15 tahun. Dalam ajang Pekan Olahraga Nasional ke-16 (2004) Boaz berhasil meraih gelar top skorer dengan raihan 10 gol. Hal itu membuat pelatih Timnas Peter White melirik dirinya.

Berbeda dengan abangnya Ortizan yang meraih kekuasaan di tim atas dasar seniorita, Boaz malah didaulat sebagai kapten ketika usianya belum genap 17 tahun oleh pelatih Jacksen. F Tiago di tim Mutiara Hitam. Semenjak saat itu Boaz semakin melejit karirnya. Gelar pencetak gol terbanyak Indonesia Super League musim 2008-2009 (28 gol) dan 2012-2013 (25 gol) plus gelar pemain terbaik Indonesia Super League musim 2009-2010, 2010-2011, dan 2012-2013 adalah bukti shahih bahwa Boaz merupakan salah satu aset striker terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini. Meski begitu, karir Boaz di Timnas tak semulus di klubnya Persipura. Indisipliner kerap membuat pelatih kepala Timnas terpaksa tidak mencantumkan namanya ke dalam tim. Akan tetapi Ia menebus segala kesalahan di masa lalunya dengan memimpin tim Nasional menuju final Piala AFF 2016 kali ini.

Perlu kita ketahui silsilah ‘pemimpin’ di keluarga Solossa, Orang tua Solossa bersaudara, Cristian Solossa dan Maria Sarobi Solossa merupakan kakak kandung dari JP Solossa Gubernur Papua ke-12. Maka tak heran jika jiwa kepemimpinan Boaz begitu baik di lapangan. Dr. Jacobus Perviddya Solossa, M.Si. atau lebih dikenal dengan panggilan J.P. Solossa atau Jaap Solossa sebelum meninggal dunia pada 2005 meninggalkan jejak sejarah sebagai tokoh yang rajin menuntut diadakannya otonomi khusus bagi Provinsi Papua yang kaya akan sumber daya alam namun masih sangat miskin pengembangan.

Dari tokoh politik tersebut muncul tokoh lain di lapangan hijau yang juga sama-sama menuntut hak agar sepakbola Papua yang kaya bakat alami itu lebih diperhatikan. Melalui pengabdiannya di Timnas, Ortizan 2004-2005 dan Boaz 2004 hingga saat ini, mereka menjelaskan menggunakan kakinya bahwa mereka hanyalah sedikit bakat orang Papua yang terlihat oleh Indonesia.

Data diatas yang mendasari kepemimpinan keluarga Solossa disegani di tanah Papua maupun tingkat Nasional. JP Solossa, Ortizan, dan khususnya Boaz merupakan tipe pemimpin yang tak banyak bicara alias tipe pemimpin kharismatis. Pemimpin model seperti ini masih belum bisa dijabarkan oleh para pakar, sebab- sebab mengapa seorang pemimpin memiliki kharisma, yang diketahui adalah bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seorang menjadi pemimpin yang kharismatis, maka sering dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural powers).

Pernah pula saya mendengar sebuah kutipan atau teori dari sebuah seminar kepemimpinan, bahwasannya Leader (baca; pemimpin) yang baik itu yang bisa menyuruh atau menggerakan kelompok yang dipimpinnya tanpa harus banyak berbicara atau menunjuk-nunjuk. Karena pemimpin itu bukan bos. Pemimpin merupakan guru (baca: contoh) namun tidak semua guru adalah pemimpin. Disinilah saya mulai dapat memisahkan antara pemimpin dan bos.

Kadangkala banyak pemimpin yang melenceng dari teorinya, salah satunya bahwa pemimpin hebat itu yang memiliki mental galak, tegas, dan pandai mengomel agar disegani bawahannya. Bagi saya itu bukan pemimpin sejati, gaya semacam itu tak ubahnya seorang bos dan tidak masuk kedalam kategori pemimpin, baik dilapangan maupun diluar lapangan sepakbola sosok pemimpin tidak jauh beda dari teorinya yang umum.

Mereka memiliki dwifungsi dilapangan, sebagai pemain seutuhnya dan sebagai alat mengejewantahkan antara pelatih dengan pemain, atau pemain dengan wasit. Sosok Bambang Pamungkas begitu elegan dalam memimpin rekannya di Timnas maupun Persija Jakarta selama bertahun-tahun. Ia tidak hanya memperalat senioritasnya untuk disegani dan didengar. Bochi sapaan akrab Boaz memiliki kesamaan dengan Bepe (baca: Bambang Pamungkas) dalam hal memimpin. Tak banyak bicara namun didengar oleh seisi tim.

Sekalipun Solossa bersaudara memiliki sejarah kepemimpinan yang baik sejak era pamannya Gubernur JP Solossa akan tetapi Leadership Skill itu bagaimanapun juga tidak bisa diwariskan secara turun temurun dari satu orang ke orang lain. Jiwa kepemimpinan itu perlu dibangun bukan saja atas dasar senioritas belaka. Tidak bisa ilmu kepemimpinan ditransfer dalam waktu sehari.

Menjadi pemimpin dalam sebuah tim bukan perkara melingkari lengan kiri dengan ban kapten saja, butuh mengadopsi ilmu kepemimpinan yang ada pada umumnya. Sebagai penyambung lidah pemain, seorang kapten tidak bisa seenak jidatnya menyuruh pemain lain untuk bergerak sedangkan dirinya sendiri hanya berteriak, menunjuk, dan berjalan santai. Tipe kapten semacam itu hanya pantas menjadi seorang bos tim.

Tak bisa dipungkiri didalam lapangan sebuah tim membutuhkan seorang yang bawel alias leader yang aktif. Namun, agaknya kita perlu bertanya pada diri sendiri, sebagai manusia yang jujur kita lebih condong enak dipimpin oleh orang yang bawel atau tipe pemimpin macam Gubernur JP, Ortizan, dan Boaz?

Dari keluarga Solossa kita bisa belajar bahwa dinasti dalam sebuah kekuasaan itu akan terus ada, walaupun tidak diturunkan secara langsung. Jadi teringat satu fragmen dalam sebuah film dokumenter berjudul ‘Soekarno’, tatkala Bung Karno berdiskusi disebuah mobil Volkswagen dengan Bung Hatta, “Kemerdekaan bukan tujuan Bung, kemerdekaan adalah awal dan kitalah orang-orang yang mengawali, selebihnya kita percayakan kepada anak-anak kita. Yah, diantara mereka pasti ada pecundang, tapi pemimpin yang baik selalu muncul dalam peristiwa yang tak terduga”.

Dan ucapan Bung Karno terhadap Bung Hatta itu benar adanya, nama keluarga ‘Soekarno’ berhasil kembali menjadi Presiden kelima di negeri ini. Sebetulnya hal demikian tidak termasuk ke dalam politik dinasti karena pada awalnya kekuasaan tersebut tidak diturunkan secara langsung oleh sang empunya. Dalam kasus politik Bung Karno ini tidak ada maksud sedikitpun untuk mengarahkan proses regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan disuatu Negara

Seperti dinasti ‘keluarga Solossa’, tidak terdeteksi politik dinasti. Jika JP Solossa memiliki niat berdinasti mungkin keluarga Solossa tidak muncul sebagai tokoh pemimpin di sepakbola Papua dewasa ini. Dan jika di Persipura ban kapten tergolong berbau dinasti, saya tegaskan bahwa yang mencium bau demikian penciumannya salah karena kalau dinasti politik soal kapten ini berjalan mulus maka seharusnya ban kapten melingkari terlebih dahulu lengan Nehemia Bill Solossa tidak langsung kepada si bungsu Boaz Solossa.

Jadi bisa dicerna dengan baik bahwa dinasti disini, merupakan konsistensi keluarga Solossa sebagai sosok pemimpin di tanah Papua bukan mengacu politik dinasti pada umumnya. Menarik ditunggu sejauh mana dinasti (baca: konsistensi) keluarga Solossa ini akan bertahan di Persipura Jayapura maupun Tim Nasional. Apakah Boaz merupakan orang terakhir pemegang nama akhiran Solossa yang menjadi pemimpin? Keluarga Maldini di Milan bisa menjadi referensi keluarga Solossa jika mereka ingin tetap eksis sebagai tokoh Leader di sepakbola Papua maupun Nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun