Mungkin mereka tidak pernah memprotes "KETIDAKADILAN DISENGAJA" ini karena mereka tidak tau berapa uang yang kita ini habiskan dan bakar! Atau malah mereka tau, namun pasrah dengan keegoisan kita orang "Bagian Barat" ini.
Bahkan subdisi BBM juga telah mematahkan asa para pahlawan Go Green kita, yang selalu kita elu-elukan namun ternyata hanya sebatas kita omongkan dalam kekosongan, padahal mereka telah "berbuat". Mereka yang telah mengembangkan biogas dan biofuel belum juga dilirik karena harganya masih kita katakan mahal karena BBM konvensional kita lebih murah (akibat subsidi). Padahal jika harga BBM kita sama dengan harga pasar seharusnya, harga barang mereka akan lebih murah. Orang akan memandang produk "hijau" mereka untuk dikembangkan secara masal karena menguntungkan. Dan tak butuh seorang ekonom untuk membuktikan bahwa biaya produksi per unit barang akan menjadi lebih rendah jika bisa diproduksi massal, sehingga harganya bahkan bisa lebih murah lagi!
Mereka butuh pengembangan, otak kita tidak kalah dengan orang Amerika sekalipun. Namun, seperti halnya orang Amerika mereka juga butuh uang untuk riset. Berita buruknya secara fiskal, pembelanjaan negara di bidang research and development (R &D) di Indonesia makin tidak mendapat tempat. Ini menjadi penghalang tumbuh layaknya sebagian besar negara berkembang Asia yang mengalami Innovation Deficit (Williamson, 2007). Defisit ini dilihat dari belanja pemerintah untuk R&Ddibanding Pendapatan Nasional Bruto (PNB) yang pada 2009 hanya 0,08 %, bandingkan dengan negara maju Asia pada 2009 seperti Jepang (3,36%), China (1,70), Korea Selatan (3,56) dan “Si Tetangga” Singapura (2,43%).
Sekarang nurani apa lagi yang harus digunakan? Logika kasihan pada orang tak tau seperti Mbah Jum, atau seperti Profesor Biofuel sudah ada..
Sebuta itukah kita yang masih menuntut subsidi ini?
Kalau dikatakan apakah jika harga BBM naik maka harga barang lain tidak akan naik? Apakah akan terjadi apa yang orang sering sebut dengan "inflasi"? IYA, PASTI!
Lalu apakah itu membuat daya beli masyarakat berkurang? Lalu bukankah itu membuat masyarakat terdampak semakin menderita? IYA, PASTI!
Secara jangka pendek memang itu PASTI terjadi. Namun, kita juga tak boleh menutup mata pada fakta bahwa jika uang subisi itu digunakan untuk melanjutkan program pemerintah seperti yang disampaikan Presiden Jokowi di forum APEC (https://www.youtube.com/watch?v=fh1M5jAgp0s) maka bukan tidak mungkin biaya logistik akan menurun dan harga barang akan turun kembali. Ketika yang turun biaya logistik, maka yang merasakan akibat penurunannya adalah semuanya, benar-benar semua (karena semuanya konsumen). Bukan hanya para pemilik kendaraan!
Mereka yang mengatakan "APBN bisa tak bocor tanpa harus menghapus subsidi jika korupsi diberantas" itu benar. Namun mungkin mereka tidak berpikir dengan akal sehat yang dibarengi NURANI! Korupsi itu sesuatu yang dihindari, tidak diinginkan, sesuatu yang oleh pemerintah ingin diberantas. Jika masih ada korupsi mungkin itu memang salah pemerintah, namun itu secara kasat mata "badan" aturanya seharusnya tidak begitu. Akupun setuju untuk sama-sama memberantas korupsi (sudah 2 artikel, dan satu sumbangsih di buku "Negeri Melawan Korupsi" yang penulis berikan sebagai ketidaksetujuan dan konsern yang tinggi penulis pada pemberantasan korupsi).
Namun korupsi lain dengan kebijakan. Kebijakan adalah sesuatu tindakan secara sadar pemerintah sebagai lembaga, dan jika kita melihat logika nurani di atas berarti dengan kebijakan subdisi BBM pemerintah secara sadar sebagai lembaga yang mendukung ketidakadilan pemerataan fiskal!
Jika engkau menggunakan pendapat, sekarang belum terlihat perubahan sejak BBM naik 2000 rupiah tahun lalu maka penulis minta data atas dasar apa argumen itu? Jikapun itu benar, maka itu adalah data pemerintahan lama dan tidak apple to apple jika dibandingkan dengan pemerintahan yang baru.