Mohon tunggu...
Gigih Prayitno
Gigih Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Masih belajar agar dapat menulis dengan baik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kilas Balik "Hubungan Mesra" Megawati-Prabowo di Masa Lalu

24 Juli 2019   15:07 Diperbarui: 24 Juli 2019   16:09 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi-Prabowo-Ahok | Warta Kota

Setelah bertemu dengan Joko Widodo di Stasiun MRT Lebak Bulus 13 Juli 2019 yang lalu, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto hari ini bertemu dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Saat ini kita ketahui bahwa baik Gerindra maupun PDI Perjuangan adalah dua partai besar yang menguasai parlemen Indonesia.

Dalam pertemuan Prabowo dan Megawati kali ini, Prabowo tidak mengenakan pakaian kemeja safari berwarna krem yang dia gunakan untuk berkunjung ke berbagai tempat, ataupun kemeja Safari berwarna ketika bertemu dengan Jokowi pada waktu yang lalu.

Prabowo Subianto pergi berkunjung bersilahturahim ke kediaman Megawati dengan mengenakan batik lengan panjang dengan motif utama parang yang merupakan motif batik tertua di Indonesia.

Kunjungan Prabowo ini pun disambut oleh Megawati, Puan Maharani, Pramono Anung dan Prananda Prabowo, Ketua Bidang Ekonomi Kreatif PDI Perjuangan.

Tentu saja baik pertemuan Prabowo dengan Jokowi maupun pertemuan Prabowo dengan Megawati adalah sebuah pertemuan politis meskipun kita tidak akan tahu kesepakatan-kesepakatan politis apa yang telah terjadi baik sebelum atau setelah pertemuan tersebut.

Bagi orang awam, mereka bisa bebas menafsirkan gerak-gerik politis yang sedang telah terjadi tanpa benar-benar mengerti apakah pertemuan tersebut adalah sebuah pesan atau sekedar pepesan belaka.

Bila menarik pada jejak di masa lalu sebelumnya, hubungan "erat nan romantis" antara Megawati dan Prabowo ini sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. bahkan dulu pernah Prabowo menjadi pendamping Megawati dalam kontestasi pemilihan presiden.

Ya, hubungan antara Megawati dan Prabowo mulai erat sejak Pemilu 2009, di mana Megawati dan Prabowo maju mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres, pada saat itu mereka (Megawati-Prabowo) berdua secara kebetulan menghadapi "musuh" yang sama, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Megawati dan Prabowo ketika Pilpres 2009. Dokumentasi: Istimewa
Megawati dan Prabowo ketika Pilpres 2009. Dokumentasi: Istimewa
Perang dingin antara Megawati dan SBY ini sudah berlangsung lama, hal ini atas kekecewaan Megawati karena dianggap telah dikhianati oleh SBY, yang masa itu kembali mengangkat SBY menjadi menteri setelah dipecat oleh Gusdur.

Pada saat itu Gusdur menghentikan SBY dari jabatan Menteri Pertambangan dan Energi. Setelah Gusdur lengser, Megawati mengangkat kembali SBY menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

Saat itu SBY karena tidak mau dijadikan pasangan Megawati dalam kontestasi Pilpres berikut dan malah SBY mendirikan partai sendiri dan maju sebagai calon presiden dan menang.

SBY juga mengalahkan Megawati sebanyak dua kali, yakni pada Pilpres 2004 dan juga 2009. Ini juga lah yang mungkin menambah daftar luka Megawati terhadap SBY.

Perang dingin antara SBY dan Megawati ini juga yang menjadi "batu sandungan" untuk Jokowi berkoalisi dengan Demokrat.

Selain itu, SBY juga dikenal sebagai rival dari Prabowo ketika mereka berdua di AKABRI, perang dingin antara Prabowo dan SBY juga terjadi yang mengakibatkan Prabowo lulus setahun lebih lama dari yang seharusnya.

Namun koalisi Megawati dan Prabowo pada saat itu tidak bisa mengalahkan pasangan SBY-Boediono dan hanya mendapatkan 26,79 persen suara, sedangkan SBY mendapatkan 60,8 persen suara.

Kemesraan hubungan antara Megawati dan Prabowo ini berlanjut di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada tahun 2012, PDI Perjuangan berkoalisi dengan Gerindra dengan mengusung Jokowi yang merupakan kader PDI Perjuangan dan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang juga kader Gerindra.

Jokowi-Prabowo-Ahok | Warta Kota
Jokowi-Prabowo-Ahok | Warta Kota

Dan merekapun memenangkan kontestasi tersebut, Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta dan didampingi oleh Ahok.

Perseteruan antara Megawati dan Prabowo pun mulai muncul pada Pilpres 2014 yang lalu, di mana Megawati sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan mengajukan Joko Widodo sebagai calon presiden dan melawan Prabowo-Hatta.

Prabowo merasa dikhianati karena konon katanya "kesepakatan politik" antara Prabowo dan Megawati yang mengisyaratkan Jokowi tidak akan maju di Pilpres 2014 ini justru diingkari oleh Megawati.

Mulai tahun 2014 inilah, PDI Perjuangan dianggap menjadi rival "abadi" dengan Gerindra, kemudian muncul istilah cebong dan kampret yang kita kenal sekarang ini.

Kemudian "peperangan" ini dilanjutkan pada Pilkada DKI Jakarta 2016, dimana PDI Perjuangan mengusung BTP yang kala itu lebih dikenal Ahok sedangkan Gerindra mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno ini menjadi babak baru dalam peperangan politik PDI Perjuangan dan Gerindra terlebih pada Pilkada Serentak pada tahun 2018 lalu, di mana baik Gerindra maupun PDI Perjuangan memajukan calon masing-masing di tiap daerahnya, sangat sedikit sekali daerah dimanan Gerindra dan PDI Perjuangan menjadi koalisi.

Satu tahun berselang, PDI Perjuangan kembali berhadapan dengan Gerindra pada Pilpres 2019 yang mungkin akan menjadi puncak perseteruan "cebong dan kampret" ini.

Jokowi kembali berhadapan satu lawan satu dengan Prabowo, dan kita semua tahu usai banyak drama yang melelahkan dan berakhir di sidang sengketa hasil pemilihan suara di Mahkamah Konsitusi (MK).

Awalnya Prabowo tidak menerima baik hasil Pilpres oleh KPU maupun sidang MK, namun semakin ke sini terlihat Prabowo lebih legowo, dimulai dari pertemuannya dengan Jokowi yang lalu dan dengan Megawati saat ini.

Sepertinya dendam dan luka politik pada tahun 2014 lalu yang dialami oleh Prabowo mulai mereda dan mulai berbaikan dengan Megawati yang difasilitasi oleh Budi Gunawan, Kepala BIN sekaligus tangan kanan Megawati.

Pertemuan ini juga memungkinkan bisa menjadi langkah awal untuk kesepakatan di tahun 2024 mendatang, di mana Jokowi tidak akan bisa maju lagi menjadi calon presiden yang secara otomatis Pilpres 2024 mendatang akan diisi oleh orang-orang baru meskipun dengan rasa yang "lama".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun