Budi Karya Sumadi sediri mengatakan bahwa Kemenhub menerbitkan beleid untuk melindungi pengemudi, selain itu agar perusahaan penyedia aplikasi tak saling mematikan dalam persaingan.
Padahal pembeda paling mendasar dari aplikator ojek online adalah aplikator dan kerjasama fintech di masing-masing perusahaannya.
Persaingan seharusnya akan tetap ada dan diawasi supaya tidak merugikan dan membohongi baik dari penyelia layanan, driver maupun pengguna ojek online itu sendiri.
Bila hal ini dilakukan oleh Kemenhub, maka bisa dipastikan customer ojek online akan turun karena keputusan ini tentu saja merugikan pihak pengguna layanan ojek online.
Selagi driver, aplikator, customer dan pihak ketiga tidak dirugikan dengan adanya promo, kenapa hal semacam ini harus dibatasi oleh Kemenhub itu sendiri? Bukannya Kemenhub bertugas mengawasi bukan membatasi, persaingan ojek online biar bertarung di pasar mereka masing-masing.
Rencana Kemenhub membuat beleid ini dipandang tidak masuk akal dan merugikan konsumen.
Padahal pada awal bulan Mei dahulu, Kemenhub juga menerbitkan peraturan terkait tarif baru yang tentunya akan menjadi lebih mahal dari sebelumnya dan ini sangat merugikan para customer.
Padahal permasalahan terkait aturan Ojek Online ini masih seperti labirin yang perlu diselesaikan, tapi nyatanya pihak Kemenhub selalu mengurusi hal-hal yang tidak terlalu fundamental.
Rapor merah yang didapatkan oleh Kemenhub ini menjadi bukti bahwa Budi Karya Sumadi tidak mampu mengorganisir lembaga sebesar kementerian yang perlu penanganan kompleks karena berhubungan dengan banyak hal di beragam sistem.
Oleh karena itu, sudah seharusnya polemik dan permasalahan di bidang perhubungan semestinya diselesaikan dengan cepat karena kita masih mempunyai beragam masalah yang harus dihadapi.
Bila pemimpin pada tingkatan tinggi suatu divisi dalam organisasi dinilai telah gagal mengatasi suatu masalah, maka jalan terakhir adalah dengan menggantinya dengan yang lebih berkompeten.