Mohon tunggu...
Gigih Prayitno
Gigih Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Masih belajar agar dapat menulis dengan baik

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Dilema Perfilman Indonesia, Kreativitas yang Dibayang-bayangi Ancaman Boikot Cacat Nalar

2 Mei 2019   14:59 Diperbarui: 3 Mei 2019   03:56 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film Kucumbu Tubuh Indahku | Ig/garin_film

Tentu saja ancaman pemboikotan dan pelarangan film Indonesia ini dinilai cacat nalar, seperti Film Kucumbu Tubuh Indahku dianggap mengkampanyekan LGBT dengan mengangkat cerita tentang seorang Gay. 

Lantas apakah dengan menonton film bertemakan gay secara otomatis akan membuat kita menjadi gay? tentu saja tidak.

Komedian Bintang Bete melalui akun Twitternya memuat sebuah sindiran tentang pelarangan penayangan film Kucumbu Tubuh Indahku.

"Pelem tentang eljibiti dilarang karena ditakutkan penontonnya jadi eljibiti. Saya dulu suka nonton pelem pampir china, boro-boro jadi pampir, jadi china juga engga." tulis @bintangbete melalui akun Twitternya.

Garin Nugroho melalui akun Instagramnya menyebutkan bahwa petisi untuk tidak menonton film Kucumbu Tubuh Indahku lewat ajakan medsos tanpa proses dan ruang dialog menunjukkan penghakiman massal lewat media sosial.

Hal tersebut adalah anarkisme massa tanpa proses dialog yang akan mematikan daya kerja serta cipta yang penuh penemuan warga bangsa serta mengancam kehendak atas hidup bersama manusia untuk bebas dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan sebagai tiang utama demokrasi.

Atau film Dua Garis Biru yang dibuatkan petisi oleh Garagaraguru untuk tidak meloloskan film tersebut karena dianggap akan merusak generasi muda hanya melihat dari judul film dan trailer yang ditayangkan dengan durasi satu menit delapan detik.

Tentu saja dengan durasi satu menit tidak serta-merta akan mewakili seluruh isi film dengan durasi dari 45 hingga 1,5 jam tersebut.

Nalar yang seperti ini akan menghasilkan generasi yang tidak mau melihat lebih dalam pada sebuah permasalahan yang lebih kompleks lagi.

Bila dengan nalar dan premis yang sama diterapkan tentunya akan banyak film yang seharusnya dilarang tayang dan tidak lulus sensor karena tidak sesuai dengan budaya ketimuran, penuh dengan kekerasan, ataupun "merusak generasi bangsa."

Dengan begitu, kebebasan berkespresi di Indonesia akan menjadi terbatas dengan pengekangan nilai-nilai yang sebenarnya bersifat sangat "karet" .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun