Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kita juga mengenal bantuan tunai yang bernama Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang juga memiliki kinerja yang hampir mirip, yakni memberikan bantuan tunai kepada keluarga miskin.
Namun PKH berbeda dengan BLT, perbedaannya itu terlihat dari kematangan perencanaan PKH.
Selain pelayanan dalam pemenuhan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang dirangkum dalam kesejahteraan sosial, PKH juga turut serta bersinergi dalam progam bantuan komplementer lainnya seperti subsidi energi, ekonomi, perumahan dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.
Oleh karena itu, perencanaan konsep PKH ini dibuktikan dengan saling taut antar lembaga seperti Kemensos, kemendikbud, Kemenkes, Bulog, KemenESDM hingga PLN dengan tujuan mensejahterakan kelompok keluarga sangat miskin.
Pendampingan ini bertujuan agar dalam waktu paling lama 3 tahun para peserta PKH bisa melakukan graduasi, yakni kondisi keluarga yang awalnya masuk dalam PKH sudah tidak lagi memiliki status ekonomi yang miskin.
Pendampingan-pendampingan yang dilakukan seperti pelatihan keterampilah baik melalui Bimsos, FDS maupun berbagai keterampilan lain yang diharapkan para peserta PKH bisa lebih mandiri dan melakukan graduasi.
PKH pun sudah menunjukkan hasilnya, berdasarkan data dari keluargaharapan.com yang diambil dalam evaluasi World Bank terdapat peningkatan konsumsi perkapita dan pengeluaran makanan di tahun 2015 hingga 2016.
Lalu indeks peningkatan akses terhadap fasilitas kesehatan setelah menerima PKH juga terjadi dengan angka yang cukup signifikan di tahun 2016.
Sedangkan untuk dunia pendidikan tercatat sekitar 743 anak memperoleh peringkat 10 besar di sekolahnya yang terdiri dari 356 anak di SD/MI, 188 anak di SMP/MTs, dan 199 anak di SMU/MAS. (Data dihimpun dari 18 kabupaten/kota di 17 provinsi).