Ada fenomena baru terkait penciptaan destinasi pariwisata di Indonesia, yakni terlihat Instagramable namun kehilangan 'nyawa' Indonesia.
Pemerintah Indonesia sedang gila-gilanya memaksimalkan sektor pariwisata agar menarik para wisatawan baik dalam maupun luar negeri. Pada tahun 2018 Kementrian Pariwisata (Kemenpar) menargetkan 117 juta wisatawan mancanegara (wisman) dan 275 juta wisatawan nusantara (wisnus).
Tentunya ini adalah hal yang sangat baik, melihat Indonesia dengan negara yang sangat luas punya banyak potensi pariwisata yang luar biasa, baik destinasi alam seperti gunung, pantai, dataran tinggi, tempat snorkeling dan diving, dan juga kegiatan-kegiatan kebudayaan seperti festival tradisional yang apik dan unik.
Sektor pariwisata juga bisa menggenjot roda perekonomian Indonesia serta perputaran uang di level yang paling bawah, yakni para masyarakat setempat yang sangat merasakan efek dari meingkatnya jumlah pengunjung.
Salah satu strategi yang dilakukan oleh kemenpar adalah dengan menciptakan destinasi digital, yakni destinasi yang memiliki konsep kreasi digital, sehingga destinasi ini memiliki spot-spot foto yang dilihat sangat 'Instagramable.'
Ketika suatu tempat disebut Instagramble dan terlihat indah ketika diunggah di media sosial dan berpotensi menjadi viral.
Ketika sudah viral akan menjadi daya tarik tersendiri, salah satunya terjadi pada taman 'Bunga Amarilis' di daerah Patuk, Gunungkidul Yogyakarta pada tahun 2015 lalu.
Kekuatan sosial media tidak hanya menyampaikan informasi, namun juga menarik minat untuk datang ketempat yang 'Instagramable' yang kadang tidak disertai dengan tanggungjawab yang baik, Taman buatan 'Amarilis' diketahui hancur karena diinjak dengan sengaja oleh banyak wisatawan demi mendapatkan foto yang 'instagramable'.
Kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung sudah berhasil menciptakan beberapa gallery art yang dikunjungi oleh masyarakat, yang baru ini hits adalah Museum Macan, sangking ramainya, pengunjung hanya diberi waktu 30 detik untuk berfoto di satu spot. Tidak hanya kota besar, daerah-daerah lain yang juga menciptakan destinasi baru dengan karakteristik daerah mereka, seperti umbul ponggok di Klaten yang sudah lama tersiar karena keindahan bawah airnya atau juga Taman Kincir di Magelang yang sebelumnya pernah menjadi Taman Bunga Matahari.
Pembuatan destinasi digital baru dengan lanskap 'Instagramable' ini seharusnya mengikuti identitas dan fungsi dari tempat tersebut, sehingga ada identitas yang dihidupkan sebagai tanda bahwa potensi pariwisata ini tidak sekedar dibuat serampangan sehingga membuat nilai dan ditanamkan malah menjadi salah arti.
Hal tersebut terkait dengan beberapa tempat yang membangun destinasi berkonsep membangunnya miniatur landmark ikonik yang terkenal dari berbagai negara.
Di Indonesia sendiri, sudah ada sekitar 12 tempat dari berbagai provinsi yang membangun minatur landmark dari berbagai tempat di dunia ini.
Ke dua belas tempat tersebut adalah Museum Angkut di Malang, Taman New Balekambang di Tawangmangu, Merapi Park di Jogjakarta, Small World di Purwokerto, Taman Bunga Celosia di Semarang, Negeri Dongeng di Blitar, Devoyage di Kota Bogor, World of Wonders di Tangerang, Little Europe di Lampung, Stonehenge di Sleman, dan dua yang terbaru adalah Miniatur 7 Keajaiban Dunia di Boyolali dan di Lembah Harau, Padang.
Tentu saja destinasi-destinasi semacam ini akan menuai pro dan kontra, karena tujuan wisatawan mancanegara dan dalam negeri berwisata dengan mengunjungi berbagai tempat juga bermacam-macam. Ada yang sekadar mendapatkan tempat dengan lanksap Instagramable, ada yang sebagai wisata keluarga, ada juga yang melihat nilai atau nyawa dari sebuah tempat tersebut. Bahkan kehilangan nilai Ke-Indonesia-an itu sendiri.
Pembuatan tempat destinasi seharusnya tidak main-main, karena seharusnya kesan dan perasaan terkait tempat yang menjadi destinasi tujuan wisata benar-benar tersampaikan dengan baik.
Jangan sampai segala hal yang dilakukan untuk menarik wisatawan dengan membangun, Â merevitalisasi atau menambah 'hal baru' justru malah menghilangkan nilai dari tempat tersebut, seperti yang terjadi di Lembah Harau, Payakumbuh, Sumatera Barat.
Merapi Park memang ditujukan sebagai destinasi wisata keluarga yang memfokuskan edukasi strategis pada anak-anak sehingga mereka setidaknya bisa tahu dan mempelajari suasana di berbagai daerah luar Indonesia. Namun Merapi Park yang mengusung tema The World Landmark justru menghilangkan bangunan identitas dari Indonesia dan Merapi itu sendiri.
Sedangkan konsep inovasi ATM (amati, tiru, dan modifikasi) sepertinya kurang bekerja dengan baik untuk di Lembah Harau yang terkesan mengambil jalur cepat dan mudah saja.
Yang paling disayangkan adalah pembuatan bangunan ikonik dan kampung Eropa di Lembah Harau justru jelas-jelas menghilangkan nyawa dari Lembah Harau itu sendiri.
Lembah yang dijuluki sebagai Taman Yosemite-nya Indonesia sudah lahir dengan pesona yang alami yang menawan. Lembah hijau yang diapit dua tebing tinggi serta pesona air terjun yang terletak pada salah satu bukit tersebut sudah menjadi ruh tersendiri di Lembah Harau,
Hanya dengan meningkatkan pengelolaan yang baik, Lemah Harau sudah punya identitas keindahan yang luar biasa.
Apabila ingin dilakukan reformasi yang lebih pada pariwisata di Lembah Harau, seharusnya bagian yang perlu ditingkatkan adalah kemudahan aksesbilitas, pengelolaan yang baik, keramahan dari penduduk sekitar, serta keamanan ketika berwisata.
Terkait kedua belas destinasi Eropa tersebut sudah ada dengan pro dan kontra nya tersendiri dan masih banyak potensi pariwisata di Indonesia yang belum dikembangkan secara maksimal, baik dari pengelolaan akses hingga perawatannya.
Apabila hal ini bisa diwujudkan dengan perpaduan potensi wisata yang berlimpah dan daya cipta kreasi yang lebih menyegarkan tanpa harus kehilangan kita sebagai Indonesia. Maka sektor pariwisata di Indonesia menjadi ujung tombak kekuatan tersendiri.
Bagaimanapun juga pariwisata menjadi sebuah gerbang dimana orang di luar Indonesia bisa mengenal Indonesia yang super kaya dan super indah dengan nilai-nilai identitas yang sudah tertanam dan mengakar dengan sangat kuat baik dari manusianya maupun dari tempat-tempatnya.
Kita sebagai warga negara Indonesia, mempunyai identitas Indonesia, mempunyai nilai Indonesia, baik warga negaranya maupun destinasi wisatanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H