Mohon tunggu...
Wahyu Gievari Hidayat
Wahyu Gievari Hidayat Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis Itu nikmat. Maka, nikmatilah menulis...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Percayakan Saja pada Guru

31 Agustus 2015   10:30 Diperbarui: 31 Agustus 2015   10:30 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kasus guru melaporkan orangtua murid ke polisi atau sebaliknya wali murid mengadukan guru ke aparat hukum kerap menjadi topik berita di media massa. Baru-baru ini, seorang kepala sekolah salah satu sekolah menengah atas di Batam melaporkan seorang wali murid dalam kasus perbuatan tidak menyenangkan (Batam Pos, 26 Agustus).

Diberitakan, laporan itu bermula saat seorang wali murid, setelah mendapat pengaduan dari anaknya, mendatangi sekolah lalu berteriak dan memaki guru karena tidak menerima perlakuan guru. Pihak sekolah menilai tindakan sang orangtua murid berlebihan hingga memilih lapor polisi. Bukan pilihan keliru memang, meski sesungguhnya masih ada cara lain yang lebih arif yang bisa ditempuh oleh pihak sekolah. Persoalan yang timbul di sekolah tidak selalu harus berakhir di ranah hukum. Persoalan sesungguhnya bisa diselesaikan secara mufakat di tingkat sekolah.

Dalam kejadian ini, para pihak dituntut menahan diri, tidak terkecuali orangtua. Tindakan protes yang dilakukan secara berlebihan dengan memaki guru memang akan sulit dicari dalil pembenarannya, apalagi pemicunya bersumber dari informasi yang belum dipastikan kebenarannya.

Ingat! Sekolah merupakan institusi formal yang harus dijaga kewibawaannya. Sekolah merupakan lembaga pendidikan sebagai tempat berlangsungnya proses belajar mengajar. Sekolah adalah media transfer ilmu. Sekolah sebagai lembaga harus dihormati berikut segala perangkat yang ada di dalamnya, termasuk itu para guru sebagai tenaga pendidik.

Tentu kita tidak menghendaki ini menjadi sebuah kelaziman bagi para orangtua murid yang terbiasa menyampaikan protesnya dengan cara-cara yang kurang pantas. Ada nilai yang harus dijaga, apalagi ini di lingkungan sekolah. Orangtua seharusnya memberikan teladan bagaimana menyikapi persoalan dengan cara-cara yang lebih bermartabat. Mendatangi sekolah dengan meluapkan kejengkelan dan melontarkan makian kepada guru tentu bukan pilihan yang tepat. Tidak saja itu dapat menjatuhkan wibawa guru tapi juga meruntuhkan wibawa sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Juga tidak berkepentingan untuk membela salah satu pihak atas pihak lainnya. Tapi, semata mata ingin mengajak kita semua agar lebih arif melihat persoalan.

Kita dididik untuk tidak gemar menyalahkan orang lain. Kita justru diajarkan untuk selalu ber-muhasabah yang dalam terminologi syar’i bermakna evaluasi diri. Prinsip ini yang seharusnya kita pegang teguh.

Berikan keleluasaan bagi para guru untuk menjalankan perannya. Bikin mereka nyaman sebab mendidik anak bukan pekerjaan mudah. Sepuluh anak saja, isi kepalanya pasti beda-beda, tindak tanduk serta prilakunya tentu juga tidak akan sama. Mengelola karakter yang bermacam-macam ini bukan perkara ringan. Nah, kalau dalam proses mendidik ini guru sebagai tenaga pengajar diganggu oleh hal-hal yang tidak perlu, maka jelas akan berdampak buruk terhadap proses dan sistem yang sudah dibangun oleh para tenaga pendidik.

Guru sebaga sosok yang digugu dan ditiru memang tidak bermakna bahwa guru itu selalu bebas dari dosa. Guru juga manusia biasa yang bisa salah bisa khilaf. Tidak ada guru yang nihil dari kesalahan. Jika salah, guru harus diingatkan. Mereka juga perlu dikontrol. Sebab, guru tidak kebal dari koreksi dan kritikan. Tapi tentu ada jalurnya. Gunakan wadah yang tersedia, lewat komite sekolah misalnya. Salah satu fungsi komite sekolah adalah mengakomodasi aspirasi para orangtua murid. Wali murid bisa memanfaatkan instrumen ini untuk menyampaikan pandangannya guna kemajuan pendidikan anak didik.

Tidak elok membiasakan sikap yang sedikit sedikit melabrak, sebentar sebentar protes ke sekolah hanya karena mendapat pengaduan dari sang anak. Pola seperti ini jelas tidak mendidik. Anak memang belum tentu salah, sebaliknya anak juga tidak selalu benar. Alangkah bijak jika orangtua tidak tergesa-gesa mengambil sikap yang berlebihan begitu menerima laporan sang anak. Teliti dulu kebenaran informasi tersebut. Jangan-jangan memang sang anak yang salah.

Dalam Islam kita diajarkan untuk mengedepankan prinsip tabayyun, yakni mencari kejelasan tentang sesuatu permasalahan hingga jelas dan terang. Orangtua selayaknya meyeleksi dulu informasi yang masuk ke telinganya, termasuk itu informasi yang bersumber dari anak, bukannya terburu-buru dalam bersikap dan gegabah mengambil tindakan.

Terlalu sering membela anak, yang belum tentu benar, juga akan membentuk karakter buruk pada anak. Membiasakan sikap seperti ini membuat si anak akan berani melakukan apa saja termasuk melawan guru karena merasa ada yang selalu membela dan membenarkan tindakannya. Tulisan ini tentu tidak mengaja kepada para orangtua untuk tidak mempercayai anaknya. Sama sekali tidak. Tapi, orangtua dituntut untuk bersikap bijaksana dalam menindaklanjuti pengaduan dari anak.

Pengalaman penulis sendiri waktu duduk di bangku SMP di tahun 1990-an yang pernah diganjar sanksi pukul batu oleh guru agama gara-gara adu jotos dengan teman sekelas. Hukuman berlangsung di halaman kantor dan disaksikan ratusan murid. Sakitnya iya, malunya tak terkira. Waktu itu sama sekali tidak ada keberanian untuk mengadukan peristiwa penghukuman itu kepada orangtua, sebab kalau itu penulis lakukan sama halnya meminta hukuman yang kedua. Penulis sadar berkelahi dalam kelas merupakan tindakan yang salah.

Begitulah yang terjadi waktu itu. Jarang sekali anak murid punya keberanian untuk melaporkan hukuman yang diterimanya kepada orangtua, sekeras apapun hukuman itu. Guru pun tentu tahu tindakan yang ia lakukan. Paham resiko dari segala sanksi yang ia berikan sehingga jarang sekali tindakannya dapat berujung pada melukai fisik anak murid. Kalaupun ada terjadi, itu hanya beberapa kasus saja.

Bagi kita yang pernah menimba ilmu di sekolah pastilah belum lupa beragam bentuk hukuman yang paling sering diberikan guru. Dari yang ringan sampai yang berat. Mulai jewer kuping, maju ke depan kelas lalu angkat kaki sebelah sambil pegang telinga, atau menyapu halaman sekolah, atau membersihkan WC, atau berlari keliling sekolah beberapa putaran tergantung kadar kesalahannya. Meski tidak tertuang secara tertulis, begitulah aturan main yang diterapkan hampir semua sekolah. Aturan yang harus dihormati bersama. Orangtua selayaknya tidak boleh masuk terlalu jauh atau melakukan intervensi atas rambu-rambu yang berlaku di sekolah. Yang salah memang harus dihukum, begitulah aturannya. Percayakanlah kepada guru. Yakinlah, semuanya demi kebaikan anak didik.

Masing-masing pihak dituntut bisa menahan diri. Jangan sedikit-sedikit harus berujung pada protes, apalagi urusannya sampai ke tangan polisi. Semangat mengedepankan sikap saling menghargai harus dipelihara. Kalau persoalan bisa diselesaikan dengan jalur musyawarah, kenapa bukan itu yang dilakukan. Bukankah sila keempat pancasila mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menempuh cara mufakat dalam setiap menyelesaikan masalah?

Sekali lagi, mari kita berikan ketenangan dan kenyaman kepada guru untuk menunaikan tugasnya. Orangtua murid dan guru seharusnya bersinergi demi kemajuan pendidikan anak.

Guru merupakan profesi mulia yang harus dihargai, yang harus dihormati. Jangan lupa, begitu banyak tokoh besar yang lahir di republik ini karena didikan guru. Termasuk kita yang mungkin merasakan manfaatnya sekarang, itu berkat guru.

Orangtua yang telah menitipkan anak-anaknya kepada sekolah sesungguhnya telah memberikan kepercayaan kepada guru untuk melakukan yang terbaik bagi anak didik. Karena itu serahkan saja kepada guru, percayakanlah pada guru.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun