Terlalu sering membela anak, yang belum tentu benar, juga akan membentuk karakter buruk pada anak. Membiasakan sikap seperti ini membuat si anak akan berani melakukan apa saja termasuk melawan guru karena merasa ada yang selalu membela dan membenarkan tindakannya. Tulisan ini tentu tidak mengaja kepada para orangtua untuk tidak mempercayai anaknya. Sama sekali tidak. Tapi, orangtua dituntut untuk bersikap bijaksana dalam menindaklanjuti pengaduan dari anak.
Pengalaman penulis sendiri waktu duduk di bangku SMP di tahun 1990-an yang pernah diganjar sanksi pukul batu oleh guru agama gara-gara adu jotos dengan teman sekelas. Hukuman berlangsung di halaman kantor dan disaksikan ratusan murid. Sakitnya iya, malunya tak terkira. Waktu itu sama sekali tidak ada keberanian untuk mengadukan peristiwa penghukuman itu kepada orangtua, sebab kalau itu penulis lakukan sama halnya meminta hukuman yang kedua. Penulis sadar berkelahi dalam kelas merupakan tindakan yang salah.
Begitulah yang terjadi waktu itu. Jarang sekali anak murid punya keberanian untuk melaporkan hukuman yang diterimanya kepada orangtua, sekeras apapun hukuman itu. Guru pun tentu tahu tindakan yang ia lakukan. Paham resiko dari segala sanksi yang ia berikan sehingga jarang sekali tindakannya dapat berujung pada melukai fisik anak murid. Kalaupun ada terjadi, itu hanya beberapa kasus saja.
Bagi kita yang pernah menimba ilmu di sekolah pastilah belum lupa beragam bentuk hukuman yang paling sering diberikan guru. Dari yang ringan sampai yang berat. Mulai jewer kuping, maju ke depan kelas lalu angkat kaki sebelah sambil pegang telinga, atau menyapu halaman sekolah, atau membersihkan WC, atau berlari keliling sekolah beberapa putaran tergantung kadar kesalahannya. Meski tidak tertuang secara tertulis, begitulah aturan main yang diterapkan hampir semua sekolah. Aturan yang harus dihormati bersama. Orangtua selayaknya tidak boleh masuk terlalu jauh atau melakukan intervensi atas rambu-rambu yang berlaku di sekolah. Yang salah memang harus dihukum, begitulah aturannya. Percayakanlah kepada guru. Yakinlah, semuanya demi kebaikan anak didik.
Masing-masing pihak dituntut bisa menahan diri. Jangan sedikit-sedikit harus berujung pada protes, apalagi urusannya sampai ke tangan polisi. Semangat mengedepankan sikap saling menghargai harus dipelihara. Kalau persoalan bisa diselesaikan dengan jalur musyawarah, kenapa bukan itu yang dilakukan. Bukankah sila keempat pancasila mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menempuh cara mufakat dalam setiap menyelesaikan masalah?
Sekali lagi, mari kita berikan ketenangan dan kenyaman kepada guru untuk menunaikan tugasnya. Orangtua murid dan guru seharusnya bersinergi demi kemajuan pendidikan anak.
Guru merupakan profesi mulia yang harus dihargai, yang harus dihormati. Jangan lupa, begitu banyak tokoh besar yang lahir di republik ini karena didikan guru. Termasuk kita yang mungkin merasakan manfaatnya sekarang, itu berkat guru.
Orangtua yang telah menitipkan anak-anaknya kepada sekolah sesungguhnya telah memberikan kepercayaan kepada guru untuk melakukan yang terbaik bagi anak didik. Karena itu serahkan saja kepada guru, percayakanlah pada guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H