Bukan sekali dua saya mengalami, melainkan sudah berkali-kali. Merasakan staples dalam mulut, membaur dalam makanan yang sedang saya kunyah.Â
Bahkan, pernah salah satunya menyelip di gigi saya, dalam keadaan terbuka, masih berbentuk huruf U. Meski gusi sedikit luka setelah berhasil mengevakuasinya, saya masih bersyukur karena terselamatkan dari "kecelakaan" yang lebih parah.
Staples yang hampir tertelan itu pastinya bukan merupakan bagian atau komposisi makanan yang saya makan. Staples dalam makanan itu merupakan benda asing ikutan. Asalnya dari proses pengemasan atau pembungkusan makanan. Mungkin karena keteledoran pengemasnya, staples yang belum terpakai ikut meloncat masuk menyelip di antara makanan.
Ada beragam jenis makanan yang dalam bungkus sering terkandung staples. Makanan kering salah satunya. Makanan kering itu dikemas dalam plastik kecil-kecil yang distaples. Ada yang cukup 1 staples, ada yang 2, atau bahkan 3 kalau yang 2 itu dianggap kurang sempurna bengkoknya oleh pengemasnya.
Penggunaan staples juga banyak ditemukan dalam bungkus makanan basah yang menggunakan kertas minyak. Gado-gado, tahu gimbal, somay, nasi rames, dan bahkan nasi padang (lepas dari ori atau tidaknya) sekarang ini biasa dibungkus dan di-staples.Â
Penggunaan staples pada bungkus makanan basah semacam ini memiliki risiko tinggi karena staples mudah lepas jika kertasnya basah. Jika lepas, ada kemungkinan bercampur dengan makanan dan ikut termakan oleh konsumen. Jelas ada potensi bahaya, tetapi entah mengapa budaya men-staples bungkus makanan ini masih merajalela?
Ternyata bukan plastik dan kertas bungkus saja yang di-staples. Bungkus berupa daun pisang pun sekarang banyak yang di-staples. Pembuat nagasari, bothok, serta lontong atau arem-arem sekarang ini sudah maen staples saja pada daun-daun pembungkus makanan yang dibuatnya.Â
Segel tradisional yang bernama biting (bs. Jawa, lidi yang diruncingkan) sudah dilupakan, mungkin dianggap tidak praktis. Padahal, biting relatif lebih aman digunakan daripada staples. Karena ukurannya lebih besar dan lebih panjang sehingga mudah terdeteksi, nyaris mustahil tertelan bersama makanan.
Kalau segel bungkus daun pisang dulunya biasa menggunakan biting, segel bungkus plastik zaman dulu biasanya menggunakan api lilin. Itu sederhananya, primitifnya. Kalau yang sudah modern menggunakan heat sealer.Â
Intinya, ujung plastik direkatkan dengan menggunakan sumber panas. Segel plastik pembungkus makanan dengan menggunakan api lilin maupun heat sealer jelas jauh lebih aman daripada staples, begitu juga dengan plastik berperekat, Â tapi kenapa tidak dipilih? Apakah para produsen makanan sekarang tidak lagi peduli pada keselamatan konsumennya? Tidak peduli atau tidak paham?
Belasan tahun silam, berdasarkan pengalaman saya waktu di Yogyakarta, bungkus makanan basah menggunakan "segel" karet gelang. Tahu gimbal, pecel, lotek, rujak, gado-gado, dan nasi rames dibungkus menggunakan kertas minyak atau kadang daun pisang berlapis koran, lalu diikat dengan karet gelang.
Pernah satu waktu saya punya koleksi puluhan karet gelang di kamar kos, ya hasil dari iseng mengumpulkan "segel-segel" itu. Beberapa di antaranya dari bungkus nasi kucing yang terkenal dengan jumlah karet gelang pada bungkus sebagai penanda isinya, baik jenis maupun level pedasnya.
Kalau masakan padang yang sering saya beli, kadang malah tidak memakai apa-apa, alias tanpa segel. Penjualnya piawai membungkusnya dengan kertas minyak dan hanya melipat ujungnya, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik (kresek) kecil, sesuai ukuran nasi bungkusnya.
Metode pemanasan ujung plastik dengan lilin atau heat sealer, penggunaan biting pada bungkus daun, dan penggunaan gelang karet; sepertinya sekarang cenderung bertransformasi menjadi satu atau 2 biji staples yang keluar dari alat bernama stapler alias "hekter" alias "cekrekan" atau "jegrekan".Â
Dari metode yang aman dan sebenarnya cukup bernilai seni, berubah menjadi metode praktis tapi riskan dan terkesan melupakan empati. Karena kesannya penjual tidak mau peduli nasib pembelinya yang rawan celaka akibat menelan staples. Tubuh manusia memang butuh mineral semacam zat besi, tapi jelas bukan berarti perlu mengonsumsi staples atau sebangsanya.
Memang tidak semua penjual makanan menggunakan staples dalam kemasan jualannya. Masih ada yang sadar atau pun tidak telah bertindak bijaksana dengan menggunakan metode yang lebih aman, metode selain menggunakan staples.
Staples jelas berbahaya jika tertelan. Apakah itu berarti kalau tidak tertelan jadinya tidak berbahaya? Susah kalau cara pandangnya seperti ini. Karena mengabaikan potensi bahaya itu juga berbahaya.Â
Mestinya tak perlu menunggu adanya kasus fatal yang viral dulu agar pemerintah menaruh perhatian. Memang, urusan pemerintah sudah sangat banyak. Tapi kalau yang seperti ini tidak ikut dipedulikan, nanti masalahnya bisa jadi makin banyak.
Kalaulah pelarangan staples dalam berbagai bungkus makanan masih memerlukan kajian panjang dan perdebatan, minimal ada imbauan untuk lebih mengutamakan keselamatan konsumen atau pelanggan di atas keuntungan finansial semata. Imbauan dari siapa lagi kalau bukan dari para penentu kebijakan, pemerintah beserta segenap aparaturnya.
Menteri kesehatan, menteri perdagangan, menteri perindustrian, atau menteri apa pun silakan. Tidak melulu soal peraturan perundang-undangan. Imbauan, edukasi, atau iklan layanan pun bisa jadi wujud kepedulian.Â
Dan bisa jadi justru tepat sasaran dan para pihak yang terkait mau segera mengubah kebiasaan dengan penuh kesadaran. Maka saya bisa kembali makan nasi padang "take home" dengan nyaman.Â
Tak perlu lagi menghitung jumlah lubang pada kertas bungkus dan mencocokannya dengan jumlah staples yang sudah ditemukan untuk mengurangi kekhawatiran. Karena saya sudah hampir berada pada level ingin memasang magnet besar di meja makan sebagai bagian dari prosedur keamanan. Nggak segitunya juga, sih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H