Belasan tahun silam, berdasarkan pengalaman saya waktu di Yogyakarta, bungkus makanan basah menggunakan "segel" karet gelang. Tahu gimbal, pecel, lotek, rujak, gado-gado, dan nasi rames dibungkus menggunakan kertas minyak atau kadang daun pisang berlapis koran, lalu diikat dengan karet gelang.
Pernah satu waktu saya punya koleksi puluhan karet gelang di kamar kos, ya hasil dari iseng mengumpulkan "segel-segel" itu. Beberapa di antaranya dari bungkus nasi kucing yang terkenal dengan jumlah karet gelang pada bungkus sebagai penanda isinya, baik jenis maupun level pedasnya.
Kalau masakan padang yang sering saya beli, kadang malah tidak memakai apa-apa, alias tanpa segel. Penjualnya piawai membungkusnya dengan kertas minyak dan hanya melipat ujungnya, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik (kresek) kecil, sesuai ukuran nasi bungkusnya.
Metode pemanasan ujung plastik dengan lilin atau heat sealer, penggunaan biting pada bungkus daun, dan penggunaan gelang karet; sepertinya sekarang cenderung bertransformasi menjadi satu atau 2 biji staples yang keluar dari alat bernama stapler alias "hekter" alias "cekrekan" atau "jegrekan".Â
Dari metode yang aman dan sebenarnya cukup bernilai seni, berubah menjadi metode praktis tapi riskan dan terkesan melupakan empati. Karena kesannya penjual tidak mau peduli nasib pembelinya yang rawan celaka akibat menelan staples. Tubuh manusia memang butuh mineral semacam zat besi, tapi jelas bukan berarti perlu mengonsumsi staples atau sebangsanya.
Memang tidak semua penjual makanan menggunakan staples dalam kemasan jualannya. Masih ada yang sadar atau pun tidak telah bertindak bijaksana dengan menggunakan metode yang lebih aman, metode selain menggunakan staples.
Staples jelas berbahaya jika tertelan. Apakah itu berarti kalau tidak tertelan jadinya tidak berbahaya? Susah kalau cara pandangnya seperti ini. Karena mengabaikan potensi bahaya itu juga berbahaya.Â
Mestinya tak perlu menunggu adanya kasus fatal yang viral dulu agar pemerintah menaruh perhatian. Memang, urusan pemerintah sudah sangat banyak. Tapi kalau yang seperti ini tidak ikut dipedulikan, nanti masalahnya bisa jadi makin banyak.
Kalaulah pelarangan staples dalam berbagai bungkus makanan masih memerlukan kajian panjang dan perdebatan, minimal ada imbauan untuk lebih mengutamakan keselamatan konsumen atau pelanggan di atas keuntungan finansial semata. Imbauan dari siapa lagi kalau bukan dari para penentu kebijakan, pemerintah beserta segenap aparaturnya.
Menteri kesehatan, menteri perdagangan, menteri perindustrian, atau menteri apa pun silakan. Tidak melulu soal peraturan perundang-undangan. Imbauan, edukasi, atau iklan layanan pun bisa jadi wujud kepedulian.Â
Dan bisa jadi justru tepat sasaran dan para pihak yang terkait mau segera mengubah kebiasaan dengan penuh kesadaran. Maka saya bisa kembali makan nasi padang "take home" dengan nyaman.Â