Kisah ini kualami belum lama, baru beberapa hari yang lalu. Namun rangkaian waktu pendahulunya sudah cukup lama mulainya, nyaris satu tahunan. Awalnya di suatu hari di tahun lalu, saat bulan yang kemakan kalender 2016 belum genap 6.
Di pagi yang sepi kala itu aku sedang berdiri di depan rumah. Melepas lelah sehabis mencuci kendaraan yang belepotan kotoran burung entah mulai kapan. Kebetulan ada jaringan serat optik melintas di atas. Mungkin karena burung-burung paham kecepatan transmisi serat optik, maka mereka memilih nangkring di situ supaya lancar jaya pencernaannya. Jadi kotoran yang mencemari kendaraanku itu kemungkinan turun dengan kecepatan di atas 100 Mbps.#maakk
Kutengok sepanjang gang masih saja sunyi. Hmm … kendaraan Pak Darto terlihat diparkir di luar rumah. Bukan karena tak punya garasi, tetapi karena garasinya sudah penuh. Sudah ada dua mobil di garasinya. Dasar tajir, gumamku.
"Assalamualaikum…." Tiba-tiba terdengar orang memberi salam dari arah belakangku. Seorang bapak dengan tinggi seratus enampuluh lima setengah sentian menatapku sambil mengangguk dan tersenyum. Aku terkesiap sejenak lalu membalas, "Waalaikum salam." Kami bersalaman. Sejurus kemudian aku ingat, bapak itu beberapa bulan lalu pernah bertamu juga. Maka sebelum ia membeberkan maksud kedatangannya, meski dengan sedikit ragu aku mencoba menebak maksudnya, "Kalender?"
"Betul, Bapak!"
"Bukannya sudah?"
Memang, kali pertama bertemu dengannya saat bulan di tahun 2015 mulai ada embernya, maksudnya setelah bulan 8. Waktu itu aku membeli kalender 2016. Lha ini kok ditawari kalender lagi.
"O, ini kalender 2017, Bapak," jawabnya tangkas.
Hwuaduh. Semula aku mau menolak karena masih awal-awal tahun, tetapi tak sampai hati. Kupikir kalender itu nanti pasti terpakai juga. Maka kubelilah si kalender dan kusimpan di atas lemari baju hingga tiba saatnya nanti. Kugulung dan kukareti. Karetnya satu saja. Kalau karetnya dua, nanti ada yang nuntut  sambalnya, cabe lagi mahal! (emangnya nasi kucing?)
Hingga berbulan-bulan kemudian si kalender teronggok setia menunggu penugasan. Namun, anehnya, menjelang pergantian tahun, si kalender justru raib entah ke mana. Barang-barang di atas lemari baju kuobrak-abrik tanpa kutemukan jejak si kalender. Pengkhianat, batinku. Ini sudah mau tahun baru, kok kalendernya malah nggak ketemu. Aku berusaha bersabar. Mungkin besok ketemu.
Sayangnya, hingga awal tahun 2017 berjalan beberapa hari, kami tak punya kalender cetak terpasang di dinding. Ini bahaya. Padahal kami "memakai" sistem kalender. Salah hitung sedikit saja, anakku yang paling kecil bisa kehilangan titel kebungsuannya. Maka kupaksakan diri mengadakannya. Berbekal file unduhan, kucetak sebuah kalender darurat di suatu siang saat ditinggal belanja sendirian. Huft.. lega.