Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(Horor Koplak) Siluman Langit-langit

12 Januari 2017   23:52 Diperbarui: 26 Januari 2017   13:36 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah ini kualami belum lama, baru beberapa hari yang lalu. Namun rangkaian waktu pendahulunya sudah cukup lama mulainya, nyaris satu tahunan. Awalnya di suatu hari di tahun lalu, saat bulan yang kemakan kalender 2016 belum genap 6.

Di pagi yang sepi kala itu aku sedang berdiri di depan rumah. Melepas lelah sehabis mencuci kendaraan yang belepotan kotoran burung entah mulai kapan. Kebetulan ada jaringan serat optik melintas di atas. Mungkin karena burung-burung paham kecepatan transmisi serat optik, maka mereka memilih nangkring di situ supaya lancar jaya pencernaannya. Jadi kotoran yang mencemari kendaraanku itu kemungkinan turun dengan kecepatan di atas 100 Mbps.#maakk

Kutengok sepanjang gang masih saja sunyi. Hmm … kendaraan Pak Darto terlihat diparkir di luar rumah. Bukan karena tak punya garasi, tetapi karena garasinya sudah penuh. Sudah ada dua mobil di garasinya. Dasar tajir, gumamku.

"Assalamualaikum…." Tiba-tiba terdengar orang memberi salam dari arah belakangku. Seorang bapak dengan tinggi seratus enampuluh lima setengah sentian menatapku sambil mengangguk dan tersenyum. Aku terkesiap sejenak lalu membalas, "Waalaikum salam." Kami bersalaman. Sejurus kemudian aku ingat, bapak itu beberapa bulan lalu pernah bertamu juga. Maka sebelum ia membeberkan maksud kedatangannya, meski dengan sedikit ragu aku mencoba menebak maksudnya, "Kalender?"

"Betul, Bapak!"

"Bukannya sudah?"

Memang, kali pertama bertemu dengannya saat bulan di tahun 2015 mulai ada embernya, maksudnya setelah bulan 8. Waktu itu aku membeli kalender 2016. Lha ini kok ditawari kalender lagi.

"O, ini kalender 2017, Bapak," jawabnya tangkas.

Hwuaduh. Semula aku mau menolak karena masih awal-awal tahun, tetapi tak sampai hati. Kupikir kalender itu nanti pasti terpakai juga. Maka kubelilah si kalender dan kusimpan di atas lemari baju hingga tiba saatnya nanti. Kugulung dan kukareti. Karetnya satu saja. Kalau karetnya dua, nanti ada yang nuntut  sambalnya, cabe lagi mahal! (emangnya nasi kucing?)

Hingga berbulan-bulan kemudian si kalender teronggok setia menunggu penugasan. Namun, anehnya, menjelang pergantian tahun, si kalender justru raib entah ke mana. Barang-barang di atas lemari baju kuobrak-abrik tanpa kutemukan jejak si kalender. Pengkhianat, batinku. Ini sudah mau tahun baru, kok kalendernya malah nggak ketemu. Aku berusaha bersabar. Mungkin besok ketemu.

Sayangnya, hingga awal tahun 2017 berjalan beberapa hari, kami tak punya kalender cetak terpasang di dinding. Ini bahaya. Padahal kami "memakai" sistem kalender. Salah hitung sedikit saja, anakku yang paling kecil bisa kehilangan titel kebungsuannya. Maka kupaksakan diri mengadakannya. Berbekal file unduhan, kucetak sebuah kalender darurat di suatu siang saat ditinggal belanja sendirian. Huft.. lega.

Selesai nge-print, azan dhuhur berkumandang. Aku ambil wudu dan berniat salat dhuhur di ruang tengah, tempatku biasa salat. Saat itulah tiba-tiba saja hidungku mengendus bau aneh, mirip bau daun pandan. Kuendus kanan kiri, baunya tidak berubah intensitasnya; maka aku mendongak ke atas. Pandanganku menyapu langit-langit ruangan setinggi dua setengah meteran hingga terpaku pada aperture alias bukaan di salah satu sudutnya. Bukaan itu sekira dua jengkal sisinya, difungsikan untuk memastikan cahaya matahari yang melewati genting kaca bisa ikut menerangi ruangan. Tapi ada yang aneh. Di sudut bukaan itu ada menyembul sesuatu berwarna putih berbelang rapat.

Semula kukira kulit ular yang sudah dilepas. Wah, bikin ngeri saja. Bisa ketakutan nanti anak-anak dan ibunya. Biar kuambil saja. Maka kuambil tongsis panjang yang biasa kugunakan untuk memasang lampu. Kucolak, kucolek, kok susah digerakkan, yaa? Seperti barang kaku saja. Tiba-tiba..

GLUNDUNG!

Benda itu menggelundung dari plafon, tetapi tidak jatuh. Terlihat gulungan putih sebesar jempol kaki di sana. Kusentuh lagi pakai tongsis lampu supaya jatuh, malah menggelundung lagi dan hilang dari pandangan.

Penasaran, kuseret meja ke bawahnya, lalu aku naik dan tanganku meraba-raba ke bukaan tadi. SLAP. Kudapat juga gulungan itu. Kuamati sebentar dan …buajigurrrr, ternyata kalender yang kucari-cari.

Lho, siapa yang iseng meletakkan kalender di situ?

Kuperhatikan jarak horizontal antara ruang salat dan lemari baju memang hanya dua meteran. Tapi kalau ulah usil anak-anak sepertinya tidak mungkin, apalagi ibunya. Lalu siapa? Tengah aku melamunkan sejuta pertanyaan… eh kebanyakan; beberapa pertanyaan tadi, tiba-tiba terdengar sesuatu di langit-langit.

GRUDUG..GRUDUG.. GRUDUG..

Oo, mungkin spesies ratatouille yang melakukannya, begitulah aku memaknai bunyi itu sebagai jawaban atas pertanyaanku. Tapi… kalau memang tikus, bagaimana ia bisa memanjat dinding dua setengah meteran, apalagi membawa gulungan kalender? Kalau memanjat lemari baju memang mungkin, ada sudut yang bisa dijadikan pijakan, tapi apa iya si tikus punya ilmu meringankan tubuh dan bersalto di antara kabel lampu dan kabel kipas angin yang terjulur ke langit-langit ruangan? Dan lagi, buat apa tikus mengoleksi kalender? Tiba-tiba terdengar suara lagi dari langit-langit kamar tengah tadi. Kali ini suaranya berbeda,

KELOPLAK..KELOPLAK..KELOPLAK..

Suaranya mirip suara sandal jepit yang sedang dipakai berjalan oleh mbak-mbak (umumnya dengan bemper belakang berukuran mantap). Sandalnya bukan diangkat, melainkan diseret, mungkin demi menjaga amplitudo osilasi goyangannya. Hasilnya, bagian belakang sandal dengan tumit pemakainya berkolaborasi membentuk bunyi perkusi. Ini fakta, loh. Terus kenapa?

KELOPLAK..KELOPLAK..KELOPLAK..

Eh, bunyi itu muncul lagi.

"Apaan, seh?" rutukku kesal. Tapi bunyi itu muncul lagi.

KELOPLAK..KELOPLAK..KELOPLAK..

"Huh.. keloplak..keloplak, dasar koplak!" rutukku makin kesal. Tiba-tiba terdengar jawaban dari atas,

"Yo ben‼"

Hissshh‼ Aku mundur, berlari ke ruang lain. Refleks kunyalakan semua lampu yang saklarnya kebetulan kulewati. Padahal siang hari. Kutenangkan diriku sebentar. Mungkin ada hal yang Tuhan ingin sampaikan padaku melalui kalender ini.

Kuamati lagi kalender yang kubawa. Karetnya sudah tak ada, tapi gulungan masih terbentuk seperti masih ada karetnya. Kubuka gulungannya, eh.. kembali lagi, kubuka lagi, kembali menggulung lagi. Ya Tuhan, ada apa ini? Padahal nggak aneh sih, sebenarnya..hihihi.

Kubuka kalendernya. Kuamati bagian depannya. Ada tertulis jelas di sana istilah "Topo Lelono". Wah, topo kan artinya bertapa. Jangan-jangan yang memindahkan kalender itu sejenis siluman yang sedang bertapa dan khawatir lupa jadwal. Wow, pasti asyik sekali kalau itu Pai Su Chen si siluman ular putih yang cuantiikk. Ah, tapi nggak mungkin. Pai Su Chen sudah bertapa ratusan tahun, levelnya udah abad. Yang ini yang ambil kalenderku pastinya baru dalam hitungan bulan proses bertapanya. Membayangkan sesuatu yang mengerikan, secepat kilat aku kembali ke ruang tengah. Setengah berteriak aku katakan, "Jangan memperlihatkan diri kalau masih jelek‼"

Sempat kudengar bunyi "plak", entah bunyi keloplak seperti tadi atau malah ngatain aku koplak, aku tak peduli. Aku ngacir ke ruang lain. Tongsis dan meja masih di ruang salat. Kubereskan nanti saja kalau anak-anak dan ibunya sudah pulang dari belanja. Sementara, aku salat di depan tivi saja.

Ngeri, tapi peristiwa itu membuatku paham mengapa Bu Setya tetangga kami selalu tampak ketakutan kalau bertamu. Pandangannya selalu menyapu sekeliling. Bahkan, di awal-awal keluargaku tinggal di sini, tiap kali bertemu hampir selalu ditanya "nggak ada apa-apa, kan?" Now I know.

Oh, iya, di halaman depan kalender itu tercantum sebuah nasihat. Mungkin itu yang ingin Tuhan sampaikan padaku. Bunyinya:

"Tidak ada amal yang lebih bisa diharapkan untuk diterima daripada amal yang tidak engkau sadari (perhitungkan) dan engkau pandang tidak berarti."

Oke deh Kakak…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun