Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

KPK Biarkan Korupsi di Gedungnya Sendiri

18 Februari 2016   12:59 Diperbarui: 18 Februari 2016   13:24 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Kelima pimpinan KPK. (Sumber: liputan6.com)"][/caption]Menurut Concise Oxford English Dictionary, korupsi (corruption) berarti aksi mengorupsi atau keadaan terkorupsi atau korup. Meskipun sudah kuno a.k.a arkais, istilah korupsi juga diartikan sebagai proses meluruh, berkurang dari kuantitas mula-mula. Makna arkais inilah yang saya maksud terjadi di gedung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan dibiarkan begitu saja.

Yang meluruh dan berkurang memang bukan kekayaan negara yang berupa materi, melainkan nonmateri, yaitu kewibawaannya. Kewibawaan negara, bukan cuma kewibawaan pemerintah karena pemerintah berada di lapisan politik yang berbeda dengan KPK menurut trias politika. Karena itulah masalah lunturnya kewibawaan ini harusnya menjadi perhatian seluruh komponen negara, termasuk rakyatnya. Hanya saja, karena hal ini terjadi di gedung KPK yang berkaitan langsung dengan hukum dan peraturan, maka KPK-lah yang paling bisa kita "harapkan" aksi konkretnya menjaga kewibawaan negara.

Negara dicitrakan dengan simbol-simbolnya. Simbol atau identitas negara meliputi bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Identitas-identitas negara tersebut diatur kedudukan dan penggunaannya dengan Undang-Undang Nomor 24  tahun 2009.

[caption caption="Undang-Undang no 24 tahun 2009 (Sumber Setneg)"]

[/caption]

Pada tulisan saya ini saya khusus menyoroti aturan dalam undang-undang tersebut yang berhubungan dengan lambang negara, terutama pasal 48 ayat 2 huruf b serta penjelasannya.

[caption caption="Pasal 48 ayat (2) huruf b UU no 24 tahun 2009. (Sumber: Setneg)"]

[/caption]

[caption caption="Penjelasan pasal 48 UU no 24 th 2009 (Sumber: Setneg)"]

[/caption]

Berdasarkan undang-undang tersebut, jumlah mata rantai dalam perisai Garuda Pancasila mestinya berjumlah 17 dengan rincian 9 mata rantai bulat (bundar) dan 8 mata rantai persegi (kotak). Sekarang kita cermati dengan lebih teliti Garuda Pancasila yang ada di gedung KPK. (titik-titik merah untuk memudahkan perhitungan visual)

[caption caption="Garuda Pancasila di gedung KPK; jumlah mata rantainya kurang 5. (Sumber gambar: liputan6.com)"]

[/caption]

Ternyata jumlah mata rantai di perisai Garuda Pancasila "versi" KPK hanya duabelas biji. Belum pernah diselidiki apakah yang 5 biji itu ternyata dikorupsi atau meluruh sendiri secara alami. Mengingat KPK adalah lembaga yang berurusan dengan korupsi, mungkin saja Garuda Pancasila itu merupakan salah satu alat bukti terjadinya korupsi. Tapi, sepertinya tidak mungkin. Kalau hasil korupsi, pastinya tidak malah dipakai sendiri.

Lepas dari kemungkinan diperbolehkannya "variasi" lambang negara dalam bentuk tiga dimensi sebagai bentuk pengakuan "licentia poetica" pada para pekerja seni, prinsip-prinsip filosofi lambang negara mestinya tetap harus dipatuhi tanpa kecuali. Apalagi Lambang negara di instansi kebanggaan negeri. Instansi-instansi lain pun mestinya segera memeriksa Garuda Pancasila yang terpasang di gedung masing-masing. Jangan sampai yang terpasang adalah lambang negara yang cacat secara filosofi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun