Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teroris Layar Kaca

23 Januari 2016   21:41 Diperbarui: 23 Januari 2016   22:12 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekerasan bukan melulu berarti kekerasan fisik. Kekerasan dapat juga berbentuk kekerasan dalam sikap dan kata-kata. Untuk teladan sekomplit ini sinetron ambil porsi yang besar.

Teladan kekerasan dalam sinetron sudah sering dipamerkan. Penonton yang anak-anak diajari cara melawan orangtua saat tema adegannya anak durhaka. Orangtua pun diajari cara memarahi dan menyiksa anak saat tema adegannya orangua yang zalim. Secara tuntutan skenario sebenarnya bukan masalah, andaikan asas kewajaran diperhatikan demi meyelipkan "pesan kebaikan" yang diamanatkan. Yang saya maksud dalam hal ini adalah contoh atau teladan atau ajaran untuk membela diri. Anak yang dizalimi wajib membela dirinya meski dengan cara melarikan diri.

Dalam sinetron, tema anak durhaka selalu sepaket dengan orangtua yang lemah atau bodoh, terlalu lemah untuk membela dirinya, terlalu bodoh untuk mendidik anaknya. Di lain pihak, tema orangtua yang zalim selalu sepaket dengan anak yang lemah yang tidak mau membela dirinya. Mengapa demikian? Karena memang budaya kesadaran "membela diri" sengaja dilunturkan. Oleh siapa?

3. Kampanye Ketergantungan pada Pihak Lain / Anti-kemandirian

Aspek ini sejalan dengan upaya pelunturan budaya kesadaran membela diri melalui tontonan sinetron dan sejenisnya. Yang digambarkan bisa membela diri dan orang lain hanya tokoh-tokoh jagoan, sementara "tokoh-tokoh asuhanya" hanya bergantung padanya, tak perlu berusaha melindungi dirinya sendiri. Cukup menikmati siksaan dari tokoh antagonis sambil menunggu kedatangan sang pembela.

Kadar lebih buruk dari aspek ini terekspos jelas pada cerita-cerita di mana "sang pembela" merupakan makhluk tak jelas, semacam: bidadari, jimat, jin, atau tuyul.

4. Kampanye Ketidaklogisan

Hal yang tidak logis dapat merusak pemikiran. Meski dibuat melulu sebagai hiburan, jika terus ditonton berulang-ulang dapat membahayakan logika penontonnya. Salah satu contohnya adalah sinetron Manusia Harimau di mana suasana sekolahan merupakan latarnya.

Contoh lain ketidaklogisan berkaitan dengan penokohan, misalnya tokoh antagonis yang selalu kuat, pintar, jahat, dan sering "mengadopsi" karakter iblis. Sementara itu tokoh protagonis biasanya dicitrakan lemah, baik, dan pemaaf atau dapat disingkat sebagai "bodoh" saja. Alam bawah sadar penonton umumnya memilih "menempatkan diri" sebagai tokoh protagonis. Alam bawah sadar itu pula yang akan mengadopsi kebodohan tokoh protagonis pada cerita yang ditontonnya.

Kalau selalu ada penonton yang bisa ditulari kebodohan tokoh protagonis, berarti akan selalu ada stok orang-orang yang gampang dibuat galau dan akhirnya direkrut untuk bikin kacau. "Bodoh" yang saya maksud di sini bukan bodoh secara akademik, melainkan sikap menerima ketidaklogisan (karena terbiasa) dan kealpaan untuk selalu menggunakan akalnya.

5.  Provokasi untuk Menjaga "Tensi" tetap Tinggi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun