Penerapan Strategi Mafia Bola, Sutradara Pencitraan, Rat Supremacy, Milli Vanilli Degrade, dan Inverse Mak Erot dalam Aksi Pura-Pura MKD Memproses Pengaduan Etik Sudirman Said terhadap Setya Novanto
Â
[caption caption="Permainan Kucing dan Tikus; Tikuslah yang rame-rame dilindungi."][/caption]
Biar saja dikatakan judulnya niru-niru anak kuliahan bikin skripsi. Karena memang tak cukup dijuduli satu atau dua kata saja. Judul panjang itu pun saya rasa masih kurang jelas menerangkan, masih kurang terang menjelaskan apa yang ada di benak saya. Memang judulnya sengaja saya buat panjang, pokoknya jumlah kata-katanya jangan sampai kalah banyak dengan jumlah anggota DPR yang tergabung dalam Mahkamah Kehormatan Dewan a.k.a MKD yang sedang "pura-pura" mengadili etika ketuanya.
Sidang MKD dalam kasus yang terkenal dengan sebutan "Papa Minta Saham" yang menyeret-nyeret Ketua DPR Setya Novanto belakangan ini cukup menyita perhatian publik. Apalagi sidang dilakukan secara terbuka, diliput media, bisa disaksikan masyarakat se-Indonesia Raya. Publik pun sempat optimis bahwa sidang akan berjalan elegan, fair, dan berwibawa.
Sayangnya, sidang MKD yang terbuka itu justru berlangsung "lucu", karena yang "diadili" justru pengadu dan saksinya. Majelis sengaja diarahkan untuk lupa dan kehilangan fokusnya oleh beberapa aktor yang kebetulan mendapat bagian peran antagonis. Publik pun mulai ragu dan bertanya-tanya. Kok bisa? Kok nggak malu? Kok tega? Sebagian masyarakat merasa dianggap idiot dengan suguhan tontonan "sit-up komedi" ala MKD. Bagian kelengkapan lembaga tinggi negara milik rakyat itu terindikasi tak serius mempertahankan marwah lembaga dan justru memamerkan arogansi kewenangannya.
Dan, keraguan publik akan keseriusan gelaran sidang MKD itu mencapai puncak pertamanya saat sidang yang menghadirkan "the target man" Setya Novanto terpaksa tiba-tiba dikondisikan harus dilakukan secara tertutup. Bukan cuma tertutup pintunya, informasinya pun dirahasiakan secara rapat, serapat menyimpan bangkai yang dikhawatirkan baunya akan meloloskan diri tanpa izin melalui pori-pori sekat ruangan.
Maka dihamburkanlah berbagai alasan masuk akal maupun keluar akal sebagai dalil pembenaran. Saya tidak percaya itu. Saya justru meyakini telah terjadi hal seperti yang saya cantumkan dalam judul tulisan. Saya akan mengulasnya satu-persatu secara berurutan.
Strategi Mafia Bola
Lembaga atau organisasi beku yang sering disebut-sebut dalam pembicaraan soal mafia sepakbola pernah disebut juga dalam rekaman "ilehal" hasil tangkapan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin yang dikopi sebagai pendukung pengaduan etik Sudirman Said atas Setya Novanto ke MKD. Bagaimana tak berpikir tentang mafia bola jika berbagai fakta di sidang etik itu jelas mengarah ke sana?
Fakta pertama adalah terjadinya pergantian "pemain" yang kesannya mendadak alias tiba-tiba. Padahal, pemain starternya masih bugar dan bisa ikut berlaga. Keheranan bertambah dengan melihat bahwa pemain penggantinya "kiper" semua. Kiper politik mirip-mirip kiper sepakbola, cuma bedanya boleh bawa toa untuk memprovokasi penyerang lawan agar kehilangan fokus dan melenceng tembakannya. Sebagai penonton kita mestinya bisa belajar dari fenomena itu, bahwa omongan makhkluk bertoa tak selalu berharga. Kadang mereka juga cuma boneka angkrek suruhan mafia.
Fakta kedua adalah adanya praktik pengaturan skor. Ini bagian dari "match fixing"; yang diatur adalah skor voting. Pokoknya kemauan bos mafia yang harus terjadi, bagaimana pun caranya. Dengan pengaturan skor voting, yang semula setuju sidang terbuka pun entah bagaimana caranya akhirnya berbalik setuju sidang dilakukan tertutup.
Sutradara Pencitraan
Yang saya maksud sebagai strategi sutradara pencitraan dalam kasus ini bukan mengacu pada perorangan, melainkan permufakatan. Sidang MKD seakan sudah ada skenarionya. Alternatif ending tiap adegannya sudah ada dibahas sebelumnya. Makanya kita tak perlu kaget ada manuver-manuver macam-macam dan aneh-aneh yang berujung pada keputusan yang mencederai keadilan, meski dibalut pertimbangan hukum. Memang hukum yang selalu jadi alasan mereka, keadilan cukup dijadikan alas kaki saja. Susah kalau sudah begini.
Rat Supremacy
Ini sebenarnya konsep permainan anak yang terbawa ke dunia orang tua. Permainan kucing dan tikus. Sekelompok anak bergandengan tangan membentuk lingkaran. Seorang anak berperan sebagai tikus, seorang lagi berperan sebagai kucing yang mengejar tikus tersebut. Anak-anak di lingkaran diwajibkan untuk membantu tikus meloloskan diri dari kucing dengan barikade yang mereka buat. Jika tikus mendekat dan ingin masuk, mereka mudahkan akses masuk semudah-mudahnya. Begitu sang tikus masuk, barikade menutup, tak ada celah bagi kucing pengejar untuk mendekati tikus di tengah para pelindungnya.
Bagaimana tak heran, jauh sebelum kantong gandum dijahit sebagai penutup dada bidadari surga, tikus itu sudah identik dengan hama yang harus dibasmi. Tapi dalam permainan itu justru dilindungi. Anak-anak dikondisikan melindungi tikus melalui permainan. Sedemikian pentingkah seekor tikus untuk dilindungi? Atau, sedemikian berkuasakah seekor tikus sehingga bisa mengerahkan semua orang untuk melindunginya? Dalam kasus permainan kucing dan tikus, musuh tikus hanya si kucing, tapi musuh si kucing adalah seluruh anak dalam permainan itu. Bukan main! Kecilnya melindungi hama, jangan-jangan nanti besar melindungi koruptor dan mafia.
By the way, jika sidang etik "ini" kita misalkan permainan kucing dan tikus ini, maka siapakah yang bergandengan tangan membentuk lingkaran melindungi tikus? [*nyesel blm bisa nggambar karikatur.]
Milli Vanilli Degrade
Milli Vanilli adalah grup musik Jerman yang pernah tenar pada dekade 90-an. Pernah menyabet Grammy, tapi sayangnya harus mengembalikan penghargaan tersebut karena mereka ketahuan cuma lip-sync; beraksi dengan suara orang lain. Prestasi yang diraih menjadi "ilehal" pula. Namun, kepopuleran mereka sudah telanjur mendunia.
Ide populer tanpa harus berusaha sendiri itu "mungkin" yang dulu-dulu biasa dipraktikkan sehingga sidang etik yang dihadiri disyaratkan harus dilakukan secara tertutup. Kalau terbuka, bisa-bisa terbongkar fakta bahwa publik Indonesia telah dan sedang "dikadali" para politisi senayan.
Saya ingat sebuah poster film jadul. Digambarkan di situ gambar banyak orang berkerumun dan ada salah satunya berukuran raksasa. Sepotong narasi terbaca sebagian " ..they made the toughest among them King". Jika potongan narasi ini juga dianut para politisi senayan, tak diragukan lagi bahwa sang ketua adalah yang terkuat di antara mereka. TERKUAT? YA. Terpandai? Nanti dulu. Sepertinya bukan. Dan inilah yang mendasari ide tertutupnya sidang yang menghadirkan sang ketua.
Dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya pernah mengulas tentang "keanehan" gaya bicara Ketua DPR RI Setya Novanto (disini). Saya nyatakan dalam tulisan itu bahwa gayanya semisal gaya bicara Vicky Prasetyo, (seakan) intelek, tapi sulit dimengerti. Makanya saya mengkhawatirkan DPR makin kehilangan marwahnya jika ketuanya dibiarkan berbicara di depan publik dengan hanya mengandalkan kecerdasan pribadinya; maksud saya: bicara tanpa (dibuatkan) teks.
Dan tertutupnya sidang MKD yang menghadirkan Setya Novanto kemarin itu bisa saya pahami sebagai aksi logis para anggota DPR untuk menjaga wibawanya di hadapan publik. Ini bukan melulu masalah ketidakpantasan atau ketidakrelaan seorang "pembesar" diinterogasi bawahannya. Ini masalah besar kewibawaan anggota dewan. Jika publik sampai fokus mendengarkan (lagi) keanehan gaya bicara Setya Novanto, wibawa DPR akan hancur.
Para anggota DPR, terutama dari KMP dan khususnya Partai Golkar khawatir ketahuan sembarangan dalam memilihkan ketua DPR bagi rakyat Indonesia. Mereka khawatir ketahuan oleh masyarakat luas bahwa mereka sengaja menyusupkan "bom waktu" untuk merusak DPR dari dalam, dan ini artinya niat menghancurkan Indonesia atau minimal menghambat kerja pemerintah. Dengan fakta seperti itu, bagaimana mungkin mencegah publik untuk menyimpulkan bahwa semua itu dilandasi dendam sakit hati akibat kalah pemilu?
Jadi, apa benar Setya Novanto itu bom waktu yang disusupkan KMP untuk menghambat kerja pemerintah? Saya harap tidak. Tapi jika menyimak gaya bicaranya di depan publik (media, TV) saat menanggapi isu pelanggaran etik dalam kampanye Donald Trump, KMP masih hutang penjelasan. Setidaknya, KMP perlu mengklarifikasi bahwa Setya Novanto benar-benar merupakan kader terbaik mereka yang mereka persembahkan untuk kemajuan bangsa.
Faktanya, dengan gaya bicara yang "aneh" seperti orang ngelantur, publik pastinya meragukan kapabilitas dan kompetensinya memimpin lembaga. Namun, hal itu pula yang membuat publik akan memaklumi jika (kabarnya) dalam sidang tertutup kemarin itu Setya Novanto hanya (mau) membacakan "pledoinya". Pledoi yang kemungkinan besar juga bukan hasil pemikiran atau ketikannya sendiri. Lalu hasil pemikiran siapa? Tentu staf atau pengacaranya. Uang berkuasa. Gampang sekali menebaknya.
Inverse Mak Erot
Mak Erot merupakan nama legendaris di Indonesia. Entah itu nama pribadi seseorang atau sudah menjadi istilah umum bagi siapa pun ahli urut "urat malu" laki-laki. Mak Erot (mungkin) diyakini memiliki kompetensi membesarkan dan atau memanjangkan "urat malu" laki-laki. Hal atau aksi yang bagi para dokter dianggap mitos belaka. Tapi untuk sementara ini saya anggap itu fakta.
Saya anggap "Mak Erot" merupakan nama metode. Maka saya katakan metode kebalikannya sebagai inverse mak Erot. Kalau Mak Erot membesarkan "urat malu", metode atau strategi "inverse Mak Erot" bertujuan memperkecil urat malu, atau bahkan menghilangkannya. Terbukti memang sudah hilang, kan? Para wakil rakyat itu, para anggota MKD itu, mereka nggak malu lagi berbuat memalukan di hadapan kita… rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H