Saya ingat sebuah poster film jadul. Digambarkan di situ gambar banyak orang berkerumun dan ada salah satunya berukuran raksasa. Sepotong narasi terbaca sebagian " ..they made the toughest among them King". Jika potongan narasi ini juga dianut para politisi senayan, tak diragukan lagi bahwa sang ketua adalah yang terkuat di antara mereka. TERKUAT? YA. Terpandai? Nanti dulu. Sepertinya bukan. Dan inilah yang mendasari ide tertutupnya sidang yang menghadirkan sang ketua.
Dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya pernah mengulas tentang "keanehan" gaya bicara Ketua DPR RI Setya Novanto (disini). Saya nyatakan dalam tulisan itu bahwa gayanya semisal gaya bicara Vicky Prasetyo, (seakan) intelek, tapi sulit dimengerti. Makanya saya mengkhawatirkan DPR makin kehilangan marwahnya jika ketuanya dibiarkan berbicara di depan publik dengan hanya mengandalkan kecerdasan pribadinya; maksud saya: bicara tanpa (dibuatkan) teks.
Dan tertutupnya sidang MKD yang menghadirkan Setya Novanto kemarin itu bisa saya pahami sebagai aksi logis para anggota DPR untuk menjaga wibawanya di hadapan publik. Ini bukan melulu masalah ketidakpantasan atau ketidakrelaan seorang "pembesar" diinterogasi bawahannya. Ini masalah besar kewibawaan anggota dewan. Jika publik sampai fokus mendengarkan (lagi) keanehan gaya bicara Setya Novanto, wibawa DPR akan hancur.
Para anggota DPR, terutama dari KMP dan khususnya Partai Golkar khawatir ketahuan sembarangan dalam memilihkan ketua DPR bagi rakyat Indonesia. Mereka khawatir ketahuan oleh masyarakat luas bahwa mereka sengaja menyusupkan "bom waktu" untuk merusak DPR dari dalam, dan ini artinya niat menghancurkan Indonesia atau minimal menghambat kerja pemerintah. Dengan fakta seperti itu, bagaimana mungkin mencegah publik untuk menyimpulkan bahwa semua itu dilandasi dendam sakit hati akibat kalah pemilu?
Jadi, apa benar Setya Novanto itu bom waktu yang disusupkan KMP untuk menghambat kerja pemerintah? Saya harap tidak. Tapi jika menyimak gaya bicaranya di depan publik (media, TV) saat menanggapi isu pelanggaran etik dalam kampanye Donald Trump, KMP masih hutang penjelasan. Setidaknya, KMP perlu mengklarifikasi bahwa Setya Novanto benar-benar merupakan kader terbaik mereka yang mereka persembahkan untuk kemajuan bangsa.
Faktanya, dengan gaya bicara yang "aneh" seperti orang ngelantur, publik pastinya meragukan kapabilitas dan kompetensinya memimpin lembaga. Namun, hal itu pula yang membuat publik akan memaklumi jika (kabarnya) dalam sidang tertutup kemarin itu Setya Novanto hanya (mau) membacakan "pledoinya". Pledoi yang kemungkinan besar juga bukan hasil pemikiran atau ketikannya sendiri. Lalu hasil pemikiran siapa? Tentu staf atau pengacaranya. Uang berkuasa. Gampang sekali menebaknya.
Inverse Mak Erot
Mak Erot merupakan nama legendaris di Indonesia. Entah itu nama pribadi seseorang atau sudah menjadi istilah umum bagi siapa pun ahli urut "urat malu" laki-laki. Mak Erot (mungkin) diyakini memiliki kompetensi membesarkan dan atau memanjangkan "urat malu" laki-laki. Hal atau aksi yang bagi para dokter dianggap mitos belaka. Tapi untuk sementara ini saya anggap itu fakta.
Saya anggap "Mak Erot" merupakan nama metode. Maka saya katakan metode kebalikannya sebagai inverse mak Erot. Kalau Mak Erot membesarkan "urat malu", metode atau strategi "inverse Mak Erot" bertujuan memperkecil urat malu, atau bahkan menghilangkannya. Terbukti memang sudah hilang, kan? Para wakil rakyat itu, para anggota MKD itu, mereka nggak malu lagi berbuat memalukan di hadapan kita… rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H