[caption caption="Truthuk. Sampel, tidak dijual. (Sumber: Dokpri)"][/caption]
Kami menyebutnya truthuk. Karena bunyi dasarnya memang terdengar truthuk..thuk..thuk..thuk. Bagi kami, sebenarnya ini hiburan dan dolanan. Tapi bagi orang lain, hal itu kadang mengagetkan dan menjengkelkan.
Kami membuatnya dari kaleng bekas. Entah bekas kaleng susu atau bekas kaleng cat. Kami pasangkan dua batang kayu atau bambu sekelingking sebagai kaki-kakinya di bagian bawah dan sebagai sepasang sungut di bagian atas, lalu kami ikatkan beberapa karet gelang di badan kalengnya.
Kami lubangi koin usang lima rupiahan zaman dulu atau tutup botol tepat di tengahnya. Kami masukkan sepasang gelang karet, kami rentang ke kiri dan ke kanan, kami sangkutkan pada sungut-sungut kayu di tepinya. Kami putar koin dalam arah horizontal hingga karet-karet pengikatnya terpilin-pilin. Jika koin itu kami lepas, berputarlah ia sambil memukul bagian atas kaleng dan menimbulkan suara berisik truthuk..thuk..thuk..thuk. Makin banyak pilinan karet penahan koin, makin lama durasi suaranya. Makin besar kalengnya, makin keras bunyinya.
Awalnya truthuk hanya kami bawa-bawa dan kami bunyikan. Saat lain kami tancapkan di tanah lalu kami mainkan. Selanjutnya kami coba ganjal dengan batu bertali panjang sehingga bisa dibunyikan dari kejauhan. Awalnya memang asyik, tapi lama-lama membosankan. Tak heran, perkembangan ide kami pun mulai memerlukan sasaran.
Maka kami tancapkan truthuk-truthuk kami di tepi jalan desa yang berpagar tanaman. Biasanya tanaman wura-wari bang, bambu-bambuan, atau teh-tehan. Kami "kokang" truthuk kami dengan batu bertali sebagai "detonator"-nya seraya mengamati calon 'klien' (sebenarnya lebih cocok disebut calon korban).
Korban favorit kami adalah orang yang berjalan sambil melamun. Begitu calon korban terlihat mendekat, kami pun berpencar masuk ke lubang-lubang tempat sampah sambil memegang tali yang terhubung dengan batu pengganjal koin. Begitu korban berada di posisi yang kami sepakati, kami tarik tali-tali kami secara serempak. Maka pecahlah kesunyian oleh bunyi truthuk-truthuk kami.
Biasanya klien akan terlonjak kaget, tak jarang marah dan mengumpat. Tapi kami hanya tertawa cekikikan di lubang-lubang persembunyian kami yang belasan meter jauhnya dari tepi jalan. Itu pun masih dengan bersembunyi di bawah tumpukan sampah daun pisang. Pokoknya aman.
Memang asyik. Seronok kalau kata Upin–Ipin. Meski telinga kami terpaksa sering kena jewer atau slentik oleh orangtua kami. Mereka katakan perbuatan kami tak baik karena mengganggu orang, apalagi sasaran kami kebanyakan orang-orang tua. Bagaimana kalau korban kami ternyata punya penyakit jantung?
Namun, kami bergeming. Aksi teror akustik terus kami lanjutkan. Toh ada saat di mana orangtua kami tak di rumah. Maka korban kami makin banyak saja. Dari yang melompat saking kagetnya hingga sepeda yang nyungsep ke pagar hidup akibat hilangnya konsentrasi pengendaranya.
Metode operasi kami pun bervariasi. Kadang tali "detonator" kami rentang ke tengah jalan supaya korban sendiri yang memicu berbunyinya truthuk kami. Bisa karena tersangkut kaki maupun terdorong roda sepeda. Kami amati saja dari jauh tanpa rasa berdosa.
Untunglah masa seperti itu tidak terlalu lama. Kami mulai bosan dan jenuh dengan permainan itu. Apalagi korban-korban sudah hafal dan cuma tertawa saat teror kami menggema mengiringi lewatnya mereka. Teror akustik kami tak ampuh lagi, tak seronok, tak asyik lagi. Kami pun berhenti. Pasukan teror akustik sepakat jadi veteran.
Itulah cerita tentang salah satu mainan kami. Mainan tak beli yang kami cari bahannya dan kami rakit sendiri. Meski tak terpuji, paling tidak, ada bentuk dan bukti akan kreativitas kami. Mohon beri kami maaf dan berlapang dada. Kreativitas anak-anak kadang memerlukan objek penderita.
Secara filosofi kami sebenarnya punya pembelaan. Bahwa di manapun orang berjalan harus selalu waspada, jangan melamun dan jangan bengong. Pokoknya aja kagetan kalau orang Jawa bilang. Maka teror akustik kami bisa jadi pelatihan. Tapi alasan itu hanya kami cari-cari saja. Sengaja mengagetkan orang, apalagi orang tua, tetap saja tak baik adanya. Maka ini sekadar cerita untuk dibaca. Bukan untuk ditiru oleh siapa saja, terutama jika tanpa bimbingan mama–papa atau ayah–bunda.
Daa.. daa..
–
dolanan = mainan
slentik = sentil
aja kagetan = jangan mudah terkejut
wura-wari bang = semacam tanaman bunga lonceng yang biasa digunakan sebagai pagar hidup
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H