"Loh, jadi kamu ikut pakai bio2-ku, to?"
"Yah..kita kan teman, Mas.. Nggak ada salahnya kau beramal sama ak....
"Wedhus kowe! Bajigur! Kanibal" rutukku sambil melemparnya dengan gumpalan kaos kaki yang seminggu belum kucuci.
Ia lari ke kamarnya sambil tertawa. Baru aku sadar kalau cepat susutnya volume bio2-ku itu akibat di-luwak-i si Kuclux. Pikiranku makin sebal saat ingat tabiat teman kos satu ini. Dia itu instruction-minded. Maksudnya, untuk memakai suatu produk apapun dia selalu patuh mengikuti instruksi yang tertera dalam kemasan. Pasti dia memencet bio2-ku minimal sepanjang 2 senti setiap kali mencuri-pakai, dan itu dia lakukan lebih dari satu kali.....per hari. Kampret bener‼
Setelah kejadian itu aku tak pernah lagi meletakkan bio2-ku di luar. Selalu kubawa ke kamar dan kuletakkan di tempat tersembunyi. Hal ini kulakukan sebagai antisipasi aksi si Kuclux yang kadang nekad melakukan apa saja demi menghemat uang sakunya sendiri.
Ah.. itu juga cerita usang. Kini produk itu tak lagi mampu membuatku merasa segar, tak mampu lagi membuat mukaku terasa bersih. Kalau dibuat perbandingan, kualitas produk zaman dulu itu sepertinya jauh di atas kualitas produk semerek sekarang. Andai komposisi atau kualitas produk zaman itu dipertahankan, tentu bagus buat konsumen. Tapi entah pikiran produsennya, mereka berkomitmen pada konsumen atau pada uang.
-----------------------
Dua contoh di atas menurutku cukup untuk membawa kita pada sebuah kesimpulan subjektif tentang gambaran politik "semi-culas" pihak produsen untuk mengeruk keuntungan. Omong kosong kalau di saat sebuah produk sudah disukai masyarakat si produsen bakal tetap berusaha meningkatkan kualitas produknya. Boro-boro meningkatkan, menjaga kualitasnya agar tetap seperti di awal produksi saja sepertinya sudah "nggak ikhlas". Mungkin tak ada yang lebih menarik bagi seorang pengusaha selain keuntungan yang berlipat ganda. (Kecuali pengusaha yang beriman dan bertakwa, tentunya.)
Baiknya kualitas produk di awal produksi hanyalah iklan "penjebak mangsa". Setelah mangsa terjebak, si produsen segera memasang strategi untuk mengeruk keuntungan berganda-ganda itu. Keuntungan pertama diperoleh dari fanatisme konsumen yang masih belum sadar yang selalu berminat pada produk tersebut (brand-minded). Keuntungan kedua diperoleh dengan menurunkan biaya produksi (baca: menurunkan kualitas produk) secara diam-diam tanpa mengganti kemasan (merek) dan tanpa kekhawatiran ditinggalkan oleh konsumen fanatiknya.
..... becanda loh yaa... :-D