Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Produk yang Diminati Cenderung Diturunkan Kualitasnya(?)

28 Juli 2013   06:05 Diperbarui: 23 Oktober 2015   08:47 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Entah benar atau cuma sekedar manifestasi suudzonisme dari pikiranku, tetapi memang begitulah yang kurasakan. Beberapa produk yang telah "mapan" dalam artian dikenal luas sebagai produk yang "bagus" cenderung menurun kualitasnya secara diam-diam demi menangguk untung berlipat-lipat berganda-ganda. Berikut ini contoh produk "fenomenal" bagiku yang menurutku telah "mengingkari pertemanan".

1.           Sari3 (1 = do)

Mie instan favoritku sejak SD ini terpatri dalam ingatanku dengan bungkus merah dan tekstur plastiknya yang menurutku terasa spesifik, ditambah dengan rasa mie-nya yang benar-benar "seperti itulah". Hal itu menjadikannya makanan instan "ai-lap-yu"-ku. Harganya waktu itu setara dengan 4 hari uang jajanku. Apakah karena mahal? Nggak juga. Apakah karena saking sedikitnya uang jajanku? Nggak juga. Uang jajanku sehari cukup untuk membeli segelas es buah waktu itu. Dan aku tak terbiasa jajan di sekolah, paling hanya pas olahraga yang cuma sekali dalam seminggu.

Demi makanan instan itu aku rela 4 hari tidak jajan di sekolah untuk mendapatkannya di warung Pak Kas di pinggir kampung. Warung itu biasa kulalui setiap pulang sekolah. Tapi itu duluuu sekalii... sebelum tahun 90-an. Sekarang rasa mie instan merek itu tak ada istimewanya. Sama saja dengan mie instan merek lain. Padahal di zaman dulu itu, meski cuma diseduh air panas (tidak dimasak), lalu dibiarkan beberapa menit, rasanya tetap mantab, mak nyus.

Sebagai anak-anak, aku benar-benar merasakan "kedekatan spesial" dengan menu makan itu. Mungkin karena proses "memasaknya" yang selalu kulakukan sendiri, bahkan sembunyi-sembunyi. Saat aku pulang sekolah, sekitar jam 11.00 WIB, rumah biasanya sepi. Ayah ibu bekerja di kantor, kakak-kakak masih sekolah, adik-adik biasanya bermain di tempat Bu Dhe. Kalau kupikir situasinya sudah sempurna, aku ambil rantang plastik bertutup, kubuka plastik mie instan lalu kumasukkan utuh (tanpa diremas), kuseduh dengan air panas dari termos besar, kumasukkan bumbu-bumbunya, kuaduk seadanya, lalu kututup rapat-rapat dan kuletakkan di meja makan, di belakang deretan dua termos besar. Tentu saja supaya tidak mudah ditemukan "orang". Serius. Orang yang paling kutakuti dalam skenario menikmati mie instan itu adalah....... AYAH!

Bukan, bukan begitu; ayah tak pernah melarang aku makan mie instan. Yang jadi masalah adalah karena beliau juga suka mie instan, terutama mie masakanku itu. Apakah aku pelit? Nggak juga. Aku ikhlas ayah ikut makan mie instan buatanku, tapi sedikit saja. Ayah sudah dapat jatah masakan terbanyak hari itu di lemari. Menu masakan setiap hari pasti menu yang ayah sukai, belum tentu aku suka. Dan jika aku tak cocok dengan menu hari itu, salah satu pelarianku adalah mie instan ailapyuku itu.

Namun, memang kadang nasibku apes. Sebagai seorang penilik (pengawas) SD waktu itu, Ayah sering melakukan supervisi ke sekolah-sekolah di lingkungan kecamatan. Kalau kebetulan lokasi SD yang ayah kunjungi itu dekat dengan rumah, tak aneh jika ayah menyempatkan diri pulang ke rumah sebentar. Dan kalau jadwal pemasakan mie instan ailapyuku itu kebetulan bertabrakan dengan pulangnya beliau, oh no.. it's gonna be bad.

Jika pulang, tempat yang ayah tuju pertama kali biasanya memang meja makan di mana air minum beliau yang berupa teh tubruk manis itu tersedia penuh-penuh dalam sebuah gelas besar nyaris satu literan. Apesnya, aroma mie instan masakanku itu biasanya tetap bocor keluar. Bisa ditebak jika saat minum itu ayah dapat dengan mudah mengetahui "rahasia" yang kusembunyikan. Kalau sudah begitu, aku mewajibkan diri hadir di meja makan sekadar untuk memastikan ayah tak menghabiskan menu makan siangku. Melarang ayah memakannya jelas percuma. Beliau yang berkuasa di rumah ini. Aku tak punya hak suara.

So, meski aku merajuk, ayah tetap mengambil sendok dan membuka rantang plastik berisi mie instan hasil pengorbananku empat hari tak jajan di sekolah itu. Janjinya sih memang hanya satu atau dua sendok, tapi jika sudah mencium aroma mie masakanku itu biasanya beliau langsung "lupa daratan". Beliau langsung makan dari rantangku itu, tidak mengambil wadah sendiri, aku tak suka itu. Itu pelecehan privasi anak. Tapi apa daya, bukan aku yang jadi ayah, aku sedang berposisi sebagai anak, harus bersikap "inferior". Dulu Kak Seto masih muda, masih sering tampil di Aneka Ria Anak-Anak, masih jadi sekadar teman bagi anak-anak, belum menjadi "pembela" seperti sekarang. Jadi, aku nggak mungkin mengadu pada Kak Seto yang itu. :-)

Sebenarnya ayahku masih menepati janjinya, sih. Beliau hanya memakan paling banyak dua sendok. Tapi dua sendok itu ternyata bukan dua sendok stright, melainkan dua sendok full spin. BETUL‼ Sekali menyendok, sendoknya diputar, baru dimasukkan ke mulut beliau. Batinku sudah menangis meraung-raung melihat adegan itu, tapi aku tak kuasa berpaling. Harus kusaksikan mie instan sahabatku-ailapyuku itu bergulung-gulung menghilang ke mulut ayah yang terlihat lahap dengan napas memburu dan suara meng-huah berkecupak,  suara yang juga tak kusukai. Guru TK-ku dulu bilang makan bersuara seperti itu kurang sopan, aku setuju dan selalu ingat untuk tak melakukannya.

Tak lama setelah sendokan pertama ayah, sendokan kedua menyusul... masih dengan mekanisme full spin. Alhasil, usai sendokan kedua itu volume paket mie instan milikku satu-satunya hari itu sudah menyusut lebih dari 50%. Jelas rugi bandar. Tampaknya ayah paham kebiasaanku menyeduh mie tanpa meremasnya dulu sehingga beliau menggunakan teknik full spin yang jitu itu untuk memaksakan dominasinya.

Usai menyantap (aku dulu sempat menyebutnya merampok) mie milikku itu, masih dengan mulut berlepotan kuah, ayah berlalu begitu saja dari hadapanku. Iya. Tak bicara apapun, tanpa ucapan ataupun sekadar isyarat terima kasih sedikitpun. Biasanya setelah adegan itu nafsu makanku sudah berkurang. Bagaimanapun juga aroma mie yang satu itu selalu menggugah seleraku, jadi bohong kalau kuceritakan nafsu makanku hilang sama sekali.

Apakah aku kapok memasak mie lagi? Tentu saja tidak. Karena masih banyak waktu-waktu lain di saat aku dapat dengan bebas menikmati mie kesayanganku itu semerdeka-merdekanya. Mie yang kuseduh utuh itu masih panjang-panjang ukurannya. Kadang kumakan sampai kerongkongan lalu kutarik lagi keluar. Memang jorok sih, tapi itu sekadar ekspresi kemerdekaanku. Itu caraku bercengerama dengan si mie tersayangku. Tentu saja aku tak melakukannya di hadapan orang lain. Aroma dan rasa mie itu terlalu enak untuk kupamerkan pada orang lain.

Oh iya, aku juga punya mekanisme sendiri untuk "membalas" ayah. Biasanya kutunggu hingga ayah berangkat lagi, lalu kuambil kail, kucari cacing, lalu kupancing ikan di kolam ayah. Yang kuincar ikan mujair atau nila. Syukur-syukur dapat lele. Kalau ada ikan gurameh kesayangan ayah yang nyangkut di kail, pasti kulepas lagi. Satu atau dua ekor mujair cukuplah. Aku cukup lincah membersihkan ikan dan menggorengnya sendiri. Bumbunya cuma sedikit garam. Menu ini pun kusukai, ikan nila atau mujair goreng garing hasil gerilya aksi pembalasan. Kuusahakan aksiku serapi mungkin. Bekas ikan, baik saat mentah maupun matang kusingkirkan dengan sempurna. Sisik ikan kubuang jauh-jauh di parit pinggir sawah. Kalau bekas matangnya biasanya tak ada karena kumakan setulang-tulangnya. Sempurna, kan? Aku tak khawatir bakal ketahuan. Toh ayah juga tak mungkin menghitung ikan nila atau mujair di kolamnya. Dengan ini aku beranggapan status kasusku dengan ayah sudah IMPAS‼ :-)

Tapi itu cerita zaman dulu. Sekarang ini tak pernah kujumpai lagi rasa mie seperti itu meski pada merek yang sama. Harganya sudah berubah sekitar 1000%, tapi kualitas rasa dan teksturnya tak lagi mempesona seperti dulu. Jangan-jangan kualitas bumbu dan bahan-bahannya memang sengaja diturunkan. Atau mungkin lidahku sudah beradaptasi mengikuti hukum kepuasan maksimal Gossen? Kurasa tidak.

2.            Bio2 (1 = do)

Ini salah satu "obat ganteng" yang pernah pula menjadi favoritku. Rasa segar dan bersih saat awal-awal menggunakannya tak dapat lagi kurasakan sekarang. Sabun cuci muka itu sekarang rasanya sama saja dengan sabun biasa, meski harganya sudah banyak-kali-lipat lebih mahal.

Padahal dulu, sejak SMA hingga kuliah, obat ganteng itu selalu menjadi pilihan utama sebagai pendamping sabun mandiku. Munculnya kemasan kecil sepanjang jari tangan bahkan membuatku sering membawanya ke kampus. Swear, saat itu rasa segar setelah memakainya bertahan hingga berjam-jam. Rasa segar itu bukan hanya berpengaruh pada fisik, tetapi juga psikis. Pikiran jadi fresh.

Kalau makan mie instan, "luwak"-nya ayah, kalau memakai obat ganteng ini adakah "luwak"-nya? Ternyata ada juga. Aku biasa meletakkan gayung berisi alat mandiku di luar, di rak dekat kamar mandi. Naifnya, bio2-ku juga kuletakkan di sana. Aku tahu kalau produk satu itu banyak peminatnya, tapi aku tak menyangka akan ada pemakai-pembonceng rahasia yang menggerogoti volume bio2-ku. Aku cuma heran dengan proses susutnya volume bio2-ku yang rasanya terlalu cepat itu.

Rahasia terkuak saat suatu hari bio2-ku itu habis-bis, wadahnya yang sudah merit mengkerut gepeng terpencet sempurna sudah kubuang, sementara aku belum sempat membeli lagi. Belum sempat anggarannya, maksudnya. Saat  bengong di kamar menunggu waktu berangkat kuliah siang, tiba-tiba teman kos-ku, sebut saja namanya Kuclux, muncul di depan pintu lalu bertanya,"Mas, bio2-mu mana? Kok kucari-cari nggak ada?"

"Habis. Memangnya kenapa?" tanyaku heran.

"Wah, itu enak dipakai, Mas. Rasa segernya lama. Muka ini rasanya bersih, jadi semangat beraktivitas,"jawabnya enteng.

"Loh, jadi kamu ikut pakai bio2-ku, to?"

"Yah..kita kan teman, Mas.. Nggak ada salahnya kau beramal sama ak....

"Wedhus kowe! Bajigur! Kanibal" rutukku sambil melemparnya dengan gumpalan kaos kaki yang seminggu belum kucuci.

Ia lari ke kamarnya sambil tertawa. Baru aku sadar kalau cepat susutnya volume bio2-ku itu akibat di-luwak-i si Kuclux. Pikiranku makin sebal saat ingat tabiat teman kos satu ini. Dia itu instruction-minded. Maksudnya, untuk memakai suatu produk apapun dia selalu patuh mengikuti instruksi yang tertera dalam kemasan. Pasti dia memencet bio2-ku minimal sepanjang 2 senti setiap kali mencuri-pakai, dan itu dia lakukan lebih dari satu kali.....per hari. Kampret bener‼

Setelah kejadian itu aku tak pernah lagi meletakkan bio2-ku di luar. Selalu kubawa ke kamar dan kuletakkan di tempat tersembunyi. Hal ini kulakukan sebagai antisipasi aksi si Kuclux yang kadang nekad melakukan apa saja demi menghemat uang sakunya sendiri.

Ah.. itu juga cerita usang. Kini produk itu tak lagi mampu membuatku merasa segar, tak mampu lagi membuat mukaku terasa bersih. Kalau dibuat perbandingan, kualitas produk zaman dulu itu sepertinya jauh di atas kualitas produk semerek sekarang. Andai komposisi atau kualitas produk zaman itu dipertahankan, tentu bagus buat konsumen. Tapi entah pikiran produsennya, mereka berkomitmen pada konsumen atau pada uang.

-----------------------

Dua contoh di atas menurutku cukup untuk membawa kita pada sebuah kesimpulan subjektif tentang gambaran politik "semi-culas" pihak produsen untuk mengeruk keuntungan. Omong kosong kalau di saat sebuah produk sudah disukai masyarakat si produsen bakal tetap berusaha meningkatkan kualitas produknya. Boro-boro meningkatkan, menjaga kualitasnya agar tetap seperti di awal produksi saja sepertinya sudah "nggak ikhlas". Mungkin tak ada yang lebih menarik bagi seorang pengusaha selain keuntungan yang berlipat ganda. (Kecuali pengusaha yang beriman dan bertakwa, tentunya.)

Baiknya kualitas produk di awal produksi hanyalah iklan "penjebak mangsa". Setelah mangsa terjebak, si produsen segera memasang strategi untuk mengeruk keuntungan berganda-ganda itu. Keuntungan pertama diperoleh dari fanatisme konsumen yang masih belum sadar yang selalu berminat pada produk tersebut (brand-minded). Keuntungan kedua diperoleh dengan menurunkan biaya produksi (baca: menurunkan kualitas produk) secara diam-diam tanpa mengganti kemasan (merek) dan tanpa kekhawatiran ditinggalkan oleh konsumen fanatiknya.

..... becanda loh yaa... :-D

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun