"Gimana Sih cara ganti background kamu Sella? Kok bisa belakangnya gambar pantai gitu, aku juga mau." Kata Irwan pada, Sella teman sekelasnya saat kembali belajar di kelas daring.
Sella, anak kelas enam sekolah dasar yang ditanya ini cuma senyum-senyum sendiri sebab mamanya yang tadi merubah latar belakang online video miliknya sebelum kelas daring via Zoom berlangsung.
Tahun sudah berganti angka paling belakang, yang semula nol sudah berubah jadi angka satu, tapi masih saja sering muncul artikel yang isinya penuh dengan cerita kesalnya belajar secara mandiri di rumah.Â
Berita dan artikel memang suka gitu ya, bad news is a good news. Padahal anak-anak penuh suka cita loh belajar hal baru dari rumah, bahkan saking antusiasnya, orang tua-lah yang sebenarnya bingung karena tidak bisa beradaptasi dengan cepat pada kondisi seperti ini, sedangkan anak-anak pertanyaannya makin hari makin beragam. So, sebenarnya siapa yang seharusnya kembali belajar?Â
2020 dengan angka belakang nol yang berubah menjadi angka satu di 2021 bisa jadi gambaran kita memulai dari nol dan kembali merangkak satu step ke angka satu, mengenal banyak hal baru, seperti bayi baru lahir dan menapaki usia ulang tahun pertama.Â
Rasa penasaran muncul berkali-kali lipat, apalagi usia satu tahun bayi sudah mulai bisa berjalan, terlepas dari masih harus berpegangan pada kursi atau benda lain di sekitarnya. Kondisi bayi pada usia satu tahun ini sebenarnya adalah gambaran orang tua pada tahun ini, Tahun new normal kelanjutan ketika wabah virus yang ajaib ini hampir satu tahun menemani kita.
Awal dulu, ketika virus ini datang dan say hello pada kita, banyak dari orang tua yang pontang-panting dan kebingungan dalam beradaptasi, banyak dari mereka yang mengaku stres, mengeluh uang sekolah dibayar terus, namun beban dan tanggung jawab harus beralih ke pundak mereka.Â
Jadi, selama ini mayoritas dari orang tua beranggapan kalau beban memberikan pendidikan dan pengetahuan serta pembelajaran kepada anak-anak adalah tanggung jawab guru dong? Hhehe
Ada satu cerita menarik dari seorang ibu ketika kelas daring mulai berlangsung, namanya Bu Tuti, seorang guru sekolah menengah atas yang merasa terpaksa harus beradaptasi.Â
Bu Tuti bercerita, bahwa sebelum pandemi, ia yang seorang guru memang sudah terbiasa menggunakan laptop, membuat laporan, atau menulis materi pembelajaran untuk murid-muridnya, namun untuk belajar berbicara melalui video ataupun media interaksi virtual satu kalipun belum pernah dilakukan olehnya.Â
Pakai handphone saja cuma bisa untuk telpon dan sms, paling banter pakai whatsapp itupun dengan fungsi yang sama telpon dan berkirim pesan saja.Â
Tapi sekarang kemampuan Bu Tuti melesat tajam, bahkan ia sudah bisa menggunakan aplikasi edit video dan beberapa alternatif aplikasi yang disediakan google.
"Jaman sudah canggih ya mbak, kalau nggak karena pandemi ini saya mungkin nggak sadar kalau saya ketinggalan jauh banget, pake ini nggak bisa, pake itu nggak bisa, aplikasi ini nggak tau, apalagi yang ini, eh sekarang sudah bisa rekam diri sendiri lagi ngomong, bisa edit-edit video juga, saya seneng banget mbak, hhehe, walaupun awalnya ya minta diajari sama anak saya yang paling gede, yang awalnya ngomel-ngomel karena saya yang diajari nggak ngerti-ngerti. Pokoknya seneng banget mbak, anak-anak ngumpul juga di rumah, jadi kalau ada yang saya nggak ngerti, saya bisa langsung nyari mereka ke kamarnya." Cerita Bu Tuti dengan senyum lebar di bibirnya.
Terus terang saya merasa ada peningkatan sumber daya manusia yang dibawa oleh virus ajaib ini, bahkan dalam banyak aspek kehidupan.Â
Pada guru yang walaupun seorang pengajar sebenarnya mereka juga sedang belajar, pada orang tua yang labelnya saja yang tua, namun sebenarnya juga tertatih-tatih memaksa diri berkembang dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang sebelumnya mereka acuhkan karena merasa tidak memerlukannya.Â
Begitu juga para civitas kesehatan, lebih solid dan lebih saling mengenali satu sama lain. Belajar mengerti bahwa tugas mereka bukan hanya mengejar passion semata, melainkan tanggung jawab besar yang harus mereka emban. Jam terbang semakin tinggi, semakin mahir dan tanggap mereka dalam menangani pasien.
Lingkungan sosial juga bertumbuh semakin baik, yang dulunya teknologi menjauhkan yang dekat, dan mendekatkan yang jauh, hari ini benar-benar menjadi core supaya otak tetap stabil.Â
Lingkungan sosial dari orang tua yang mudah beradaptasi bahkan sungguh membuat terkesima. Ada kelompok orang tua murid yang berkumpul via virtual juga, mereka membentuk group untuk saling bertukar pikiran dan membahas perkembangan anak-anaknya.Â
Tidak hanya sekedar itu saja, mereka juga bertukar kebahagiaan, saling berkirim makanan via ojek online, juga membuat group arisan secara virtual yang pembayarannya melalui transfer. Mengejutkan bukan?
Anak-anak ketika ditanya apa mereka rindu bertatap muka dengan teman-temannya? Mereka dengan cepat menganggukkan kepala, namun lebih cepat juga melanjutkan dengan it's oke, sebab masih bisa berkomunikasi dan saling tukar pikiran dengan teman-teman melalui berbagai teknologi canggih yang sudah mendukung.Â
Keingintahuan dan kreatifitas yang tinggi juga semakin tersalurkan, karena waktu bermain di luar anak-anak sudah diganti dengan penggunaan gadged yang menjadi wadah baik untuk mereka mengasah kemampuan.Â
Sinergi yang baik ini seharusnya juga diapresiasi. Bukan hanya anak-anak yang kembali belajar, melainkan orang tua juga berkembang pesat, bahkan ada yang terbalik belajar dari anak-anaknya yang tumbuh pesat secara pengetahuan dan teknologi.Â
Lingkaran sosial juga Terbangun, menjadikan orang tua belajar lebih giat dan lebih sering dari group-group dan komunitas lain yang mereka bangun sejak kemunculan virus ajaib ini.
So, kenapa harus mengedepankan dan fokus pada keluhan jika sebenarnya efek domino yang baik juga melekat di sana? Perkembangan sumber daya manusia yang pesat di tahun ini membawa kita kepada tahun baru yang benar-benar baru, ada pertumbuhan di sana. Semoga di tahun 2021 perkembangan teknologi terus sejalan dengan perkembangan sumber daya manusianya.Â
Tentu saja perkembangan teknologi juga memiliki dampak negatif, tinggal bagaimana kita menjaga energi baik yang ada saja, contohnya lebih selektif memilih artikel mana yang harus dibaca pagi hari sambil minum kopi.Â
Stop fokus pada pemberitaan negatif, karena akan berpengaruh pada psikologis yang akan ikut pesimis jika terus dikikis setiap hari dengan pemberitaan yang negatif.Â
Kita perlu ingat bahwa pedoman banyak civitas media adalah bad news is a good news, jadi kita sebagai pembaca punya hak untuk memilih artikel dengan isi yang berenergi positif supaya balancing pada keputusan berpikir dan berperilaku kita. Selamat tahun baru 2021, stay positif dan terus berkarya ya (titik dua bintang). Ang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H