Apa itu Jurnalisme Multimedia?
Jurnalisme Multimedia adalah jurnalistik yang menggabungkan elemen audio, foto, video, teks, animasi, dan infografis, atau dapat di artikan juga sebagai kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Pengertian ini di ambil dari konsep media, yang berasal dari kata "journal" yang berarti catatan harian mengenai kejadian sehari-hari.
Sejak media penyiaran radio dan televisi hadir, jurnalistik sudah memasuki era multimedia.
Multimedia adalah komunikasi yang menggabungkan berbagai bentuk konten seperti teks, audio, gambar, animasi, dan video ke dalam satu presentasi interaktif.
Format multimedia dalam pemberitaan atau sajian informasi dapat disatukan dalam satu wadah berupa halaman website. Wartawan juga bisa menyajikan sebuah berita dalam format teks, gambar, audio, dan video.
Wartawan bisa memilih format terbaiknya dalam menyampaikan berita, dalam bentuk tulisan, foto, video, animasi, dan infografis.
Jurnalisme online adalah praktik jurnalisme dalam internet atau menggunakan website sebagai saluran pemberitaan atau publikasi berita.
Jurnalisme multimedia menegaskan sekaligus mendorong situs berita dalam menyajikan  berita tidak hanya dalam bentuk teks, namun juga audio, video, animasi, dan infografis.
Jurnalisme multimedia tumbuh dari banyaknya platform digital dan saluran media sosial, serta pergeseran prefensi orang tentang cara mereka mengartikan berita.
Mengapa penting belajar jurnalisme Multimedia?
Multimedia membuat para audiens nya menjadi  tertarik, karena adanya berbagai jenis media dalam satu platform.
Multimedia juga membuat para audiensnya menjadi lebih interaktif, dengan adanya visualisasi dapat membuat audiens tidak bosan dibandingkan jika hanya diberikan konten dari media yang hanya berupa tulisan ataupun gambar.
Mempelajari jurnalistik dapat meningkatkan kemampuan dalam menulis, sehingga bisa mengirimkan artikel ke surat kabar/media massa, bisa mengasah kemapuan kita dalam wawancara, teknik menyampaikan berita dan lain-lain.
Penjelasan Singkat Multimedia
Jurnalisme multimedia muncul sebagai mercusuar harapan untuk masa depan, oulet baru seperti jaringan podcast, layanan streaming, dan starup web, berarti peluang kerja baru dan audiens baru.
Jurnalis juga perlu mengerti apa yang diinginkan oleh pasar untuk menyajikan konten berita yang lebih menarik dengan penggunaan multimedia pada konten berita yang dibuat. Ini juga berkaitan dengan isi dari berita yang ingin disampaikan oleh jurnalis kepada pembaca.
Tidak semua berita yang ingin disampaikan oleh jurnalis dapat tergambarkan dengan jelas hanya lewat sebuah teks, disinilah peran krusial dari multimedia, yaitu untuk membantu pembaca untuk dapat lebih memahami isi berita dengan jelas.
Dahlgren mengusulkan sebuah kerangka kerja untuk mengkonseptualisasikan konfigurasi ulang jurnalisme dan publiknya dalam lingkungan media baru dalam kerangka logika media, yang didefinisikan sebagai fitur-fitur tertentu yang terstruktur secara institusional dari sebuah media, kumpulan atribut teknis dan organisasional, dan kompetensi kultural dari para pengguna-semua hal tersebut berdampak pada apa yang direproduksi dalam media dan bagaimana hal tersebut dilakukan (Dahlgren, berdasarkan karya Altheide dan Snow 1991).
Konsep logika media dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik para profesional media online, misalnya dalam hal bagaimana mereka mendefinisikan dan mengevaluasi kompetensi, penghargaan, dan fitur-fiturnya (Deuze dan Dimoudi, 2002).
Perspektif institusional memungkinkan kita untuk melihat jurnalisme multimedia sebagai sebuah kontes yang sedang berlangsung antara jalan yang tampaknya tak terelakkan menuju konvergensi antara (bagian-bagian) perusahaan yang tadinya berbeda, termasuk ruang redaksi, pemasaran, dan departemen teknis, serta pertanyaan-pertanyaan legal atau etis tentang akses, keragaman, dan tenaga kerja.
Perspektif teknologi ternyata menjadi diskusi antara pro dan kontra terhadap aplikasi perangkat lunak yang semakin terstandarisasi dan dibuat khusus untuk digunakan dalam memproduksi, mengedit, menerjemahkan, dan menginte
Meskipun multi-media umumnya dipahami oleh para akademisi, pendidik, dan profesional sebagai isu teknologi, para pakar seperti Paul (2001), Stone dan Bierhoff (2002), dan Gentry (2003) berpendapat sebaliknya ketika mereka mengamati adanya kecenderungan jurnalis untuk berpikir lintas media terlebih dahulu, baru kemudian menguasai perangkat keras dan perangkat lunak.
Link Podcast
Referensi
Deuze, M. (2004). Journalism Studies vol. 5. Amsterdam: Routgledge Taylor & Francis Group, h. 139-152.
Campbell, D. (2013). Visual Storytelling in the Age of Post-Industrialist Journalism .Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H