Mohon tunggu...
Gibran Ramadani
Gibran Ramadani Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN KHAS Jember

menulislah agar kau dikenang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fiqh Nusantara dalam Ruang Lingkup Islam Nusantara

16 Juni 2022   23:15 Diperbarui: 16 Juni 2022   23:30 1152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin kita sering mendengar kata islam nusantara. Apa sebenarnya islam nusantara itu?.  Islam nusantara atau model Islam Indonesia adalah istilah untuk menyebut wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara. Maka dengan adanya islam nusantara ini akan muncul fiqh nusantara seperti yang disebutkan oleh Kiai Afif, beliau berkata  "Fiqih Nusantara adalah paham dan prespektif keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika teks-teks syariat dan budaya, juga realitas di (daerah) setempat".

Lalu apa metodologi dari fiqh nusantara ini?, Sebelum kitab membahas tentang Metodologi fiqh Nusantara, kita fokuskan terlebih dahulu tentang definisi fiqh Nusantara,baik secara etimologis maupun terminologis.

Secara definitif, fiqh Nusantara terdiri dari dua kata yaitu fikih dan Nusantara. Istilah fikih yang digunakan dimasa sekarang merupakan fikih yang telah distandarkan setelah sebelumnya memiliki arti berbeda. Imam al Ghazali lah yang mensinyalir penyempitan makna fikih ini, terutama pasca abad ke-4 hijriyah.

Dimasa awal-awal Islam, istilah fikih digunakan untuk pemahaman agama Islam secara luas. Artinya, seseorang disebut Fakih jika ia memiliki pemahaman agama Islam yang mendalam. Pengertian fikih yang demikian itu dapat kita  lihat dalam kehidupan sehari Nabi Muhammad Saw.

Pada suatu hari, Nabi Muhammad Saw mendoakan Ibnu Abbas: Allahuma faqqihu fiddin (Ya Allah berikanlah dia pemahaman agama). Dari sabdah nabi tersebut, Nampak bahwa Nabi tidak menegaskan suatu pengertian tentang suatu hukum, melainkan hanya sebagai pemahaman yang mendalam tentang agama islam secara menyeluruh.

fikih dalam pengertian menyeluruh ini, bisa kita rujuk pada pendapat Abu Hanifah yang mendefinisikan fikih dengan "ma'rifah an-nafs ma laha wa m alaiha (pengetahuan seseorang tentang hak-hak dan kewajibannya). Definisi ini memberikan pengertian bahwa fikih meliputi semua aspek kehidupan yaitu akidai hukum akhlak dan tingkah laku kehidupan dan semacamnya.

Dengan demikian, dapat kita ambil kesimpulan ada dua pengertian. pertama adalah  fikih dalam pengertian luas dan yang kedua adakah fikih dalam pengertian khusus (sempit). Fikih dalam pengertian khusus adalah hukum Islam. Sementara, fikih dalam pengertian luas adalah Islam yang mencakup dimensi akidah, syari'ah dan akhlak (tasawuf).

sesuai dengan buku al-Fiqh al-Akbar karya Imam Abu Hanifah yang memasukkan masalah akidah, hukum dan akhlak sebagai bagian yang tercakup dalam pengertian fikih. Buku ini ditulis oleh imam abu hanifah sebagai jawaban terhadap kepercayaan ahli qadar tentang prinsip dasar Islam seperti akidah, keesaan Tuhan, kehidupan akhirat, kenabian dan lain sebagainya yang lebih sesuai dengan ilmu kalam, bukan ilmu hukum. Karena itu, Abu Hanifah menyebutnya dengan al-Fiqh al-Akbar, yaitu fikih yang mencakup masalah teologis, sebagaimana juga hukum. "

Secara spesifik, definisi fikih dengan arti khusus telah diperdebatkan oleh banyak kalangan. Qadri Azizi misalnya menyatakan bahwa fikih adalah hukum yang mencakup al ahkam al-khamsah dimana hukum yang lima ini lebih dekat dengan etika agama atau sering kta sebut dengan  religious ethich Islam. Ciri utamanya adalah terwujudnya kandungan nilai ibadah yang sarat dengan pahala, siksaan dan ada konsekuensi akhirat.

 Sementara itu, Josep Schaht menjelaskan bahwa fikih adalah hukum Islam sebagai sekumpulan aturan keagamaan, totalitas perintah Allah yang menyatu dalam perilaku umat Islam dalam keseluruhan aspeknya.

Dua deskripsi diatas menegaskan bahwa fikih sebagai al-akham al-khamsah dan internalisasi nilai fikih dalam kepribadian umat Islam. Al-ahkam yang dimaksud disini adalah wajib, sunah, mubah, haram dan makruh. Kalangan Hanafiyah menambahkan dua hukum dengan membedakan fardlu dan wajib serta makruh tanzih dan makruh tahrim."

Dalam definisi lain, fiqh sebagaimana dinyatakan oleh Wahab Khalaf, ialah ilmu tentang hukum syar'i yang bersifat amaly yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan , ulama lain mendefinisikan fikih dengan "ilmu tentang hukum syar'i yang menggunakan metode ijtihad". Yang intinya Jika definisi yang pertama, menekankan tentang hukum syar'i yang praktis, maka yang definisi yang kedua adalah selain sama dengan pertama, juga  menekankan metode penggalian fikih melalui ijtihad ulama.

Setidaknya, ada dua catatan dalam definisi ini, yaitu pertama fikih sebagai hukum syar'i dan yang  kedua fikih sebagai produk ijtihad. Dengan dua catatan ini, sesungguhnya menunjukkan karakter fikih yang dinamis dan tidak statis atau bisa kitang juga dengan fleksibel.

Posisi fikih berbeda dengan hukum i'tiqadiyah (akidah) yang bersifat dogmatis dan tidak akan berubah selamanya. Dalam ranah fiqh, hukum yang ada bisa saja  berubah-ubah (mutaghayirat) dan ada yang tetap (tsawabit) tergatung bagaimana kondisinya.

Wilayah fikih yang tetap adalah yang konstan dan bersifat selama-lamanya seperti ibadah mahdlah, Sholat, puasa, dan haji. Hal itu semua  adalah tema-tema yang tidak berubah dimakan waktu dan tempat. Kalaupun berubah, itu adalah pada level rukkhsah yang bersifat minimalis sesuai dengan kemampuan mukallaf.

Rukhsah ini semakin mendapat tempat dalam kasus fikih al-Aqalliyat pada mana penduduk muslim minoritas sementara mayoritas adalah non-muslim. Dalam keadaan seperti ini, para ulama-ulama Islam memberikan kelonggaran agar umat Islam dapat melaksanakan Syari'ah di tempat dimana mereka menjadi minoritas Islam.

Di negara-negara  yang kebnayakan non muslim seperti Amerika, Inggris, Australia, China dan Taiwan misalnya berlaku fikih al-Aqalliyat dimana para umat muslim yang ada disana bisa menjalankan syariat di satu pihak, dan bisa diterima oleh komunitas non-muslim dipihak lain. Meski oleh sebagian kalangan dianggap memudahkan, namun demikian inilah memang watak  dari islam rahmatan lil alamin. Pada kondisi umumul balwa, darurat, kesulitan yang sangat dan beberapa hal yang menyulitkan, fikih memberi kelonggaran sebagai rukhsah bagi seorang muslim.

Disisi lain, hukum-hukum yang dapat berubah adalah hukum muamalah dalam pengertian luas, yakni fleksibel bukan hanya jual beli, gadai, qiradi dan sebagainya. Hukum-hukum pada soal ini bersifat menyesuaikan dengan pesatnya perkembangan dan perubahan sosial yang demikian cepat sekali. Termasuk dalam hal ini muamalah yang berkaitan dengan adat istiadat, makanan, pakaian, dan sebagainya yang menjadi produk peradaban. Yang mana hal ini  tidak mungkin menolak keniscayaan updatenya berbagai produk peradaban yang mesti dan harus  terus dituntun oleh Syari'ah.

Maka dari itu, jika kita tidak responsif terhadap perubahan tersebut, maka fikih akan tertinggal dengan kemaslahatan yang mengitarinya. Dalam konteks ini, maka fikih menjadi suatu hal mandul karena memproduksi hukum yang tidak sesuai dengan tujuan dan maqasidus syari'ah itu sendiri. Diktum fikih yang demikian ini harus dibaca ulang (re-reading) agar kembali mendapatkan ruh syariat Islam.

Dalam konteks ini, Ibnu al-Qayim al-Jauziyah mengingatkan dalam kitab I'lam al-Mutaqi in sebagaimana berikut

"Sikap jumud dengan terus bertahan dengan nukilan-nukilan adalah kesesatan dalam agama dan ketidakfahaman terhadap maksud dan tujuan ulama kaum muslimin dan ulama salaf di masa yang lalu".

Senada dengan Ibnu al-Qayim, Ibn Abidin juga mengatakan:

"Mufti tidak boleh beku dengan (hanya menerima) apa yang dinukil dalam kitab-kitab dahir al-riwayah, tanpa memperhatikan zaman dan manusia zaman itu. Kalau ini terjadi, maka akan banyak hak yang ia korbankan dan mudaratnya lebih besar dari manfaatnya."

Yang menjadi catatan penting disini  adalah bahwa taqlid pada diktum fikih tanpa melihat konteks zaman hanya akan membawa madlarat pada manusia dan kehidupannya. Karena diktum-diktum fikih para ulama dahulu dibuat dengan memperhatikan situasi dan zaman di masa mereka hidup dengan mempertimbangkan kemaslahatan pada masa itu.

Oleh karena itu, memberi ruang fatwa untuk selalu diupdate secara terus menerus adalah bagian dari upaya fikih untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia tidak hanya di akhirat namun juga di dunia.

Inilah seharusnya yang menjadi pedoman dalam istinbat al-ahkam as-syar'iyah atau fikih tersebut. Pembedaan yang memiliki potensi berubah dan tidak berubah pada mu'amalah dan ibadah menurut as-Syatibi  memiliki dasar. Dalam pandangan as-Syatibi  soal ibadah, syari'at berfungsi sebagai mubtadi (pembentuk) dan (pencipta hukum). Sementara, dalam hal mu'amalah, syari'at berfungsi sebagai mufammin (penyempurna).

Yang Pertama, fungsi syariat adalah sebagai mubtadi dan munsy dalam ibadah karena memang manusia tidak memiliki kewenangan dalam bentuk ibadah Logikanya. sebelum datang syari'at Islam semula orang hanya dibolehkan mengikuti aturan syari'at sebelumnya. Setelah syari'at Islam datang, maka orang-orang harus mengikuti tata cara Syari'at Islam dalam hal ibadah yang mana telah ditetapkan oleh syariat tersebut. Kecuali dalam konteks syar'u man qablana, Syari'at melakukan afirmasi bahwa ibadah di masa dulu telah "di-stempel ulang" sehingga dapat digunakan umat Islam yang datang sesudahnya.

Pada dimensi lain, dalam soal ibadah yang manfaatnya tidak langsung dapat diketahui atau dirasakan manusia umumnya dan menurut tabiatnya manusia tersebut  tidak merasa punya hajat untuk melakukan ibadahnya, maka perintah Syari'at tersebut  dikukuhkan dalam bentuk wajib dan larangan dalam haram.

Contohnya ibadah sholat. Ibadah ini diperintahkan tuhan kepada manusia dalam bentuk demikian karena jika dilihat dari luarnya saja manusia tidak memperoleh keuntungan secara langsung ketika melakukan sholat sehingga sholat ini dilakukan semata-mata bentuk kepatuhan (ta'abbud) kepada tuhan dan kepatuhan pada perintah Syari'at tersebut.

Selain itu, karena hanya semata-mata ta'abbud ini, maka shalat diperintahkan dengan cara-cara yang keras dan tegas karena jika tidak demikian, maka manusia akan enggan melakukan ibadah shalat. Artinya, bahwa lafadz-lafadz yang menyuruh orang untuk sholat sengaja menggunakan kata-kata tegas yang disertai ancaman siksa neraka.

Kedua, syari'at dengan fungsi sebagai mutammim dalam soal mu'amalah. menurut as-Syatibi,secara umum perintah yang menyangkut mu'amalah keuntungannya dapat dirasakan langsung oleh manusia sehingga tidak menggunakan istilah wajib. Demikian ini karena dalam pandangan as-Syatibi sudah tabiat manusia untuk melakukan perbuatan yang menguntungkan dirinya, meskipun tidak menggunakan istilah wajib.

Pada intinya kebanyakan manusia akan melakukan mu'amalah yang didalamnya terkandung maslahah. Bisa kita menjumpai berbagai contoh muamalah yang menguntungkan manusia tersebut seperti keluarga dan perkawinan. Demikian juga tentang perumahan, sandang pangan dan papan, jual beli dan sewa menyewa yang manusia pada umumnya tahu kegunaan transaksi tersebut sebelum ada syari'at Islam.

Akal manusia dapat mengetahui secara langsung kandungan kemaslahatan dalam hal-hal demikian ini. Yang Fungsi syari'at sebagai mutammim dalam hal muamalah disamping berfungsi memerinci kemaslahatan yang dapat diketahui manusia, juga memberi nilai ta'abbud pada muamalah tersebut.

Dengan demikian, setiap mu'amalah tidak hanya bersifat duniawi, namun juga ada dimensi ta'abbudnya, meskipun itu sangat kecil dan lebih dominan adalah aspek duniawinya. Nilai ta'abbud mu'amalah meskipun hanya sedikit tetap dipatuhi manusia, sebagaimana manusia mematuhi nilai ta abbud dalam ibadah yang bersifat dominan.

Mua'malah terkadang mengandung nilai ta'abbud yang sulit dipahami oleh beerbagai manusia. Misalnya kasus pembunuhan yang didalamnya terhadap hak hamba (keluarga korban) untuk memaafkan pembunuh dan hukum qisas tidak dapat diberlakukan. Ini berbeda dengan pembunuhan sadis dan kejam yang tidak berlaku permaafan, sehingga meski keluarga korban memaafkan, hukum qishas tersebut akan tetap berjalan apa adanya dan tidak ada toleransi untuknya.

Contoh lain adalah 'iddah seorang perempuan. Meski iddah mengandung dimensi mu'amalah, namun ia tetap memiliki dimensi ta'abbud yang mengandung maslahah yang belum dan jarang diketahui akal.

Dimensi ta'abbud inilah yang diberikan Syari'at Islam sebagai mutammim, agar seseorang mendapatkan pahala atas perbuatan yang dilakukannya. Bertolak dari unsur taabbud ini, dalam kasus iddah perempuan yang dicerai oleh suaminya, meskipun teknologi modern kedokteran dapat mendeteksi janin yang terkandung dalam rahim perempuan, maka tetap seorang perempuan harus melakukan 'iddah dan ha; ini juga tidak bisa kita hindari sebagai umat muslim

Sebelum kita lebih spesifik lagi pada tema fikih Nusantara, kita akan kembali pada tema umum pembahasan , yaitu Islam Nusantara. Istilah Islam Nusantara sebagaimana dimaksud diatas  bukan Islam dengan teritorial yang demikian luas sebagaimana pandangan Azyumardi Azra, namun Islam Nusantara adalah Islam Indonesia. Dadi Darmadi menyebutnya dengan Islam of the archipelago", may connote different things for different people. It may mean Islam that is rooted in local values, or the kind of Islam that has been promoted by scholars, traders and missionaries wit peace, not war"

Islam Indonesia seperti dalam pengertian inilah yang dikumandangkan dalam Muktamar NU di Jombang 2015 pada waktu yang silam. Aksin Wijaya juga menyebut bahwa "Nusantara" mewakili masa-masa keberadaan wilayah yang kini bernama Indonesia. Dengan kata lain, Islam Nusantara adalah nama lain dari Islam Indonesia seperti dikemukakan oleh Mujamil Qomar, bukan Islam Asia Tenggara."

Istilah Islam Nusantara ini merujuk pada pengertian Islam yang ada di Nusantara, bukan Islam untuk Nusantara, atau Islam dari Nusantara. Kesalahpahaman yang terjadi pada orang yang ingin  memahami Islam Nusantara berawal dari makna penggabungan kata yang keliru ini. Dalam jejaring sosial pada saat Muktamar NU tahun 2015 yang silam, muncul definisi Islam Nusantara yang dilantunkan dalam syair syair berikut:

Siapa yang membawa Islam Nusantara? # merekalah wali songo di Jawa

Barang siapa yang menolak Islam Nusantara # dia belum mengerti idhafah, maka ketahuilah 

Islam Nusantara itu Islam di Nusantara # menyimpan makna fi bukan min atau li

Tiga bait syair di atas ini menjelaskan Islam Nusantara dari sisi bahasa di mana dalam bait kedua dan ketiga. Bait ini menegaskan bahwa Islam Nusantara yang dimaksud  adalah tarkib idhafi yang menyimpan makna fi (di dalam), bukan makna min (dari) atau li (untuk).

Definisi ini menjadi penting di tengah sebagian kalangan yang mengkritik keras Islam Nusantara. Sebut misalnya Islam Nusantara memudarkan dimensi Islam Rahmatan lil alamin, padahal justru  dalam Islam Nusantara terkandung Islam Rahmatan lil alamin. Tegasnya model akulturasi Islam dengan keindonesiaan justru menunjukkan secara gamblang pada kita bahwa  tentang dimensi rahmatan lil alaminnya tersebut.

Menguatkan definisi ini, KH Musthafa Bisri jauh sebelumnya menegaskan bahwa susunan kalimat Islam dan Nusantara adalah penyandaran idhafi yang menyimpan makna fi.  Gus Mus, nama akrab KH. Mustafa Bisri-lalu mengilustrasikan dengan istilah "air gelas" yang berarti air di dalam gelas, bukan airnya gelas. Demikian halnya dengan Islam Nusantara, ini tak berarti Islamnya yang  Nusantara tetapi harus dipahami dengan Islam di Nusantara.

Dalam konteks ini juga Gus Mus berkata: "Bila di batok kepala sebelumnya belum ada sesuatu yang bercokol, dalam istilah santri khaliyah adz-dzihni, istilah Islam Nusantara itu sebenarnya sederhana saja, apalagi bagi mereka yang sudah pernah ngaji Nahwu dan tidak melewatkan bab Idlofah. Idlofah tidak hanya punya makna lam, tapi juga bermakna fi atau min"

Penjelasan Mustofa Bisri tentang Islam Nusantara sejatinya merujuk pada gramatika Arab. Ibnu Malik dalam "Kitab Alfiyah" menjelaskan tiga arti dalam tarkib idlafah sebagaimana bait berikut:

"Watsaniyajrur wanwi min au fi idza # Lam yashluh illa dzaka wallama khudza"

Yang mempunyai Arti: Dan jerkanlah yang kedua (mudlaf ilaih). Dan berniatlah menyimpan arti min (dari) atau fi (di dalam) # Ketika tidak patut kecuali dua arti tersebut, dan ambillah arti li (untuk).

Jika ditarik benang merah pada apa yang tadi dikatakan oleh Gus Mus, maka yang tepat adalah arti fi (di dalam). Maksudnya, Islam yang berada di bumi Nusantara. Jika mengambil dua arti lain (min dan li), maka hal inilah nantinya yang akan menyesatkan pemahaman banyak kalangan, sebagaimana terjadi ketika wacana Islam Nusantara dimunculkan di publik.

Arti "min" dan "li", tidak tepat digunakan dalam Islam Nusantara, karena justru malah akan menimbulkan kerancauan ke berbagai pihak. Dengan demikian, secara definisi, Islam Nusantara adalah Islam yang hidup dan berkembang di bumi Indonesia, bukan Islam yang hidup dan berkembang dari Indonesia atau juga bukan Islam yang tumbuh dan berkembang untuk Indonesia Islam yang hidup di bumi Indonesia dalam beberapa abad lamanya ini membentuk karakter sendiri yang menjadikannya dalam beberapa hal -berbeda dengan Islam Arab yang selama ini dijadikan episentrum peradaban dunia.

Oleh karena itu, istilah fikih Nusantara yang menjadi bagian dari Islam Nusantara sebagaimana dimaksud adalah fikih Indonesia  Dalam bahasa Arab, ini disebut itlaqul kulli wa iradutul juz. Menyebutkan yang umum, tapi yang dimaksud adalah sesuatu yang khusus.

Setidaknya, ada dua alasan mengapa istilah Nusantara direduksi hanya Indonesia. Pertama, ketika istilah ini digulirkan baik Islam maupun fikih Nusantara di Muktamar NU Jombang, maka yang dimaksud adalah Islam dan fikih Indonesia. Kedua, secara historis, istilah fikih Indonesia sudah pernah dikumandangkan pada tahun 1940-an oleh Prof. Hasbi as Shidiqi.

 Jika pada tahun 2015, Fikih Nusantara digemakan maka ini adalah kelanjutan fikih Indonesia yang dulu digemakan Hasbi as-Shidiqi, meskipun Hasbi dikritik banyak pihak karena bagian dari kelompok modernis yang anti-kearifan lokal. Oleh karena itu, jika dilacak lebih jauh, maka fikih Indonesia sejatinya bersambung dengan para ulama Nusantara tempo dulu dan Walisongo yang telah lebih dulu menemukan dasar-dasar fikih Indonesia,

Dengan demikian, Fikih Nusantara adalah fikih yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Fikih Nusantara merupakan fikih yang berkembang di Indonesia dengan karakternya yang khas sesuai dengan adat istiadat keindonesiaan. KH. Afifudin Muhajir, seorang pakar fikih mengatakan:

"Fiqh Nusantara adalah paham dan perspektif keislaman di bumi Nusantara sebaga hasil dialektika teks-teks syariat dan budaya, juga realitas di (daerah) setempat."

KH. Afifudin Muhajir, tokoh yang juga dikenal ahli fikih dan ushul fikih ini, yang melokalisir wacana Islam Nusantara menjadi fikih Nusantara. Sebab, Islam Nusantara terlampau luas cakupannya dan rentan untuk menjadi sasaran kritik yang tidak jelas ujungnya. KH Afifudin misalnya mengklarifikasi Islam Nusantara dalam konteks fiqh-nya dengan mengatakan sebagai Islam yang tumbuh dan berkembang di Nusantara. KH. Afifudin adalah tokoh penting di NU yang saat NU Jombang tahun 2015 juga menolak proses Muktamar karena dianggap "tidak fair".

 Hanya berbeda dengan para tokoh NU yang menolak terma Islam Nusantara, KH Afifudin memfokuskan Islam Nusantara pada apa yang disebut dengan fikih Nusantara.

Sementara itu, Ahmad Baso, seorang tokoh intelektual muda NU, menyebut secara spesifik fikih Nusantara sebagai bagian dari konstruksi Islam Nusantara, dimana Islam Nusantara, adalah memaknai Islam sebagai ajaran normatif diamalkan dan diistifadah dalam "bahasa-bahasa ibu" penduduk nusantara.

Dengan demikian, sebutan Nusantara bagi Ahmad Baso, bukan menunjukan sebuah teritori, tapi sebuah paradigma pengetahuan, kerja-kerja kebudayaan dan kreatifitas intelektual. Nampak sekali, Baso melampaui semua definisi dengan membentangkan kerja kebudayaan, sementara wilayah garapan kebudayaan adalah seiring dengan terma 'urf dalam fikih.

Zaini Rahman tidak secara eksplisit menyebut fikih Nusantara. la menggunakan istilah "Fikih dalam Konteks Islam Nusantara". Namun, penjelasan Zaini Rahman lebih kepada fikih yang terkait dengan tradisi saja seperti pembacaan dzikir, tahlil, maulid Nabi Saw, diba, barzanji, shalawat munjiyat, dan sebagainya. Dalam hal ini, Zaini Rahman menulis:

"...Dalam perspektif penalaran fiqh, semua praktek keagamaan yang digambarkan di atas bukan berarti menjadikan adat dan tradisi lokal sebagai ibadah, melainkan mengisinya dengan nilai-nilai ajaran Islam untuk kepentingan dakwah Praktek kebudayaan hanya sebagai wadah atau instrument, sementara unsur ibadahnya ada pada bacaan-bacaan sebagai isi dari wadah itu"

Penekanan Zaini Rahman pada aspek lokalitas memang tidak salah, hanya saja ia kurang lengkap menggambarkan fikih Nusantara. Karena fikih Nusantara bukan halnya soal lokalitas fikih semata. Bahwa lokalitas seperti pepatah di beberapa kerajaan di Indonesia raja adil raja disembah, raja lalim disanggah", demikian juga "Adat besandi syara syara' besandi kitabullah (adat bersendi syara' atau agama, syara' bersendi kitabullah atau al Qur'an) merupakan lokalitas yang tidak dapat dipungkiri sebagai kekhasan dalam fikih Nusantara Namun, sekali lagi, demikian itu adalah bagian kecil dari fikih Nusantara yang digunakan dalam konteks keindonesiaan.

Selanjutnya, KH. Afifudin juga menunjukkan dengan tetap terkandungnya dimensi universalitas Islam dalam bingkai fikih Nusantara. Sebab, dalam pandangan Afifudin, makna fikih Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fikih mu'amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari'at, dan 'urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara (Indonesia). Apa yang disebut KH Afifudin sesungguhnya merupakan kritik yang tertuju pada sebagian kalangan, salah satunya Front Pembela Islam, yang menolak dengan keras Fiqih Nusantara karena kelompok keras ini memandang bahwa fikih Nusantara tidak mau bahkan dianggap sangat membenci dengan Islam yang ke-Araban.

Walhasil, definisi fikih Nusantara mencakup kata kunci sebagai berikut: Pertama fikih yang ada di Nusantara dalam lokus fikih Mu'amalah yang memungkinkan adanya perubahan. Fikih ibadah Mahdlah sama sekali bukan "domain" fikih Nusantara Kedua, fikih Nusantara merupakan proses fikih yang berdialog dengan 'uri, budaya dan realita khas masyarakat Nusantara yang majemuk. Batasan definisi ini, kiranya dapat menghadang pemahaman yang keliru tentang fikih Nusantara.

sebagaimana pemahaman yang keliru tentang Islam Nusantara Atau dengan diksi yang sedikit berbeda bahwa Islam Nusantara adalah dialektika antara normativitas Islam dan historisitas keindonesiaan yang meliputi sejak masuknya Islam ke Nusantara, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, kemudian melahirkan ekspresi dan manifestasi umat Islam Nusantara, yang direspon dalam suatu metodologi dan strategi dakwah para alim ulama, Walisongo, dan para pendakwah Islam untuk memahamkan dan menerapkan universalitas (syumul- ryah) ajaran Islam, sesuai prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jama'ah.

Dengan definisi ini, menjadi jelas apa itu Fikih Nusantara Pertanyaannya, lalu metodologi apa yang digunakan oleh para ulama Nusantara dalam melakukan penggalian hukum fikih Nusantara. Catatan berikut hendak mensimpliplifikasi bagaimana metodologi fikih Nusantara itu dibangun.

Para ulama menggunakan metodologi yang berbeda beda ketika melakukan istinbat hukum Islam. Di kalangan Ushul Fiqh, ulama terpolar pada dua kelompok besar Ulama Hanafiyah dan Jumhur Ulama. Keduanya memiliki alur dan paradigma yang berbeda satu dengan lainnya.

Demikian halnya, para ulama Nusantara menggunakan metodologi tertentu ketika membangun fikih Nusantara Hanya secara umum, ulama Nusantara menggunakan dalil-dalil yang mu'tabar sama dengan ulama dunia misalnya al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas Dengan kata lain, metode yang umum dalam istinbat al-ahkam fikih Nusantara adalah fokus pada al Qur'an, hadits, ijma dan Qiyas. Hanya saja, ulama Nusantara memberikan "penekanan" akan pentingnya beberapa metode sebagaimana di bawah ini yang seringkali digunakan dalam melakukan istinbat hukum Islam (figh) Nusantara. Lebih dari itu, para ulama Nusantara juga melakukan aktualisasi terhadap beberapa metode yang disebut tadi.

Adapun metode Fikih Nusantara adalah sebagaimana catatan saya berikut di bawah ini Pertama, Metode Maslahah (Mu'tabarah dan Mursalah) Metode yang pertama dalam fikih Nusantara adalah

maslahah. Acuan maslahah tetap menjadi utama dan pertama ketika menentukan hukum-hukum dalam fikih Nusantara. Meski ada yang langsung maupun tidak langsung, penulis menjumpai maslahah adalah acuan kala membangun diktum-diktum fiqhnya. Tentang maslahah ini, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah" mengatakan:

, .

"Sesungguhnya syari'at itu bangunan dan fondasinya didasarkan pada kebijaksanaan (hikmah) dan kemaslahatan para hambanya di dunia dan akhirat. Syariat secara keseluruhannya adalah keadilan, rahmat, kebijaksanaan dan kemaslahatan. Maka dari itu, segala perkara yang mengabaikan keadilan demi tirani, kasih sayang pada sebaliknya, kemaslahatan pada kemafsadatan, kebijaksanaan pada kesia-siaan, maka itu bukan syari'at, meskipun semua itu dimasukkan ke dalamnya melalui interpretasi".

Secara lebih rinci, al-Ghazali menyebut maslahah dengan :

"Maslahah, pada asalnya, adalah ungkapan tentang penarikan manfaat atau menolak madharat. Namun, yang kami maksud bukanlah hal itu, karena menarik manfaat dan menolak madharat adalah tujuan makhluk (manusia) dan kelayakan yang dirasainya dalam mencapai tujuan. Akan tetapi, yang kita maksud dengan maslahah adalah maqshud as-syar'i Sementara tujuan syar'i dari makhluk adalah memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan Setiap sesuatu yang mengandung lima hal ini adalah maslahah Sementara, yang tidak mengandung lima ini adalah mafsadah dan menolaknya termasuk maslahah"

Hanya saja, tema maslahah adalah tema yang 'rawan digunakan untuk melegalkan semua praktik transaksi atau apapun dimensi maslahah yang terkandung dalam sebuah perbuatan. Kalangan Islam tradisional oleh karena itu sangat hati-hati dengan terma maslahah karena pada praktiknya, masih menurut mereka, terma ini banyak dibajak oleh kalangan Islam Liberal. Misalnya Abdul Moqsith Ghazali yang condong pada Jaringan Islam Liberal menyembulkan kaidah Ushul fikih "jawaz naskh an-nushus al-juz'ryat bi al-maslahat". It is possible to abrogate the particular verses by mashlahat.

Dengan kata lain, terma maslahah sering digunakan pihak-pihak tertentu sebagai dalil untuk menetapkan hukum tanpa mengindahkan batasan-batasan dan kaidah kaidah yang baku (bi ghairi hududin wala dlawabit) sehingga mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam menetapkan hukum Islam dan menimbulkan keresahan masyarakat Tak mengherankan, jika lalu Majelis Ulama Indonesia memberikan kriteria apa itu maslahah menurut Syari'ah sebagaimana ditetapkan MUI sebagai berikut:

1. Maslahah/kemaslahatan menurut hukum Islam adalah tercapainya tujuan syari'ah (maqashid al syari'ah) yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer (al dlaruriyat al-khmas), yaitu agama, akal, jiwa, harta dan keturunan.

2. Maslahat yang dibenarkan oleh syari'at adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash. Oleh karena itu, maslahat tidak bertentangan dengan nash

3. Yang berhak menentukan maslahat tidaknya sesuatu menurut syara' adalah lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang Syari'ah dan dilakukan melalui ijtihad jama'i".

Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang "Kriteria Maslahat" ini pada satu sisi tetap memberikan ruang terhadap maslahah sebagai piranti untuk terus menyinambungkan antara produk fikih dengan maqashidus syari'ah Karena, produk fikih harus mengandung maslahah bagi manusia baik di dunia maupun akhirat. Produk fikih yang tak mengandung maslahah adalah fikih yang tercerabut dari asal tujuan disyari'atkannya hukum Islam.

 Point kedua fatwa Majelis Ulama Indonesia adalah pembatasan agar maslahat tidak liar dibawa kemana-mana oleh siapapun sesuai dengan kepentingannya. Batasan "tidak boleh bertentangan dengan syari'at", menyiralkan bahwa Majelis Ulama Indonesia menolak maslahah mulgha karena maslahah mulghah dipandang benar-benar vis a vis bertentangan dengan Syari'at. Maslahah Mulghah adalah kemanfaatan yang diduga manusia, namun bertentangan dengan Syari at

Sebaliknya. Majelis Ulama Indonesia menerima mahal mu'tabarah dan mursalah. Seperti dikatakan Wahab Khalaf, maslahah mutabarah adalah maslahah yang disebut-sebut dalam al-Qur'an untuk melakukannya. Misalnya ayat ajakan nikah dalam al Quran adalah sesuatu yang bermanfaat bagi manusia dan terang-terang disebutkan nash sehingga tidak menikah bertentangan dengan mu'tabarah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun