Mohon tunggu...
Khalil Gibran
Khalil Gibran Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sikap Netral SBY dalam Politik

8 Januari 2018   14:08 Diperbarui: 8 Januari 2018   15:40 1383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo

Keputusan Partai Demokrat (PD) untuk berkoalisi dengan Partai Demokrasi Indoneia Perjuangan (PDIP) dalam mengusung Cagub dan Cawagb di sejumlah daerah, mengundang pertanyaan. Pasalnya, kedua partai dengan titel 'demokrasi' ini kerap bersebrangan dalam pandangan politik.

Sejak lakon PD Susilo Bambang Yudhoyono mencalonkan diri dan berhasil menang pada Pilpres 2004, PDIP langsung menobatkan diri sebagai partai oposisi. Selama satu dekade PD dan PDIP menjadi penyeimbang kekuatan dengan berperan sebagai partai pemerintah dan partai opisisi.

Namun semua itu berubah ketika PDIP berhasil menang melalui Joko Widodo di Pilpres 2014. PDIP jelas memposisikan diri sebagai pendukung pemerintah. Sementara PD mencoba untuk bersikap netral.

Mungkin PDIP belum terbiasa menjadi partai penguasa, karena itu dalam perjalannya PDIP kerap diserang oleh lawan-lawan politiknya. Sebagai contoh, saat Pilkada DKI Jakarta. Kita melihat betapa  buruknya proses demokrasi yang terjadi saat itu.

Padahal banyak yang memprediksi bahwa pasangan Ahok-Djarot akan kembali menguasai Jakarta. Angka keterpilihan Ahok saat itu juga yang tertinggi. Namun apa daya, PDIP harus rela melepaskan Ibu kota. Partai Demokrat yang juga ikut di Pilkada DKI melalui Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), pun harus menerima kekalahan.

AHY secara jantan mengakui kekalahan dan memberikan selamat kepada siapapun nanti yang memenangi kontestasi tersebut. Selain tidak memberikan dukungan kepada salah satu pihak, AHY juga memberikan kebebasan bagi pemilihnya untuk mendukung siapapun.

Berkaca dari kekalahan besar tersebut, nampaknya PDIP harus merubah strategi untuk Pilkada di daerah lain. Pemimpin PDIP, Megawati Soekarnoputri harus bisa legowo dengan mengesampingkan konflik pribadinya dengan SBY.

Selain konflik SBY - Megawati saat Pilpres 2004, di posisi bawahan kedua partai juga kerap berseberangan.  Contohnya saat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto berang kepada Partai Demokrat dan menuduh SBY membajak kadernya, Emil Dardak. Emil diketahui lebih memilih partai berlambang Mercy merah putih dibanding partai berlambang banteng untuk maju sebagai Cawagub Khofifah di Pilgub Jatim.

Bagaimanapun hingga saat ini belum muncul nama-nama Capres alternatif selain Jokowi dan Prabowo. Sementara konteks politik saat ini, cara menguasainya adalah melalui Pilkada, yang akan terselenggara tahun ini.

Daerah Jawa Barat (Jabar), Jawa Timur (Jatim), dan Jawa Tengah (Jateng), menjadi kunci. Posisi kepala daerah cukup menentukan bagi dukungan saat Pilpres. Selain jumlah penduduk dari ketiga daerah ini adalah yang terbanyak di Indonesia, Pilpres 2014 menjadi bukti bahwa daerah-daerah strategis ini berpengaruh.

Pada Pilkada Jabar 2013, PKS, pendukung setia Prabowo-Hatta, memenangi Pilkada di wilayah ini. Hasilnya pada Pilpres 2014 Prabowo-Hatta menang di Jabar dengan angka yang cukup mutlak. Pasangan ini mengantongi 59,78 persen suara, atau setara 14 juta lebih pemilih. Sementara Jokowi-JK memperoleh 9,5 juta suara atau setara 40,22 persen.

Begitu juga dengan Jawa Tengah, yang pada 2013 lalu pemenang Pilkada-nya adalah PDIP dengan pasangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko. Setahun setelahnya, Jokowi-JK menang mutlak di provinsi ini dengan mengantongi 66,65 persen suara.

Untuk Jatim, Partai Demokrat yang memenangi Pilgub berposisi netral, tidak mendukung siapapun. Hasilnya juga merefleksikan peroleh suara kedua pihak, tidak terpaut jauh. Jokowi-JK memperoleh 53,17 persen atau 11.669.313 suara. Sedangkan, Prabowo-Hatta memperoleh 46,83 persen atau 10.277.088 suara.

Sikap netral SBY dan Demokrat sudah terlihat dari sebelum Pilpres, di mana PD memilih untuk tidak mendukung kedua paslon, yakni Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta.

Karena itulah koalisi ini dianggap penting untuk kedua pihak, PD dan PDIP. Di Pilgub Jateng, Demokrat dan PDIP bersama mengusung Ganjar Pranowo dan Taj Yasin Maimun. Sementara di Pilgub Kalbar, kedua partai ini mengusung Karolin Margaret Natasa - Suryadman Gidot.

Potensi kerjasama kedua partai ini nampaknya bermuara pada Pilpres nanti, di mana Jokowi digadang-gadang akan menambah kekuatan jika berpasangan dengan AHY.

Disaat peta politik Indonesia terbagi menjadi dua kubu; kanan dan kiri, PD tampak 'pewe' berada di tengah. Jika Kelompok 'kanan' dapat di generalisir sebagai kelompok islam-konservatif, maka kelompok kiri adalah kebalikannya.

Seperti diketahui, demografi pendukung Jokowi kebanyakan adalah dari kelompok kiri. Belakangan muncul penolakan dari kelompok islam-konservatif di mana kebijakan Jokowi selama ini dinilai memarjinalkan mereka. Seperti misalnya penerbitan UU ormas, hingga persekusi sejumlah ulama dan tokoh kanan.

Demonstrasi besar-besaran yang beberapa kali dilakukan juga mendeskripsikan bagaimana desakan dan penolakan begitu keras datang dari kelompok kanan.

Maka melalui AHY, Jokowi dipercaya akan menjadi lebih kuat dan dapat kembali menggambar ulang segmentasi pemilihnya. Karena nilai-nilai demokratis dan sikap netral SBY yang diturunkan kepada Partai Demokrat dan AHY bisa menjadi 'sura putih' bagi PDIP. 

Tidak hanya itu, latar belakang AHY yang dari militer dan juga usianya yang masih muda, akan menambah kaya jumlah pemilih Jokowi, khususnya dari kalangan nasionalis dan generasi milenial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun