Meski demikian, Beredarnya dokumen Panama Papers telah menimbulkan tsunami politik di sejumlah negara. Bahkan, hanya dalam hitungan hari tersebar, sudah ada pemimpin negara yang mundur dari jabatannya.Â
Perdana Menteri Islandia Sigmundur Dav Gunnlaugsson meletakkan jabatannya di tengah sorotan masyarat terhadap tumpukan harta keluarganya yang tersimpan pada perusahaan cangkang di negara surga pajak (tax haven). Keputusan itu menyusul desakan mundur dari sekitar 22 ribu warga Islandia yang berdemonstrasi di ibukota Reykjavik.
Di Cile, Presiden Transparansi Internasional Gonzalo Delaveau, mengundurkan diri pada awal April 2016. Pengunduran diri tersebut hanya beberapa jam setelah otoritas pajak Cile mengumumkan dimulainya proses penyelidikan atas dokumen Panama Papers. Nama Delaveau memang tercantum dalam dokumen itu, yang disebut memiliki lima perusahaan offshore di Kepulauan Bahama. Misalnya, dia merupakan Direktur Turnbrook Mining, yang menguasai 51,6 persen tambang Los Andes Copper di selatan ibukota Santiago.
Masih banyak pemimpin-pemimpin negara di dunia yang terlibat dalam Panama Papers maupun Paradise Papers. Hal yang harus digaris bawahi adalah, meskipun praktik tersebut tidak melanggar hukum, hal tersebut mendegradasi integritas pelakunya, apalagi jika ia adalah seorang pemimpin negara atau seorang politisi.
Secara mudah kita bisa melempar pertanyaan kepada nama-nama tersebut, mengapa memilih untuk berinvestasi di luar negeri? Mengapa tidak di dalam negeri? Bayangkan berapa rupiah yang bisa dikantongi jika investasi dilakukan di dalam negeri.
Sebagai politisi, tentu opini publik terhadap citra sang tokoh sangat penting. Di luar negeri saja politisi yang namanya dicatut dalam Panama Papers, banyak yang mengundurkan diri karena kehilangan kepercayaan oleh pubik. Bagaimana dengan di Indonesia sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H