Kebocoran Panama Papers mengungkap nama-nama mereka yang memiliki perusahaan Special Purpose Vehicle (SPV) di luar negeri. Setelah Panama Papers, Paradise Papers mengungkap banyak nama tokoh dunia terkait aktivitas offshore perusahaan. Nama-nama tersebut berpotensi merugikan negara akibat pajak yang tidak bisa diserap pemerintah. Tapi, apakah aktivitas mereka ini melanggar hukum?
Hampir semua negara menganggap aktivitas yang terungkap dalam Panama Papers dan Paradise Papers adalah praktik investasi lintas negara. Di mana negara-negara yang disebut dalam laporan tersebut tidak mengharamkan hal itu.
Otoritas pajak bisa menjadikan ini sebagai data acuan. Selanjutnya adalah permintaan klarifikasi dari wajib pajak, baik dari skema bisnis yang dijalankan hingga transaksi keuangan maupun aset. Menurutnya dari hal tersebut dapat diketahui motivasi dari wajib pajak.
Untuk menentukan motivasi pajak atau bisnis tetap berdasarkan aturan pajak yang ada. Jadi dikatakan melanggar atau tidak melanggar tetap dikaitkan dengan aturan pajak mana yang terkait.
Persoalan untuk Indonesia sendiri, sampai sekarang belum ada aturan pajak yang terkait dengan GAAR (General Anti Avoidance Rules). Aturan ini mencakup perencanaan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak beserta promotornya. Promotor yang dimaksud adalah bank dan konsultan hukum.
Jadi memang penting untuk segera membuat aturan tentang GAAR sebagai dasar untuk mengetahui apakah ada pelanggaran atau bisa disebut melanggar hukum. Tapi keluarnya uang memang berbeda regulasinya di tiap negara. Para pengusaha yang melakukan aktivitas bisnis via Special Purpose Vehicle (SPV) seperti ini pasti sudah mengerti aturan main yang ada.
Direktur Eksekutif for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan bahwa pejabat yang namanya tersangkut dalam Panama Papers tidak perlu takut. Apalagi, sampai menggagalkan program Tax Amnesty. Sebab, data mereka tak akan terbongkar kepada pihak yang tidak berkepentingan.
Yustinus meyakini bahwa Direktorat Jenderal Pajak akan menjaga kerahasiaan data wajib pajak. Sehingga, menurutnya program pengampunan pajak seharusnya tak perlu digagalkan. Justru, mereka yang masuk dalam Panama Papers harusnya menyambut baik pengampunan pajak tersebut.
Di sisi lain, Yustinus berpendapat bahwa pemerintah juga perlu lebih gencar dalam mensosialisasikan program pengampunan pajak. Hal ini menurutnya salah satu kunci agar realisasi program tersebut bisa sukses. Sebab, masih banyak masyarakat yang belum memahami sepenuhnya esensi dari pengampunan pajak.
Dirinya mengungkapkan, program pengampunan pajak sudah tepat untuk diberlakukan di Indonesia. Terlebih setelah terkuaknya dokumen Panama Papers. Ia menilai peristiwa tersebut membuktikan bahwa ada begitu banyak orang-orang Indonesia yang memiliki rekening di negara Tax Heaven.
Dengan belum adanya regulasi yang mengatur tentang praktik tersebut, nama-nama yang dicatut dalam Panama Papers maupun Paradise Papers tidak bisa dikatakan melanggar hukum.
Meski demikian, Beredarnya dokumen Panama Papers telah menimbulkan tsunami politik di sejumlah negara. Bahkan, hanya dalam hitungan hari tersebar, sudah ada pemimpin negara yang mundur dari jabatannya.Â
Perdana Menteri Islandia Sigmundur Dav Gunnlaugsson meletakkan jabatannya di tengah sorotan masyarat terhadap tumpukan harta keluarganya yang tersimpan pada perusahaan cangkang di negara surga pajak (tax haven). Keputusan itu menyusul desakan mundur dari sekitar 22 ribu warga Islandia yang berdemonstrasi di ibukota Reykjavik.
Di Cile, Presiden Transparansi Internasional Gonzalo Delaveau, mengundurkan diri pada awal April 2016. Pengunduran diri tersebut hanya beberapa jam setelah otoritas pajak Cile mengumumkan dimulainya proses penyelidikan atas dokumen Panama Papers. Nama Delaveau memang tercantum dalam dokumen itu, yang disebut memiliki lima perusahaan offshore di Kepulauan Bahama. Misalnya, dia merupakan Direktur Turnbrook Mining, yang menguasai 51,6 persen tambang Los Andes Copper di selatan ibukota Santiago.
Masih banyak pemimpin-pemimpin negara di dunia yang terlibat dalam Panama Papers maupun Paradise Papers. Hal yang harus digaris bawahi adalah, meskipun praktik tersebut tidak melanggar hukum, hal tersebut mendegradasi integritas pelakunya, apalagi jika ia adalah seorang pemimpin negara atau seorang politisi.
Secara mudah kita bisa melempar pertanyaan kepada nama-nama tersebut, mengapa memilih untuk berinvestasi di luar negeri? Mengapa tidak di dalam negeri? Bayangkan berapa rupiah yang bisa dikantongi jika investasi dilakukan di dalam negeri.
Sebagai politisi, tentu opini publik terhadap citra sang tokoh sangat penting. Di luar negeri saja politisi yang namanya dicatut dalam Panama Papers, banyak yang mengundurkan diri karena kehilangan kepercayaan oleh pubik. Bagaimana dengan di Indonesia sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H