Mohon tunggu...
Gian Sugianto
Gian Sugianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Profil Gian Sugianto

Kerja Keras Tidak Pernah Menghianati

Selanjutnya

Tutup

Diary

Dari Penjara ke Panggung Kebenaran

12 Januari 2025   15:20 Diperbarui: 12 Januari 2025   15:26 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepercayaan istrinya memberi kekuatan baru dalam diri jurnalis itu. Mereka berdua tahu betul bahwa hidup mereka tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa tanpa perjuangan, tak akan ada perubahan. Dia harus melanjutkan tugasnya untuk menyuarakan keadilan, meski itu harus melalui jalan yang penuh dengan rintangan.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan jurnalis itu kembali menulis dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. Setiap kalimat yang ditulisnya adalah wujud dari semangat untuk memerangi ketidakadilan yang semakin mengakar. Setiap laporan yang diterbitkan, setiap artikel yang dipublikasikan, adalah bukti bahwa meskipun ia telah melalui banyak hal pahit, kebenaran tidak bisa dibungkam begitu saja.

Dia tahu bahwa tidak ada jaminan bahwa perjuangannya akan berjalan mulus, atau bahwa ia akan diterima oleh semua kalangan. Tetapi, dia yakin satu hal, keadilan tidak akan pernah datang dengan mudah. Dan sebagai jurnalis, dia akan terus berbicara. Demi kebenaran, demi tanah air, dan demi keluarga yang selalu mendukungnya.

Dengan setiap langkah yang diambilnya, dengan setiap artikel yang dipublikasikan, dia merasa bahwa perjuangannya adalah sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ini adalah perjuangan untuk mereka yang tidak bisa bersuara, untuk mereka yang terpinggirkan. Dan dia tahu bahwa dengan dukungan dari orang-orang yang mencintainya, dia tidak akan pernah berhenti.

Tidak ada yang bisa menghentikan kebenaran, dan dia akan terus menyuarakannya demi keluarga, demi bangsa, dan demi tanah air.

Di tengah malam yang sunyi, hanya suara detakan jam yang terdengar di ruang tamu kecil mereka, jurnalis itu duduk kembali di meja kerjanya. Komputer di depannya menyala, layar biru dengan kursor yang berkedip-kedip, seolah menantinya untuk mulai menulis. Keheningan malam ini berbeda dari sebelumnya. Ada ketegangan, tetapi juga rasa lega yang mengalir melalui tubuhnya. Setelah bertahun-tahun hidup dalam penjara keheningan, dia kini kembali menulis, kembali menyuarakan apa yang ada di dalam hatinya.

Tidak ada kata yang bisa menggambarkan betapa dia merindukan saat-saat bisa berbicara untuk mereka yang terlupakan. Selama tiga tahun terakhir, suaranya telah hilang. Kritisnya pada pemerintahan, suaranya yang tajam dan penuh perlawanan, telah dibungkam. Namun, setiap detik di penjara mengajarkan sesuatu yang lebih berharga bahwa suara keadilan harus terus didengarkan, bahkan jika itu berarti harus berjuang melawan segala ancaman.

Ketika dia mengetik kata pertama, seakan dunia di sekitarnya kembali hidup. Setiap kalimat yang tercipta, setiap kata yang tersusun, mengingatkannya pada alasan mengapa dia memilih jalur ini sebagai seorang jurnalis. Sebagai seorang yang tak pernah takut menghadapi kenyataan, dia tahu bahwa peranannya lebih besar daripada sekadar seorang penulis berita. Dia adalah saksi dari banyak kisah yang terpendam, dan melalui tulisan, dia berupaya membuka mata mereka yang buta akan kebenaran.

Namun, di sisi lain, setiap kata yang ia tulis juga mengingatkannya pada harga yang harus dia bayar. Ketika dia menulis kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah, dia tahu pasti bahwa akan ada konsekuensinya. Dia sudah merasakannya. Penjara. Pencemaran nama baik. Dan kadang, bahkan ancaman yang datang dari mereka yang merasa terganggu dengan suaranya. Namun, dia tidak gentar. Keberanian itu bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk mereka yang tidak bisa melawan, untuk mereka yang tidak diberi kesempatan untuk didengar.

Pagi-pagi sekali, saat mentari mulai memanaskan tanah di Bekasi, istrinya bangun lebih awal, seperti biasa. Ia menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya yang belum beranjak dari tidur. Tak lama, sang jurnalis masuk ke dapur, membawa secangkir kopi hangat. Mereka saling tersenyum, meski di matanya masih tampak kegelisahan.

"Kamu terus menulis?" tanya istrinya sambil menyapu rambut yang jatuh menutupi dahinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun