Di sebuah rumah kecil yang sederhana di pinggiran Bekasi, seorang jurnalis duduk termenung di meja kerjanya. Matahari sudah terbenam, dan ruang tamu rumah yang tenang itu dipenuhi hanya oleh suara gesekan pena di atas kertas. Sudah enam bulan berlalu sejak dia keluar dari penjara, setelah tiga tahun hidup di balik jeruji besi. Tiga tahun yang panjang, penuh dengan kenangan pahit dan keheningan yang memekakkan telinga.
Kini, dia telah bebas menghirup udara luar. Namun, kebebasan itu terasa agak berbeda. Dunia yang dulu dikenalnya begitu akrab dunia media, dunia di mana setiap kata dan laporan bisa mengubah banyak hal, sekarang terasa begitu jauh. Tiga tahun tanpa suara kritis, tanpa artikel yang menyentuh ketidakadilan, tanpa pemberitaan yang dapat mengubah pandangan banyak orang.
Tapi tekadnya tetap tak goyah. Dia tahu bahwa dia tak bisa tinggal diam. Dunia ini membutuhkan suara seperti dirinya, suara yang tidak takut mengungkapkan apa yang tersembunyi di balik layar kekuasaan. Apa yang telah terjadi padanya, penangkapan, proses hukum yang tidak adil adalah bukti nyata betapa keadilan sering kali terabaikan. Dia tahu bahwa perjuangannya belum selesai. Bahkan, mungkin ini baru dimulai.
Akhir bulan November lalu, dia menikahi seorang wanita yang sederhana namun penuh keberanian. Seorang janda beranak tiga yang setiap harinya berjuang sebagai pedagang sayuran di pasar Bekasi. Mereka bertemu melalui media sosial, sebuah dunia yang jauh dari hiruk-pikuk politik dan kekuasaan. Wanita ini, meskipun hidupnya penuh tantangan, tidak pernah berhenti untuk berjuang demi anak-anaknya. Kehidupan mereka tidak mudah, tetapi ada satu hal yang menyatukan mereka, semangat untuk bertahan dan mencari kebenaran, meski kadang itu menyakitkan.
Sang istri selalu memberikan dukungan yang tak tergoyahkan. Dia tahu betul siapa suaminya dan apa yang telah dilalui. Ketika suaminya berbicara tentang kebebasan berbicara, tentang keadilan yang harus diperjuangkan, dia hanya diam, menyimak dengan penuh perhatian. Tidak ada ketakutan di matanya. Dia tahu, meskipun kehidupan mereka penuh dengan ketidakpastian, mereka akan selalu bersama, berjuang untuk keadilan dan untuk masa depan yang lebih baik.
"Jangan takut untuk bersuara," kata istrinya suatu malam, saat mereka duduk bersama setelah anak-anak tidur. "Apa yang kamu lakukan itu benar. Kita akan bersama-sama, kamu tidak sendirian."
Kata-kata itu menguatkan hatinya. Meskipun perjalanan hidupnya penuh dengan ancaman dan tekanan, dia tidak ingin mundur. Dalam penjara, dia melihat betapa banyak orang yang tak bisa bersuara. Mereka yang terpinggirkan, yang dibungkam oleh kekuasaan. Itulah mengapa dia merasa panggilan untuk terus berbicara. Menulis bukan hanya soal dirinya. Itu adalah cara dia memberi suara kepada mereka yang terdiam, yang terabaikan.
Namun, perjalanan ini tak mudah. Setiap kali dia menulis artikel yang mengkritik kebijakan pemerintah, dia merasakan tekanan yang luar biasa. Tidak jarang kritikannya disambut dengan perlakuan yang tidak menyenangkan, bahkan beberapa kali dirinya diperlakukan dengan cara yang mengarah pada kriminalisasi. Ketidakadilan yang dia rasakan bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk setiap orang yang memperjuangkan kebebasan berbicara.
Suatu pagi, setelah menyelesaikan sebuah artikel kritis yang menyentuh masalah ketimpangan sosial di daerahnya, dia kembali duduk bersama istrinya di meja makan. "Apa yang kita lakukan ini memang berat," katanya pelan, tatapannya kosong sejenak. "Tapi kita harus terus berjuang, demi masa depan anak-anak, demi tanah air kita."
Istrinya hanya tersenyum lembut, seolah tahu apa yang ada dalam pikiran suaminya. "Kamu sudah membuat pilihan, dan aku akan selalu ada di sini, mendukungmu. Kita akan melalui ini bersama."
Kepercayaan istrinya memberi kekuatan baru dalam diri jurnalis itu. Mereka berdua tahu betul bahwa hidup mereka tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa tanpa perjuangan, tak akan ada perubahan. Dia harus melanjutkan tugasnya untuk menyuarakan keadilan, meski itu harus melalui jalan yang penuh dengan rintangan.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan jurnalis itu kembali menulis dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. Setiap kalimat yang ditulisnya adalah wujud dari semangat untuk memerangi ketidakadilan yang semakin mengakar. Setiap laporan yang diterbitkan, setiap artikel yang dipublikasikan, adalah bukti bahwa meskipun ia telah melalui banyak hal pahit, kebenaran tidak bisa dibungkam begitu saja.
Dia tahu bahwa tidak ada jaminan bahwa perjuangannya akan berjalan mulus, atau bahwa ia akan diterima oleh semua kalangan. Tetapi, dia yakin satu hal, keadilan tidak akan pernah datang dengan mudah. Dan sebagai jurnalis, dia akan terus berbicara. Demi kebenaran, demi tanah air, dan demi keluarga yang selalu mendukungnya.
Dengan setiap langkah yang diambilnya, dengan setiap artikel yang dipublikasikan, dia merasa bahwa perjuangannya adalah sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ini adalah perjuangan untuk mereka yang tidak bisa bersuara, untuk mereka yang terpinggirkan. Dan dia tahu bahwa dengan dukungan dari orang-orang yang mencintainya, dia tidak akan pernah berhenti.
Tidak ada yang bisa menghentikan kebenaran, dan dia akan terus menyuarakannya demi keluarga, demi bangsa, dan demi tanah air.
Di tengah malam yang sunyi, hanya suara detakan jam yang terdengar di ruang tamu kecil mereka, jurnalis itu duduk kembali di meja kerjanya. Komputer di depannya menyala, layar biru dengan kursor yang berkedip-kedip, seolah menantinya untuk mulai menulis. Keheningan malam ini berbeda dari sebelumnya. Ada ketegangan, tetapi juga rasa lega yang mengalir melalui tubuhnya. Setelah bertahun-tahun hidup dalam penjara keheningan, dia kini kembali menulis, kembali menyuarakan apa yang ada di dalam hatinya.
Tidak ada kata yang bisa menggambarkan betapa dia merindukan saat-saat bisa berbicara untuk mereka yang terlupakan. Selama tiga tahun terakhir, suaranya telah hilang. Kritisnya pada pemerintahan, suaranya yang tajam dan penuh perlawanan, telah dibungkam. Namun, setiap detik di penjara mengajarkan sesuatu yang lebih berharga bahwa suara keadilan harus terus didengarkan, bahkan jika itu berarti harus berjuang melawan segala ancaman.
Ketika dia mengetik kata pertama, seakan dunia di sekitarnya kembali hidup. Setiap kalimat yang tercipta, setiap kata yang tersusun, mengingatkannya pada alasan mengapa dia memilih jalur ini sebagai seorang jurnalis. Sebagai seorang yang tak pernah takut menghadapi kenyataan, dia tahu bahwa peranannya lebih besar daripada sekadar seorang penulis berita. Dia adalah saksi dari banyak kisah yang terpendam, dan melalui tulisan, dia berupaya membuka mata mereka yang buta akan kebenaran.
Namun, di sisi lain, setiap kata yang ia tulis juga mengingatkannya pada harga yang harus dia bayar. Ketika dia menulis kritik tajam terhadap kebijakan pemerintah, dia tahu pasti bahwa akan ada konsekuensinya. Dia sudah merasakannya. Penjara. Pencemaran nama baik. Dan kadang, bahkan ancaman yang datang dari mereka yang merasa terganggu dengan suaranya. Namun, dia tidak gentar. Keberanian itu bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk mereka yang tidak bisa melawan, untuk mereka yang tidak diberi kesempatan untuk didengar.
Pagi-pagi sekali, saat mentari mulai memanaskan tanah di Bekasi, istrinya bangun lebih awal, seperti biasa. Ia menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya yang belum beranjak dari tidur. Tak lama, sang jurnalis masuk ke dapur, membawa secangkir kopi hangat. Mereka saling tersenyum, meski di matanya masih tampak kegelisahan.
"Kamu terus menulis?" tanya istrinya sambil menyapu rambut yang jatuh menutupi dahinya.
"Ya," jawabnya singkat, namun jelas ada semangat dalam suaranya. "Aku harus tetap melakukannya. Ini bukan hanya tentang kita, ini tentang mereka yang tidak bisa berbicara."
Istrinya memandangnya, matanya lembut namun penuh keteguhan. "Aku tahu. Aku akan selalu ada di sini. Jangan khawatir, kita akan melalui semua ini bersama."
Kalimat itu memberi kekuatan baru dalam dirinya. Dukungan istrinya adalah pijakan yang kokoh, meskipun jalan yang mereka tempuh tidak pernah mudah. Setiap hari, kehidupan mereka penuh dengan tantangan, tapi mereka tahu bahwa bersama-sama, mereka bisa bertahan.
Jurnalis itu menghabiskan berjam-jam menulis, mencari informasi, dan menelusuri lapangan untuk menggali kebenaran yang tak banyak diketahui publik. Dalam setiap laporan yang ditulisnya, ada semangat untuk membuka mata banyak orang. Tulisannya bukan hanya sekadar informasi, tetapi sebuah panggilan untuk bertindak. Untuk memperjuangkan apa yang benar, untuk melawan ketidakadilan.
Namun, setiap kali dia menekan tombol kirim untuk mengirim artikel ke media, hati kecilnya selalu berdebar. Ketakutan akan ancaman, kritik, dan serangan datang tak jarang menghantuinya. Dia tahu bahwa ada risiko besar dalam setiap tulisan yang diterbitkan. Tetapi, dia tidak akan mundur. Sebagai seorang jurnalis, tugasnya adalah mencatatkan kebenaran, bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk mereka yang tak punya suara.
Hari-hari berlalu, dan meskipun sering kali ada tantangan yang datang bertubi-tubi, semangatnya tidak pernah surut. Dalam setiap artikel yang ia tulis, ada pembaruan, ada kekuatan yang tak bisa dipadamkan. Sebab, bagi dia, menulis adalah bentuk perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Itu adalah cara dia melawan ketidakadilan dan memberi suara pada mereka yang terdiam.
Pada akhirnya, dia tahu bahwa perjuangan ini tidak akan pernah berakhir. Sebagai seorang jurnalis, dia memiliki tanggung jawab untuk selalu menyuarakan kebenaran, meskipun itu berarti harus melawan segala arus. Di sampingnya, ada istri yang selalu memberi dukungan tak tergoyahkan, ada anak-anak yang mengisi hidupnya dengan kebahagiaan sederhana, dan ada tanah air yang membutuhkan suara mereka yang berani untuk berdiri tegak.
Dengan setiap artikel yang diterbitkan, dengan setiap perlawanan yang dilakukannya, dia tahu satu hal yang pasti: tak ada yang bisa menghentikan kebenaran. Dan selama dia masih bisa menulis, selama dia masih diberi kesempatan untuk bersuara, dia akan terus berjuang. Demi keluarga. Demi bangsa. Demi tanah air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H