Program Makan Bergizi (MBG): Ketika Niat Baik Terkendala Kepentingan Pribadi
Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam mengatasi masalah stunting dan kekurangan gizi pada anak-anak. Program Makan Bergizi (MBG), yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto, diharapkan menjadi salah satu solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah ini. Dengan tujuan memberikan makanan bergizi kepada keluarga miskin, program ini seharusnya memberikan dampak positif langsung pada kesehatan masyarakat dan juga membuka peluang ekonomi bagi mereka yang berada di level bawah.
Namun, seperti yang sering terjadi dalam berbagai inisiatif besar lainnya, pelaksanaan MBG menghadapi tantangan berat. Di balik niat baik pemerintah, ada fenomena yang patut dicermati: program ini malah dimanfaatkan oleh mereka yang tidak memiliki kaitan langsung dengan sektor katering, tetapi berlomba-lomba untuk meraup keuntungan pribadi. Ada kekhawatiran bahwa program yang seharusnya menghidupkan ekonomi masyarakat bawah, justru malah menguntungkan pemain besar yang sudah menguasai sektor bisnis.
Kritik dari Budiman Sujatmiko: Fokus pada Ekonomi Kelas Bawah
Budiman Sujatmiko, Kepala Badan Pengentasan Kemiskinan, pernah dengan tegas mengingatkan bahwa MBG harus bisa menghidupkan ekonomi masyarakat bawah. Dalam beberapa kesempatan, ia menekankan bahwa tujuan utama program ini bukan sekadar pemberian bantuan makanan, tetapi lebih kepada bagaimana menciptakan peluang ekonomi yang berkelanjutan bagi kalangan bawah. Bagi Budiman, jika program ini hanya menguntungkan pihak-pihak besar yang sudah berada di atas, maka esensi pemberdayaannya akan hilang.
Sebagaimana diungkapkan oleh Budiman, sektor ekonomi bawah, seperti usaha mikro dan kecil, seharusnya menjadi pemain utama dalam program ini. Mereka adalah pihak yang memiliki pengalaman langsung dalam menyediakan makanan bagi masyarakat lokal, yang sudah lama hidup berdampingan dengan kebutuhan gizi warga. MBG, jika dijalankan dengan benar, seharusnya membuka pasar bagi para pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) agar mereka bisa berkembang melalui kerjasama dengan pemerintah.
Namun kenyataannya, pemain besar dengan modal kuat justru menjadi aktor dominan dalam implementasi program ini. Mereka yang sebelumnya tidak ada kaitannya dengan bisnis katering atau distribusi makanan, kini berhasil meraih kontrak besar untuk memasok makanan dalam skala nasional. Mereka tidak hanya menguasai pasar, tetapi juga mendominasi sumber daya yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh pengusaha lokal.
Penyalahgunaan Program: Dari Katering ke Bisnis Jebakan
Salah satu persoalan terbesar dalam implementasi MBG adalah keterlibatan pihak-pihak yang tidak memiliki latar belakang atau pengalaman dalam bisnis katering. Banyak orang yang terjun ke dunia katering dan pengadaan makanan hanya untuk mengambil keuntungan dari dana program yang digelontorkan pemerintah. Munculnya aktor-aktor baru yang hanya mengejar keuntungan finansial ini mengancam keberlanjutan tujuan asli MBG.
Sebagai contoh, beberapa perusahaan besar yang sebelumnya tidak terlibat dalam bisnis pangan, kini terjun dalam pengadaan makanan bergizi melalui program ini. Mereka memperoleh kontrak-kontrak besar dengan nilai yang fantastis, sementara pelaku UMKM yang memiliki pengalaman bertahun-tahun dalam menyediakan makanan sehat untuk masyarakat lokal justru terpinggirkan. Program yang seharusnya memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat bawah, malah justru menguntungkan segelintir orang yang hanya melihat peluang ini sebagai cara untuk menambah pundi-pundi kekayaan mereka.