Hoaks menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi dalam jaringan adalah berita bohong. Hoaks dapat menyebar melalui berbagai perantara, dari mulut ke mulut atau pun media sosial dan media daring.
Tersebarnya hoaks di era media baru tidak dapat terhindarkan. Pertukaran informasi yang begitu cepat menyulitkan kita untuk memilah dan memilih apa yang ingin kita lihat dan apa yang tidak ingin kita ketahui sama sekali. Informasi suka tidak suka silih berganti, datang dan pergi di layar smartphone atau gawai kita.
Menurut Lister, media baru memungkinkan setiap orang dapat mengakses hyperlink atau berbagai tautan yang sudah tertera dalam satu tautan.Â
Kelebihan hypertextual dari media baru memang memudahkan kita mengakses informasi. Satu tautan berita kita klik, akan muncul tautan lainnya yang berkaitan dengan berita tersebut.
Melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter, hyperlink sebuah berita dapat langsung disebarluaskan oleh pengguna. Pengguna pun dapat menambahkan caption sesuka mereka. Alhasil, hoaks mudah menyebar dengan berbagai bumbu opini.
Meski tidak semua informasi terindikasi hoaks, terkadang butuh kejelian untuk membedakan informasi benar dan hoaks. Agar tidak terkecoh dengan hoaks, ada baiknya Anda mengenali konten atau berita hoaks terlebih dahulu.
Berikut cara-cara mengenali hoaks yang dilansir dari Okezone.com dan Republika.co.id.
Pertama, cek judul berita. Judul clickbait tidak selamanya salah, namun juga tidak selamanya benar. Cermati isi beritanya apakah memiliki korelasi dengan judul ataukah tidak. Misalnya ada judul clickbait mengenai adanya gempa susulan dengan kekuatan tertentu setelah gempa.
Biasanya isi beritanya hanya mengenai gempa yang baru saja benar-benar terjadi, bukan yang belum terjadi. Menurut Shelly dalam Okezone.com, gempa susulan tidak dapat diprediksi.
Ketika ada judul yang diawali kata provokatif seperti 'Awas!', 'Hati-Hati!', 'Waspada!', 'Viralkan!', dan kata lainnya dengan tanda seru lebih dari satu, ada baiknya Anda tidak langsung percaya. Kata-kata seru tersebut merupakan salah satu indikasi berita hoaks.
Kedua, periksa sumber berita. Berita atau informasi yang tidak mengandung hoaks ada di situs-situs berita terpercaya seperti Kompas.com, Detik.com, CNN, dan berbagai portal berita online yang telah terverifikasi.
Bila Anda membaca situs berita pihak ketiga seperti Line Today, periksa terlebih dahulu sumber yang tertera pada artikelnya. Pastikan berasal dari situs berita yang telah terbukti kredibilitasnya.
Anda juga dapat mencermati narasumber berita melalui searching di browser Anda. Nama narasumber yang kredibel pasti langsung muncul di laman pencarian teratas.
Ketiga, cermati isinya. Berdasarkan data dari Detik.com, sebuah survei yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU) menyatakan bahwa Indonesia memiliki tingkat literasi paling rendah karena budaya malas membaca. Indonesia masuk peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei.
Itu tandanya kita masih kurang cermat dalam membaca informasi. Ketika paragraf awal menarik, kita sudah langsung menyebarkan keseluruhan berita tersebut. Padahal, isinya belum kita baca secara utuh.
Contohnya adalah ketika ada informasi hoaks kesehatan mengenai sayap ayam broiler yang berbahaya bagi kesehatan vital wanita lalu kita menemukan nama dokter di situ. Searching atau googling nama dokter itu penting. Banyak nama palsu yang digunakan untuk menyebarkan berita hoaks kesehatan.
Anda juga dapat mencermati keterangan waktu pada isi berita. Jika keterangan waktu peristiwa tidak menunjukkan tanggal detail seperti 'bulan lalu', 'beberapa waktu lalu', ataupun 'seminggu  yang lalu', patut dicurigai berita tersebut hoaks. Situs berita terverifikasi akan selalu detail dalam memberi keterangan waktu dalam setiap artikelnya.
Keempat, Anda juga dapat melakuan verifikasi hoaks atau tidaknya suatu berita maupun informasi melalui situs cekfakta.com dan turnbackhoax.id. Situs tersebut selalu up to date dalam melakukan verifikasi terhadap suatu data yang beredar di masyarakat.
Meningkatkan literasi dengan membaca keseluruhan isi berita saja tidaklah cukup. Verifikasi perlu dilakukan.
Kemudian Anda perlu tahu bahwa beberapa portal berita online tidak terdaftar. Meskipun informasi yang disebarkan tidak selalu hoaks, tetapi isi beritanya tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik dari sisi sumber maupun copy-paste (plagiarism) yang dilakukan oleh si pembuat portal berita abal-abal.
Berikut ini karakter portal berita abal-abal yang perlu Anda cermati.
Alamat redaksi portal berita tidak jelas atau bahkan tidak ada. Alamat redaksi biasanya dicantumkan di bagian bawah laman portal berita atau masuk di kolom 'Tentang Kami'.
Munculnya iklan yang terlalu banyak dan tidak relevan sehingga sangat mengganggu sejak awal membuka situs. Iklan yang banyak memang seringkali kita jumpai di berbagai portal berita. Namun, ada beberapa jenis iklan yang tidak wajar untuk sebuah portal berita, misalnya iklan judi online dan berbagai iklan lainnya yang men-direct kita ke laman-laman yang tidak ada kaitannya dengan isi berita.
Mencantumkan judul-judul yang tidak hanya clickbait, tetapi juga bombastis. Judul yang bombastis adalah judul yang bersifat menggemparkan ataupun mengagetkan. Misalnya berita tentang seorang artis yang meninggal dunia padahal ia masih hidup.
Tidak memiliki pedoman media siber. Pedoman ini merupakan tanda bahwa sebuah portal berita kredibel.
Nah, situs abal-abal tersebut perlu kita cek kembali dengan beberapa cara. Berikut cara mengeceknya dikutip dari cnnindonesia.com. Pertama, cek domain. Mengecek domain website dapat Anda lakukan di Whois. Layanan tersebut akan menjabarkan secara rinci semua informasi mengenai pembuatan situs. Mulai dari keberadaan situs, perusahaan pembuat, hingga IP Address.
Selain Whois, ada pula Pandi yang dikelola oleh Pengelola Nama Domain Indonesia yang dapat Anda gunakan untuk mencari identitas situs yang mungkin belum didaftarkan di Whois.
Identitas portal berita bukanlah hal yang perlu ditutup-tutupi jika tidak ada maksud tertentu. Jika Anda memiliki situs yang belum terdaftar, Anda bisa juga mendaftar secara gratis di situs Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Kemkominfo.
Selanjutnya, identifikasi gambar hoaks. Ketika mendapatkan berita yang terindikasi hoaks, seringkali kita mendapati foto yang terkesan meyakinkan, seperti bukti nyata dari isi berita. Tentulah pembuat berita hoaks seringkali mencatut gambar dari sumber-sumber bebas atau dari kejadian nyata yang berbeda dengan hoaks yang ia sebarkan.
Misalnya ada hoaks seorang nenek di suatu daerah di Indonesia dipukuli karena mencuri jagung yang dilengkapi dengan fotonya yang terkesan mengenaskan. Setelah diverifikasi ternyata itu adalah foto seorang nenek yang menjadi korban perampokan di Malaysia.
Melalui Google Image dan TinEye, kita bisa mengecek siapa yang pertama kali mengunggah suatu gambar di internet sehingga akan terlihat mana gambar yang relevan dengan artikel dan mana yang tidak.
Mengecek kebenaran suatu informasi memang perlu melalui tahap-tahap di atas. Tetapi, mencoba verifikasi tidak ada salahnya bukan ketimbang memperoleh informasi hoaks? Memerangi hoaks kini dapat kita lakukan sendiri melalui gawai kita. Dengan rajin membaca dan verifikasi, semoga literasi masyarakat Indonesia naik peringkat, ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H