Berbicara tentang kebenaran, sejatinya manusia akan terus mencari kebenaran. Bisa dikatakan bahwa tidak ada kebenaran yang sempurna di dunia ini, karena sifatnya fana dan terbatas.
Bisa saja kebenaran terpatahkan oleh kebenaran yang lain bila terus digali. Alih-alih menggali kebenaran, banyak dari kita yang malah terjerumus dalam pembenaran oleh pemikiranya sendiri.
Terlepas dari itu semua, jika manusia mengerti dan memahami hakikat kebenaran, maka sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu.
Begitu juga sebaliknya, bila pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran ditempuh tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin.
Dikatakan demikian, karena dalam menjalani kehidupan manusia harus terbiasa diiringi oleh kebenaran jalan hidup dan manusia juga tidak boleh bosan untuk mencari realitas berkehidupan yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebenaran.
Sosok legenda pemikir klasik asal Yunani “Plato” telah memperkenalkan salah satu metode untuk menuju kebenaran. Plato memperkenalkan sosok Sokrates yang berfilsafat untuk pencarian kebenaran dengan tidak melalui buku yang di tulis secara sistematik, melainkan melalui proses dialog dengan orang lain.
Melalui proses dialog tersebut Sokrates menemukan kebenaran, kebenaran yang ideal (dunia ide) berkembang tidak dalam pikirannya sendiri, melainkan berkembang dalam proses dialog dengan orang lain, yaitu melalui pertanyaan-pertanyaan kritis. Dialog sebagai sebuah metode berfikir telah dikenal dan menjadi tradisi dalam filsafat Plato sejak dahulu.
Pendapat Sokrates sendiri, bahwa orang yang paling bijaksana di dunia adalah orang yang merasa dirinya tidak tahu banyak, sehingga terdorong untuk mencari kebenaran dengan terus belajar.
Menurutnya kebenaran dapat diperoleh melalui proses bertanya secara berkesinambungan dalam diskusi dengan melibatkan orang lain. Inilah dasar dari metode proses berpikir menuju kebaneran bagi Sokrates. Melalui metode dialog ini orang tidak terjebak di dalam pikirannya sendiri, bahwa dirinya telah mendapatkan kebenaran yang bersifat mutlak.
Pada bagian metode pencarian kebenaran selanjutnya, Sokrates menunjukkan bahwa upaya mencapai kebenaran didasarkan pada hati nurani. Dari hal ini dapat dikatakan adanya dialog yang berporos pada dorongan hati nurani akan menghasilkan hubungan pencarian kebenaran yang murni.
Dialog tidak semata mencari kebenaran tentang sesuatu, tetapi dialog di bangun dalam rangka mencari persamaan-persamaan dalam langkah menuju kebenaran yang sifatnya sesuai bersama.
Benang merah pencarian kebenaran bersama ini berarti antara pihak satu dengan pihak lainnya telah mengamini, meski ada konflik yang terjadi ketika berlangsungnya dialog.
Dialog berbeda dengan monolog karena faktor terdapatnya pihak lain untuk berbicara. Seorang teolog asal Swiss yang bernama Hans Küng berbicara tentang kebenaran monolog yang berhenti pada aspek egologi, yaitu masih berangkat pada aspek subjektifitas (ego).
Maksud ego dalam hal ini adalah kebenaran yang berpusat pada ego atau subyek seseorang. Contohnya adalah ungkapan “aku memiliki pendapat yang benar!”, “pendapat yang saya miliki ini adalah suatu kebenaran mutlak dan tidak dimiliki oleh orang lain!”.
Pendapat yang bersumber dalam diri ini menjadi sebuah klaim kebenaran, yang berujung pada pendapat yang dimiliki orang lain salah atau tidak memiliki kebenaran.
Tentu hasil yang dicapai berbeda dengan dialog yang dicontohkan Sokrates dalam menemukan kebenaran, yaitu kebenaran yang ideal (dunia ide) berkembang tidak dalam pikirannya sendiri, melainkan berkembang melalui proses dialog dengan orang lain melalui pengajuan pertanyaan-pertanyaan kritis.
Menurut para ahli filsafat kebenaran itu sifatnya bertingkat-tingkat, bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain berbeda kualitasnya, ada yang kualitasnya relatif, ada juga kualitasnya mutlak (absolut).
Di lain sisi ada yang menemukan kebenaran secara alami, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal. Mungkin secara garis besar itu semua merupakan bentuk kebenaran duniawi, karena pada hakikatnya kebenaran hakiki adalah kebenaran ilahiyah menurut pembenaran pribadi saya. Bagaimana menurut kalian?, mari kita berdialog.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI