Mohon tunggu...
Ghulam Falach
Ghulam Falach Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar yang selalu ingin belajar untuk mensyukuri fungsi akal sehat

Salah satu praktisi di STTKD Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Representasi Pesan Leluhur "Sluman, Slumun, Slamet" di Masa Pandemi

19 Juni 2020   08:10 Diperbarui: 19 Juni 2020   08:15 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Silaturahim ke kediaman embah Budi (tengah baju putih) pada awal Januari 2020 (foto oleh Ahmad Mustofa dikirim via whatsapp)

sak niki jamane pun berubah mas, totonan urip sami do rusuh, intine mung awak dhewe kudu weruh kawitan lane ling pungkasan, bakale sluman slumun slametpesan Kiyai Ahmad Muhaimin bin Muhtarom atau biasa dipanggil embah Budi saat pertemuan di kediaman beliau sebelum pandemi Covid 19 menjadi trending di Indonesia.

Kiyai Ahmad Muhaimin bin Muharom merupakan sesepuh di desa Mlangi, salah satu tempat di Daerah Istimewa Yogyakarta yang kental akan budaya pesantren. Beliau termasuk rewang urip (anggota kepengurusan) salah satu pesantren di desa Mlangi yang bernama ar Risalah Putera. Sebenarnya bisa saja beliau dipanggil kiyai, namun dikarenakan kerendahan hatinya beliau memilih untuk dipanggil dengan embah (kakek) atau bapak seperti panggilan kepada orang tua pada umumnya.

kulo niki mbiyen preman terminal, mboten pantes diundang kiyai, arep preman opo kiyai seng wonten sak niki kudune mung podo titi, ngastiti, lan ati ati” ucap beliau sedikit bercanda sembari menghisap kretek Djarum 76.

Awalnya pesan yang beliau ujarkan terlihat sedikit aneh karena mengandung perpaduan dua jenis bahasa jawa yaitu ngoko dan kromo, namun tamu yang bersilaturahim di kediaman beliau terlihat memahaminya. 

Sekilas makna yang dapat diambil dari pesan tersebut adalah seiring perubahan zaman banyak terjadi kekacauan tatanan (melupakan Tuhan), hendaknya kita harus lebih memahami diri kita. Preman atau kiyai semua sama saja sebagai manusia, yang harus dilakukan sekarang hanyalah berhati-hati akan setiap detil perbuatan dan pasrah diri kepada Tuhan Semesta Alam agar selamat di dunia dan akhirat.

Berbagai macam upaya telah ditempuh semua lini kehidupan agar dapat survive di masa pandemi Covid 19. Sepak terjang pemerintah dalam menangani keadaan ini patut diapresiasi meski sampai hari ini perkembangan pandemi Covid 19 masihlah terbilang pesat pewabahanya. Dilansir dari laman website kawalcovid.id hingga 18 Juni 2020 jumlah kasus terkonfirmasi mencapai 42.762 orang yang menyebar di seluruh Indonesia. Untuk itu perlu adanya sinergi yang kuat antar individu dalam perjaanan menghadapi bencana ini.

Setelah munculnya kebijakan new normal, terlihat sebagian orang memilih untuk melakukan aktifitas di rumah saja, sebagian lainya kembali melaksanakan kegiatan seperti biasa sesuai protokoler pemerintah. Ada berbagai macam hikmah menarik yang dapat diambil oleh semua orang di masa pandemi ini. 

Hikmah spiritualitas, hikmah berfikir, dan hikmah untuk berhati-hati dalam setiap hal yang dilakukan mungkin termasuk dalam kategori hikmah yang banyak diminati. Dalam artikel ini fokus penulisan tertuju pada hikmah berfikir seiring banyaknya pro dan kontra pendapat yang telah menghiasi kehidupan selama pandemi.

Namun terlepas dari pro dan kontranya pendapat, setiap individu berhak berfikir untuk mensyukuri anugerah Tuhan yang telah diberikan kepada setiap manusia yaitu akal. Bila di masa pandemi ini setiap individu dapat memfungsikan akal secara positif, bisa jadi keadaan ini akan segera membaik meski banyak dari para ahli epidemi yang telah mengikrarkan bahwa pandemi ini akan terus berlangsung bersama kehidupan manusia. Banyak sekali pemikiran-pemikiran yang telah dipaparkan oleh para ahli sebagai sarana untuk lebih merenungi keadaan ini.

Bila berfikir untuk menghadirkan pesan yang diucapkan embah Budi ke dalam keadaan ini mungkin buah hikmah dapat dipetik dari pesan tersebut. Pesan sluman, slumun, slamet merupakan salah satu filosofi orang Jawa terdahulu (leluhur) yang memiliki makna bahwa seseorang harus bekerja keras, kuat, bertanggung jawab, dan pada akhirnya harus tetap pasrah kepada Yang Maha Kuasa.

Bisa jadi para leluhur memandang pandemi ini sebagai suatu “percakapan semesta”, yang menandakan bahwa manusia harus lebih peka, lebih merasa, dan lebih menghargai hukum tatanan alam sebagai penyeimbang kosmis. Maka dari perspektif tersebut, apakah sesat jika dikatakan bahwa pandemi ini merupakan suatu bentuk komunikasi dari Sang Pencipta alam semesta yang menunjukan adanya ketidakseimbangan tatanan kosmis, sehingga seluruh makhluk harus kembali bersinergi menjaga keseimbangan tersebut?

Lalu timbul suatu pertanyaan, bagaimana cara leluhur berkomunikasi dengan Sang Pencipta alam semesta?. Jika menelusuri kembali cara komunikasi yang diwujudkan leluhur, maka perlu dilakukan ulasan mendalam. 

Menurut hemat penulis, bagaimana cara leluhur berkomunikasi dengan Sang Pencipta, hendaknya kembali melihat peristiwa sakral yang umum dilakukan seorang makhluk kepada Sang Pencipta yaitu Sembah-Hyang, sedangkan komunikasi sesama manusia (bagian dari alam semesta) melalui cara mbudayani (berbudaya) seperti adanya adat istiadat slametan, ruwatan, wiwitan, dan lain sebagainya.

Para leluhur erat kaitanya dengan istilah budi dan daya sehingga dari situ melahirkan budaya. Budi secara bahasa mengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar, perasaan, sedangkan daya mengandung makna tenaga, kekuatan, dan kesanggupan. Sekalipun akar kata budaya merupakan imbuhan dari akar kata yang berbeda, dapat dikatakan bahwa kata kebudayaan berhubungan dengan kata budi. Acuan budi sebagai responsi keberadaan akal dalam prespektif leluhur telah mendasari pengambilan sikap leluhur dengan mengatas namakan keseimbangan.

Adanya bentuk keseimbangan merupakan esensi dasar penciptaan manusia yang diciptakan sebagai khalifatullah. Khalifatullah pada hakikatnya tidak mempunyai bekal ketika dilahirkan di dunia selain nur Allah SWT. Untuk itu berulang kali disebutkan dalam al-Qur'an agar kita terus menerus mencari bekal meskipun terkadang harus jatuh karena adanya cobaan (pandemi misalnya) kemudian segera bangkit lagi. 

Khalifatullah harus siap di dalam mengarungi kehidupan dengan berbagai bentuk ujian (mencari hakikat kebenaran). Contoh menjaga keseimbangan di masa pandemi Covid 19 adalah penyeimbangan anomali sakit dengan sifat dasar manusia sebagai khalifatullah yaitu sehat (fitrah). Maka dalam hal ini peran pesan leluhur perlu diingat kembali dan diaplikasikan sebagai salah satu bentuk ikhtiyar demi terwujudnya pitutursluman, slumun, slamet”. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun