Bisa jadi para leluhur memandang pandemi ini sebagai suatu “percakapan semesta”, yang menandakan bahwa manusia harus lebih peka, lebih merasa, dan lebih menghargai hukum tatanan alam sebagai penyeimbang kosmis. Maka dari perspektif tersebut, apakah sesat jika dikatakan bahwa pandemi ini merupakan suatu bentuk komunikasi dari Sang Pencipta alam semesta yang menunjukan adanya ketidakseimbangan tatanan kosmis, sehingga seluruh makhluk harus kembali bersinergi menjaga keseimbangan tersebut?
Lalu timbul suatu pertanyaan, bagaimana cara leluhur berkomunikasi dengan Sang Pencipta alam semesta?. Jika menelusuri kembali cara komunikasi yang diwujudkan leluhur, maka perlu dilakukan ulasan mendalam.
Menurut hemat penulis, bagaimana cara leluhur berkomunikasi dengan Sang Pencipta, hendaknya kembali melihat peristiwa sakral yang umum dilakukan seorang makhluk kepada Sang Pencipta yaitu Sembah-Hyang, sedangkan komunikasi sesama manusia (bagian dari alam semesta) melalui cara mbudayani (berbudaya) seperti adanya adat istiadat slametan, ruwatan, wiwitan, dan lain sebagainya.
Para leluhur erat kaitanya dengan istilah budi dan daya sehingga dari situ melahirkan budaya. Budi secara bahasa mengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar, perasaan, sedangkan daya mengandung makna tenaga, kekuatan, dan kesanggupan. Sekalipun akar kata budaya merupakan imbuhan dari akar kata yang berbeda, dapat dikatakan bahwa kata kebudayaan berhubungan dengan kata budi. Acuan budi sebagai responsi keberadaan akal dalam prespektif leluhur telah mendasari pengambilan sikap leluhur dengan mengatas namakan keseimbangan.
Adanya bentuk keseimbangan merupakan esensi dasar penciptaan manusia yang diciptakan sebagai khalifatullah. Khalifatullah pada hakikatnya tidak mempunyai bekal ketika dilahirkan di dunia selain nur Allah SWT. Untuk itu berulang kali disebutkan dalam al-Qur'an agar kita terus menerus mencari bekal meskipun terkadang harus jatuh karena adanya cobaan (pandemi misalnya) kemudian segera bangkit lagi.
Khalifatullah harus siap di dalam mengarungi kehidupan dengan berbagai bentuk ujian (mencari hakikat kebenaran). Contoh menjaga keseimbangan di masa pandemi Covid 19 adalah penyeimbangan anomali sakit dengan sifat dasar manusia sebagai khalifatullah yaitu sehat (fitrah). Maka dalam hal ini peran pesan leluhur perlu diingat kembali dan diaplikasikan sebagai salah satu bentuk ikhtiyar demi terwujudnya pitutur“sluman, slumun, slamet”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H