Mohon tunggu...
Moh. Ali Ghufron
Moh. Ali Ghufron Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tetesan Darah Sedarah

5 April 2020   01:02 Diperbarui: 5 April 2020   01:08 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TETESAN DARAH SEDARAH
Oleh  : GHUFRON AL-BATTAR

Malam mulai melasat hilang meninggalka gubuk-gubuk tua yang mulai rapu dimakan usia, meninggaln ribuan  tetes air bening di rumput ilalang. Di kejauhan sana burung-burung bernostalgia menyambut jubah kehangatan dunia. Eppak baru saja keluar dari dalam rumah,sebuah celurit tersanggul dibelakang punggungnya. Eppak memang tidak pernah lupa, setiap pagia selalu mencarikan rumput untuk sapi kesayangannya.

Ketika semua sudah siap, aku keluar dari dalam rumah dengan baju warna putih, celana merah, sepatu warna hitam, kaos kaki hitam putih, dan sebuah tas yang tergantung pada dua bahuku. Tak lupa pula aku pamit pada Emmak, yang sedang menyapu di teras rumah.

"Mak Aku berangkat dulu ya, Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam, hati-hati dijalan." Selesai aku mencium tangan emak, kulangkahkan kaki menjauh dari pelataran rumah. Udara yang begitu segar, persawahan, kebun tebu terpampang dikanan kiriku. Tak terasa aku sudah sampai di depan pintu gerbang sekolah. Mungkin sekitar lima langkah aku meninggalkan gerbang sekolah, terdengal suara  bel yang menggema diarea sekolaha, pertanda jam masuk akan dimulai.

"Assalamualaikum." Ucapku saat saat baru sampai di rumah, ternyata tak ada jawaban. Mungkin Emak lagi ada di belakang pikirku. Saat aku memasuki rumah ternyata Eppak sedang ada tamunya. Tanpa disuruh aku mencium tangan Eppak dan tamunya.

"Cong, perkenalkan ini namanya Juder. Kamu bisa memanggilnya  dengan sebutan Pak Juder." Cong, panggilan akrab Eppak kepadaku, Eppak lebih sering memanggilkuu seperti itu dari pada namaku, yaitu soheb.

"Pak saya  ke kamar dulu, mau mengganti seragam sekolah. Mari Pak Juder." Mendengar perkataanku Pak Juder agak sedikit terkejut. Sejak aku masuk Pak. Juder selalu memperhatikanku. Aku tidak tahu kenapa.

Hari minggu telah tiba. Seperti biasa Eppak sudah siap untuk mencari rumput di sawah, sebelum Eppak keluar dari pagar rumah, tiba-tiba Pak Juder datang menghampiri Eppak. 

Aku tak bisa mendengar pembicaraan mereka berdua. Tak lama setelah itu, kulihat mata Pak. Juder memerah sepertinya Pak Juder sangat marah, karena  penasaran aku keluar menuju kehalaman rumah. Eppak dan Pak Juder mentap kearahku, saat menyadari aku berada didepan pintu rumah. Aku tidak menghiraukan tatapan mereka berdua. Aku  berjalan menuju posisi mereka berdua.

"Bersiaplah sampean Ri, nanti sore aku akan mengabulkan apa yang kamu inginkan." Itulah kata terahir yang Pak Juder ucapkan, lalu dia pergi meninggalkan Eppak, sebelum aku menanyakan apa yang terjadi, Eppak juga pergi meninggalkanku. Satu persatu pertanyaan mulai membayangi pikiranku.

Tepat jam 10.30 Eppak baru datang dengan membawa rumput. Tak biasanya Eppak datang cepat sekali. Emmak menyambut kedatangan Eppak dengan mencium tangan Eppak. Aku tetap berada didalam kamar sambil mengamati Eppak dan Emmak dari salah satu celah dinding kamarku, 

karena dinding kamarku terbuat dari anyaman bambu yang disusun dengan rapi. Aku lihat Emmak sangat terkejut saat Eppak mengatakan sesuatu. Aku tak tahu apa yang dibicarakan Eppak dan Emmak karena kamarku dengan ruang tamu agak sedikit jauh.

"Hey, Mat Behri, kaloar sampean!" Suara itu membangunkanku dari mimpi yang begitu indah, jambeker disampingku menunju angka15.34.

"Hey, kaluar sampeyan, kalau sampean memang laki-laki!" Suara itu kembali mengagetkanku. Aku langsung mengintip dari celah jendela kamar. Ternyata Pak Juder yang berteriak di halaman rumah, dengan sebilah celurit yang terangkat diatas kepalanya, sedikit ada kilauan dari celurit tersebut, sangat tajam. 

Tidak lama kemudian Eppak keluar dari dalam rumah dengan celurit yang telah tergantung ditangan kirinya, ternyata celurit itu adalah sangkolan dari kakek yang kelak akan diturunkan kepadaku, kata Eppak dulu. Dalam hati aku bertanya mau apa mereka berdua. Kupandang mereka lebih tajam dengan perasaan yang tidak enak.

"Ri, aku akan mengabulkan keinginanmu sekarang!" Bentak Pak. Juder.

"Aku takkan pernah takut melawan siapapun demi membela keluargaku sendiri, walau nyawa sebagai taruhannya." Setelah Eppak berkata seperti itu, Pak Juder berlari menuju Eppak. Sebuah sayatan menghampiri Eppak, dengan sigap Eppak menghindari sayatan celurit Pak. Juder. 

Terdengar dentingan celurit yang kemudian  disusul dengan cipratan api akibat dua celurit yang saling beradu. Eppak terus melayangkan serangan, hingga bahu Pak Juder terkena sabetan celurit Eppak, Pak. Juder merintih kesakitan, dia mundur sedikit kearah belakang, dengan mata yang masih menatap tajam kearah Eppak. 

Tak berselang lama Pak Juder bangkit kembali, dia tidak menghiraukan rasa sakit yang dialaminya. Eppak terus saja menyerang Pak Juder, tanpa memperhitungkan serangan yang akan dilancarkan Pak Juder. Sedikit demi sedikit Pak Juder mulai membangun serangan. Pak Juder semakin membabibuta,

"Classss..." Celurit Pak Juder mengenai perut Eppak.  Darah segar mulai mengalir dari tubuh Eppak.

"Tolong...tolong...tolong, ada orang carok." Teriak Emmak yang langsung kelur dari dalam rumah. Pak Juder tidak menghiraukan teriakan Emmak tersebut. 

Hingga celurit Pak Juder bersarang di leher Eppak, seketika itu juga Eppak terjatuh dan tak bergerak lagi. Sepontan aku berlari menuju halaman rumah, saat aku keluar dari dalam rumah ternyata Pak Juder sudah diamankan oleh warga, dan Eppak dibopong kedalam rumah, darah segar keluar di sekitar tubuh Eppak, aku bingung harus melakukan apa Aku tetap berdiri termenung di halaman rumah, sungguh aku tak tega melihat tubuh Eppak yang penuh dengan darah, rasa sakit yang dialami Eppak seakan aku juga merasakannya. Saat aku tersadar dari lamunanku, aku melihat celurit Eppak yang tergeletak disampingku seketika itu juga kata-kata Eppak terngiang dalam ingatanku.

"Heb, celurit ini sangkolan dari kakekmu yang diberikan kepada Eppak, untuk menjaganya dan menggunakannya. Dan saat besar nanti Eppak akan turunkan celurit ini pada kamu Heb, dan kamu harus menjaganya sebagaimana yang Eppak lakukan." 

Kulihat lagi celurit Eppak yang masih tergeletak disampingku. Lalu aku beranikan untuk mengambilnya, tangan ku bergetar saat menyentuh celurit yang sudah berlumuran darah. kuangkat celurit Eppak ke atas kepalaku.

"Aku bersumpah, demi celurit sangkolan Eppak. Saat besar nanti akan aku balaskan dendam Eppak."

"Mak, Soheb mau berangkat bekerja dulu." Ucapku setelah semua barang yang ingin kubawa telah siap.

"Hati-hati dijalan cong." Jawab Emmak singkat. Setelah kucium tangan Emmak segera kutinggalkan Emmak. Ditengah perjalanan aku bertemu dengan seseorang yang sangat aku tunggu-tunggu dari dulu.

 "Ooo... rupanya kau telah bebas dari dalam penjara." Gumamku dalam hati. Kini dendamku berkobar lagi. Dendam yang telah tiga belas tahun kupendam. Tak dapat kutahan lagi. Dengan segera, Aku kembali menuju rumah. Tanpa sedikitpun menjawab pertanyaan Emak, aku melangkah menuju sebuah ruangan tempat biasa aku bercumbu sendiri. Aku segera membuka lemari yang sudah tua. Celurit sangkolan Eppak sudah ada ditanganku.

"Hey..... Juder keluar kau, Mati kau sekarang." Ucapku dengan lantang, setelah sampai di depan rumah Pak. Juder, tak lama kemudian pak. Juder keluar dari dalam rumahnya, dengan sebilah celurit terpegang rapi ditangan kanannya.

"Kau yang telah membunuh Eppak, maka sekarang aku yang akan memisahkan kepala itu dari tubuhmu." Itulah gertakan yang keluar dari mulutku, tanpa menunggu komentar, aku berlari dengan celurit yang sudah siap mencari mangsanya. Celuritku semakin liar untuk memotong leher Pak Juder. Saat aku mempunyai kesempatan untuk menebas leher Pak Juder, aku kerahkan semua tenagaku untuk melayangkan celurit sangkolan Eppak ke leher Pak. Juder. Tapi, tebasanku selalu mengenai angin kosong.

"Hentikan cong aku ini adalah ep..." Sebelum Pak Juder menyelesaikan kata-katanya celuritku telah menebas lehernya dan darah segarpun muncrat dari leher Pak Juder. Kepala Pak juder terlepas dari lehernya, kemudian jatuh tak jauh disampingku, dengan seketika tubuh Pak Juder ambruk. Tiba-tiba Emmak berteriak memanggilku.

"Soheb...!" Ucap Emmak sambil meneteskan air mata.

"Heb, apa yang telah kamu lakukan pada Pak Juder?"

"Aku ingin membalas apa yang telah dia lakukan pada Eppak."

"Baiklah Emmak akan memberitaukan sesuatu yang telah Eppak dan Emmak sembunyikan dari mu." Emmak menarik nafas panjang lalu meneruskan kata-katanya.

"Sesungguhnya Pak Juder itu adalah Eppakmu yang asli." Mendengar perkataan Emmak aku sangat terkejut.

"Kejadian ini bermula saat istri Pak. Juder melahirkan. Untung bayinya selamat tetapi istri Pak Juder tidak bisa diselamatkan. Setelah istri Pak Juder dimakamkan kamu dititipkan kepada kami karena Pak Juder mau pergi keluar negeri. Saat kamu menginjak umur sebelas tahun dan pada waktu itu kamu masih kelas enam SD, Pak Juder datang, mau mengajak kamu pergi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolah disana. 

Tapi, Eppakmu tidak membolehkannya karena dia telah menganggap kamu sebagai anaknya sendiri. Eppakmu berani mengorbankan nyawanya demi untuk mempertahankan kamu. Akhirnya Pak Juder menjadi marah dan dia akhirnya membunuh Eppakmu." Sungguh aku tak percaya dengan semua ini.

"Brakkk" Tubuhku ambruk.

NB :
Eppak = adalah bahasa madura yang memiliki arti Ayah
Emmak = adalah bahasa Madura yang memiliki arti Ayah
Cong = lebih tepatnya Kacong sebuah panggilan bagi anak-anak Madura
Sangkolan = bahasa Madura yang bisa diartikan peninggalan atau juga pemberian sesepuh

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun