Mohon tunggu...
M. Hilmy Al Ghifari
M. Hilmy Al Ghifari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Mahasiswa Airlangga 2023 Program Studi Ilmu Hubungan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sosial Media: Pembunuh Hati Nurani Masyarakat

2 Juni 2024   20:31 Diperbarui: 2 Juni 2024   20:35 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena video-video di sosial media yang semacam itu, akhirnya ketika netizen disodorkan dengan fakta sejarah dan politik pengungsi Rohingya, mereka tidak lagi merasa prihatin. Hati nurani mereka tidak lagi tergerak untuk menyuarakan bantuan dan keprihatinan untuk pengungsi Rohingya. Mereka malah terpolarisasi dalam kubu-kubu antara yang menyalahkan pihak yang membela pengungsi Rohingya dengan pihak yang meminta agar pengungsi Rohingya diusir.Padahal, serupa juga terjadi saat awal persekusi warga rohingya.  pada tahun 2016,  Facebook adalah sosial media yang terkemuka.  Akses ke internet warga Myanmar tidaklah bebas dan Facebook saat itu hanya sebatas alat untuk menghubungkan keluarga dan tetangga. Pemerintah Myanmar memanfaatkan alat Facebook ini Dengan menyebarkan beberapa berita versi Myanmar untuk disebarkan ke beberapa daerah.  berita-berita yang disebarkan oleh pemerintah Myanmar berisi tentang kejahatan-kejahatan militan yang ada di provinsi Rakhine  dan menggunakan kata-kata  yang menggambarkan seakan militan itu didukung oleh warga rohingya dan warga rohingya berniat untuk membunuh seluruh masyarakat Myanmar. Para keluarga- keluarga yang ada di Myanmar akhirnya menerima berita itu Entah dari tetangganya atau dari rekannya.

Hasilnya,  Seluruh warga Myanmar mengekspresikan kebencian yang sama terhadap warga Rohingya  berita-berita serupa juga dibagikan oleh para ultranasionalis di Myanmar meningkatkan rasa sentimen kebencian terhadap orang Rohingya.  warga Myanmar akhirnya tak acuh kepada situasi yang terjadi di rohingnya ketika militer dan polisi Myanmar mulai membunuh sembarangan para warga Rohingya,  hati nurani mereka  tidak berfungsi karena tertutupi berbagai macam pemikiran yang mengarahkan ke arah kebencian tidak ada pikiran bahwa yang dilakukan oleh militer mereka itu salah dan banyak orang yang sedang dibunuh.  Pemerintah Myanmar sendiri  berkomentar bahwa mereka tidak mengetahui sedang ada pembunuhan massal di salah satu provinsi mereka meskipun sudah diberitakan ke beberapa media berita internasional.

Kasus-kasus di atas dan kasus serupa adalah contoh bagaimana media sosial dapat  dijadikan senjata bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab.  Semua penjuru dunia di manapun itu dapat terpengaruh oleh propaganda propaganda yang disebarkan di sosial media. Video-video dan berita seperti itu memanfaatkan teknik untuk merusak hati nurani umat manusia. Teknik yang andal untuk membela Kejahatan terhadap manusia adalah teknik “dehumanisasi”. Teknik ini bekerja dengan memutarbalikkan fakta tentang suatu etnis tertentu agar Mereka terlihat sebagai etnis yang mundur yang tidak bisa dianggap manusia karena perlakuan mereka yang tidak manusiawi meskipun hanya satu atau dua orang yang melakukan kejahatan, fakta diputarbalikkan seakan-akan kejahatan itu sudah menjadi  budaya dari etnis itu sehingga mereka tidak berhak untuk diperlakukan sebagai manusia.

Teknik dehumanisasi ini memanipulasi hati nurani  dengan memutar balikkan fakta. Saat para warga Myanmar membiarkan genosida terhadap salah satu etnis di negaranya terjadi,  mereka  bukan tidak memiliki hati nurani tetapi hati nurani mereka  ditutupi dari kejahatan yang sedang terjadi.   hal yang sama juga terjadi saat warga rohingya memasuki Indonesia dan mahasiswa di sana memilih untuk mengusir  orang-orang rohingya dari Aceh,  para mahasiswa itu juga memiliki hati nurani tetapi  hati nuraninya lebih mementingkan daerah lokalnya dan dimanipulasi  untuk melihat warga rohingya sebagai ancaman terhadap keamanan mereka.  teknik manipulasi ini bukan bertujuan untuk menutupi hati nurani melainkan memanfaatkannya untuk memajukan sebuah kegiatan tertentu sehingga hati nurani yang seharusnya digunakan untuk kebaikan  dirusak dan dimodifikasi sedemikian rupa agar menganggap melakukan kejahatan adalah sebuah kebaikan.

Kasus denominasi banyak terjadi di dunia dalam era modern ini.  kasus ini menjadi anomali di tengah majunya ide-ide liberalis dan tren yang menunjukkan penguatan terhadap hak asasi manusia hal seperti ini   sayangnya  masih bisa terjadi.  tidak hanya terbatas di daerah Asia Tenggara saja,  banyak daerah-daerah dan etnis yang mengalami diskriminasi seperti  yang dialami  oleh warga rohingya seperti  orang-orang Palestina dan juga mendapatkan perlakuan yang sama oleh pemerintah Israel yang menyebarkan sentimen kebencian terhadap etnis Palestina, hingga membunuh mereka adalah hal yang normal. Dengan banyaknya kasus yang terjadi di dunia,  muncullah pertanyaan: Bagaimana sosial media dapat menanggapi masalah ini, dimana  platform yang seharusnya digunakan untuk menghubungkan dunia malah mengasingkan salah satu bagian dari dunia ini? 

Kebebasan berpendapat atau Tanggung Jawab berpendapat?

Sosial media dikenal sebagai tempat untuk mengutarakan pendapat secara bebas.  Banyak sekali situs-situs yang berhati-hati dalam menjaga anonimitas penggunanya.  Hal ini membawa sisi positif dan juga negatif,  positifnya,  semua orang di dunia mempunyai platform dimana mereka bisa mengutarakan pendapat mereka tanpa harus terkena konsekuensi di dunia nyata sehingga banyak sekali ide-ide yang tersebar di dunia modern ini dan dapat memajukan ilmu pengetahuan. Negatifnya,  anonimitas ini juga melindungi pengguna yang menyebarkan ide-ide negatif  hingga terjadi sebuah insiden seperti genosida rohingya yang sudah dibahas.  Hingga saat ini,  tidak ada solusi yang sempurna untuk menyelesaikan dilema kebebasan berpendapat  namun beberapa negara mencoba menyelesaikan dilema ini dengan cara yang karakteristik dengan negara mereka.

Indonesia mendirikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk  mengendalikan sentimen negatif dan  gagasan-gagasan yang berbahaya. KPI dikenal di Indonesia sebagai “lembaga sensor” yang bertugas memberi keamanan kepada rakyat Indonesia di sosial media.  KPI mengamankan sosial media Indonesia dengan memberi sanksi kepada oknum-oknum yang  menyebarkan ide-ide kebencian atau yang berbahaya.  KPI tidak sempurna,   lembaga tersebut lebih mementingkan pemerintah dan elit internal daripada masyarakat umum apalagi masyarakat luar negeri. Kasus Rohingya membuktikan bahwa KPI tidak bertindak kecuali jika ada laporan dari masyarakat.

Terlepas dari adanya komisi penyiaran, semua isi konten tentang wacana dan pemikiran sesungguhnya merupakan tanggungjawab dari sang konten kreator. Konten kreator harus sadar bahwa isi konten yang dibuatnya membawa pengaruh yang luas kepada masyarakat. Konten kreator harus memperhatikan norma dan etika saat menciptakan konten yang akan diunggah ke sosial media. Banyak konten kreator yang sebenarnya membuat konten tidak semata-mata untuk menyebarkan edukasi, melainkan demi monetisasi dari penyedia sosial media. Tidak dipungkiri monetisasi sosial media seperti dalam TikTok dan Facebook adalah sesuatu yang menggiurkan. 

Di Indonesia sendiri saat ini banyak bermunculan orang kaya baru atau miliuner baru dari golongan generasi muda yang mendapatkan monetisasi dari konten yang diunggahnya di sosial media. Namun hal ini seharusnya tidak menjadi satu-satunya tujuan dari sang konten kreator. Konten kreator atau user sosial media hendaknya berpikir panjang terhadap dampak yang bisa ditimbulkan dari konten yang dia buat. Dalam hal ini tentu saja sekali lagi hati nurani seharusnya menjadi panglima dalam menentukan isi konten. Apalgi jika konten tersebut menyangkut hajat hidup sebuah kaum seperti bangsa Palestina dan warga Rohingya yang sudah jelas-jelas mengalami penderitaan. 

Jika kita berbicara mengenai kebebasan berpendapat, mungkin kebanyakan orang akan mengatakan bahwa namanya bebas berarti menjadi hak dia untuk berbicara apa saja menyuarakan isi pikiran dan hatinya. Namun seharusnya setiap kita harus sadar bahwa disamping hak kita ada hak orang lain yang juga harus dihormati. Ketika seseorang mengemukakan pikirannya, ada cara-cara yang baik yang bisa dilakukan tanpa merampas hak orang lain dan tanpa mengenyampingkan hati nuraninya. Bebas bukan berarti tanpa batas. Norma dan nilai serta hati nurani seharusnya menjadi panduan untuk menciptakan wacana yang berisi tentang isi pikiran kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun