Mohon tunggu...
Chaidir Ali
Chaidir Ali Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Retorika : Aksiologi, Edukasi, dan Nurani

23 Desember 2018   14:50 Diperbarui: 27 Desember 2018   02:47 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuhan dihilangkan dari segala bidang, termasuk ekonomi, politik, pendidikan, dan seni. Pada saat yang sama, nilai-nilai agama diabaikan. Karena hampir semua sistem nilai tradisional didasarkan pada agama, pandangan tentang nilai yang kehilangan basis keagamaannya tidak bisa tidak menurun. Materialisme, ateisme, dan terutama Komunisme merembes ke mana-mana. Komunisme telah bekerja untuk memecah orang menjadi dua kelas dan kemudian memicu konflik antara kelas-kelas itu dengan meningkatkan rasa tidak percaya dan menyebarkan permusuhan di mana-mana. 

Konflik di antara agama dan filsafat sendiri mempercepat keruntuhan nilai-nilai. Nilai-nilai yang ada telah ditetapkan atas dasar berbagai agama dan filsafat. Karena itu, jika ada pertentangan di antara agama-agama dan di antara filsafat-filsafat, orang itu akan terjerumus untuk menganggap nilai-nilai ini hanya relatif. 

Mampu berpikir, memahami, dan bertindak  pada dasarnya kita akan merasa baik pada diri kita sendiri, pengalaman kita, dan mereka, karena kita memahami secara naluriah bahwa energi yang diciptakan adalah energi yang meningkatkan dan memperkaya orang sekitar. Dan jika pengalaman pendidikan dianggap sebagai estetika, maka harus ada komitmen yang dibagikan oleh semua yang terlibat untuk semua menjadi manusia yang lebih bijaksana, sadar dan mampu.

Kita harus melihat untuk menemukan sifat sejati kita karena ada banyak hal yang dapat ditemukan dalam estetika di kehidupan yang dapat dipahami atau dikenali. Karena kita semua adalah bagian dari alam, kita juga memiliki potensi unik yang masing-masing dimiliki individu. Potensi ini adalah potensi kreatif tanpa batas, yang hanya setara dengan potensi destruktif kita. Itulah mengapa menemukan identitas kita adalah langkah penting untuk menemukan potensi kita. Tidak hanya potensi tetapi juga tanggung jawab yang terkait dengan itu. Dan Tugas kita adalah skeptis, kritis, dan menelaah.

Jadi, bagaimana kita akan belajar? Duduk diam di meja, mata waspada, dan bibir membeku? ditekan oleh aksiologis formalitas dan mengikuti aturan dan menghindari serangan? 

Atau apakah Anda akan keluar ke jalan-jalan memijakan kaki protes di tengah-tengah kerumunan yang padat dan cuaca yang menghantam, atau berbicara dalam kamar sempit tentang masa depan, atau di sebuah studio mini melantunkan seebuah lirik lagu, atau berkutik dengan bahasa komputer dan perangkat lunak mencoba menciptakan sesuatu yang baru?



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun