Hujanlah Hujan
hujan tidak 'kan mampu
menghapuskan sebuah kerinduan.
padahal baru saja
'ku rasakan perjumpaan,
sekilas hanya,
dan berakhir dengan perpisahan.
aku harus menembus hujan,
kedinginan.
aku harus merelakan
sebuah kehangatan hilang,
untuk dirindukan,
untuk ditinggikan,
menjadi rasa kasih sayang.
hujanlah hujan!
biar tubuhku menggigil kedinginan,
tapi rinduku tetap dalam kehangatan,
kasih sayangku semakin dalam,
walaupun kata tidak mengucapkan,
hati sajalah yang merasakan.
(Trenggalek, 7 Maret 2015)
Â
Menanti Tanggal 8 Menjadi
menanti tanggal 8 menjadi,
hari 'kan berganti,
usianya akan menjadi dini,
yang tua akan mati,
dilalui.
waktu terus berganti.
ia tidak mau kembali.
ia tidak akan menyesali.
walaupun semuanya mengutuki.
lihatlah dirimu sendiri!
(Trenggalek, 7 Maret 2015)
Â
Selamat Pagi, Waktu Berganti
tapi matahari masih jauh nanti.
gelap masih menyelimuti.
manusia tidur tidak menyadari
hari telah berganti.
terus-menerus berganti.
manusia tidak akan mampu menyudahi.
manusia tidak tahu kapan mulai.
waktu tiba-tiba saja telah berdetak
tak ingin berhenti.
waktu hanya sendiri.
semuanya hanya akan mati.
selamat pagi,
terima kasih waktu,
kau yang telah 'ku arungi.
hidupku akan berlalu,
dan aku bersiap menuju mati.
(Trenggalek, 8 Maret 2015)
Â
Semua Ada Dalam Mimpi
bermimpi lagi,
semuanya berkumpul di sini,
di rumah yang masih angkuh berdiri,
tapi mati. tubuhku menempati
tapi jiwaku telah mengembara
jauh dari bumi.
ibu-bapak,
dan ketiga saudara kandungku,
semuanya ada,
semuanya menemani,
semuanya bersuka,
semuanya berbahagia
seperti di dalam surga,
sungguh tiada nestapa.
tiada lagi kesepian yang berjaga,
tiada kesunyian bercanda,
tiada derita dalam jiwa.
namun itu mimpi.
tapi tetap saja aku ingin,
kebahagiaan itu yang abadi,
kenikmatannya hakiki,
juga untuk mereka semua
yang 'ku cintai.
(Trenggalek, 9 Maret 2015)
Â
Setengah Edan Sendirian
membosankan lagi menyedihkan
bila kebiasaan dijadikan alasan
untuk melegalkan kesalahan,
menjauhkan kebenaran.
sialan!
tapi, aku hanya diam,
aku sekedar memandang,
aku cuma memikirkan
hingga kepala pusing tak karuan
sampai aku setengah edan,
edan sendirian.
kenapa kalian juga diam.
apakah kalian juga memikirkan.
ataukah kalian suka membiarkan
kebenaran diragukan.
takutkah kalian dengan keterasingan,
dibuang bersama caci dan makian,
dipandang dengan jijik
seperti tahi kewan.
dibungkam
dengan mengatasnamakan kemanusiaan.
dipaksa diam atas nama Tuhan.
bajing**!
aku tak sanggup menyuarakan
perbuatanku masih ketiadaan.
nyatanya, aku takut dihinakan,
direndahkan seperti babi dalam
lumpur berkubang.
aku hanya sanggup untuk diriku.
aku tak sanggup menyentuh selainku.
aku sanggup berbeda dalam diamku
walau harus terkubur dalam sepiku.
(Trenggalek, 10 Maret 2015)
Â
Dini Hari Gelap Membayang
Â
pukul 03.38 listrik padam
dan gelap pun menggerayangi
pemandangan.
hujan di luar menyajikan
aura kesepian, menakutkan,
karena yang terlihat hanyalah hitam.
gemericik terdengar mengerikan.
tapi, guruh bergemuruh mengingatkan;
pagi akan datang menjelang.
baiknya dijagalah kesadaran
karena waktunya akan segera datang,
bersembahyang, bersujud menghadap tuhan,
melepaskan ketakutan pada kefanaan,
pada dunia yang tak berkekalan.
jiwa yang suci berkelindan,
keemasan,
bersiap menyambut kemenangan.
jam 03.48
selesai ditulis dalam kantuk yang tertahan.
seharian tidak tidur memaksakan.
mata tiada terpejam menurutkan
kata-kata sebuah kisah yang terceritakan
dalam rangkaian yang terbukukan.
(Trenggalek, 11 Maret 2015)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H