Semuanya, nasib manusia satu dengan yang lainnya, nasib suatu daerah dengan daerah lainnya, telah dikodratkan seiring dengan waktu yang berjalan.Â
Kepercayaan terhadap kepastian kodrat ini membuat manusia lebih tenang sehingga tidak terjebak ke dalam jurang penyesalan yang dalam ketika gagal meraih suatu tujuan. Tetapi jika kepercayaan tersebut membabi buta sampai menihilkan usaha, maka akibatnya adalah pembodohan yang berlanjut kepada suatu penindasan yang direlakan.
Bait Keempat, Kelima dan Keenam
Dan tatapan mata hati
Mudah berbalik pandang di kehidupan
Kadang bagai malaikat
kadang khianat, umbar nafsu serakahnya
Bait IV ini menceritakan tentang hati manusia. Hati manusia ini diibaratkan memiliki mata sehingga mampu menatap. Maksudnya adalah hati itu mampu menunjukkan atau membedakan antara yang baik dan buruk, antara yang salah dengan yang benar.Â
Tetapi di dalam kehidupan, hati manusia seringkali mudah berbalik pandang. Hati manusia seringkali goyah, kadang ia cenderung kepada kebaikan dan kebenaran, kadang juga ia terjebak atau bahkan sengaja menyesatkan diri sendiri ke dalam keburukan dan kesalahan.Â
Ketika dalam kebaikan dan kebenaran, hati itu bagaikan malaikat yang dikatakan sebagai makhluk yang sangat taat kepada Tuhan. Malaikat selain simbol ketaatan juga merupakan simbol hati nurani yang mengarahkan diri manusia kepada kebenaran dan kebaikan. Namun manusia dan hatinya bukan malaikat sehingga terkadang berkhianat.Â
Terlebih lagi pada saat dihadapkan pada kepentingan dunia yang bertumpu pada dua hal, yaitu harta dan tahta. Nafsu seringkali mengumbar keserakahan tanpa kendali. Jika sudah begitu segala cara akan digunakan untuk meraih tujuan. Bahkan, jika cara tersebut adalah cara yang buruk dan kejam seperti menipu, merampas, dan membunuh.
Itulah yang tampak dalam kehidupan manusia di zaman ini. Kemunafikan adalah hal yang lumrah. Orang-orang berpikir bahwa munafik itu diperlukan untuk bertahan hidup.Â