Mohon tunggu...
Ghofiruddin
Ghofiruddin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis/Blogger

Seorang pecinta sastra, menulis puisi dan juga fiksi, sesakali menulis esai nonfiksi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jika Kau Ingin Bicara: Asu!

15 November 2021   16:59 Diperbarui: 15 November 2021   17:46 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh form PxHere

Jika kamu ingin bicara, maka mulailah. Aku hanya ingin berbaring di sini, di atas sebuah kasur yang keras, yang ranjang kayu tuanya akan bersuara kereket setiap kali tubuhku berpolah. 

Aku hanya ingin menikmati kegelapan di kamar ini, berpura-pura menjadi seorang pemurung yang sedang patah hati, yang baru saja ditinggalkan kekasihnya saat badai angin topan serta derasnya hujan pertama kali menghantam tanah di luar yang kersang, hingga tetesan-tetesan air yang liar mentahbiskan sebuah celah di antara tatanan genteng yang tidak terlalu rapat; bocor yang menggelisahkan kedalaman. 

Aku hanya ingin diam di sini, berbaring, sembari memandang tirai berwarna hijau yang menghambat laju cahaya kelabu di luar yang hendak menerobos ke dalam sebuah ruangan yang semerbak dengan bau minyak kayu putih. Aku ingin mendengar remang-remang suaramu yang tengah membaca kitab suci, meskipun tidak ada yang bisa kudengarkan dan bisa kusimak dengan seksama setiap makna yang terlafalkan di antara bibir-bibir yang terkatup. 

Nada tidak akan bisa tercerna, dan irama telah terbiaskan oleh rinai hujan di luar dan oleh gelegar guntur yang berceloteh tentang gertakan-gertakan purba yang dulu disalahkaprahi sebagai kutukan para dewa. 

Namun, tampaknya kau sedang tidak ingin bicara, dan tampaknya aku tadi telah salah menduga. Kelebatan tubuhmu tadi sempat mondar-mandir di bibir pintu kamar, dan aku mengimajinasikan dalam terpejamku seolah-olah kamu sedang mengawasi deraan napasku yang hening, atau mengamati gerak-gerik tubuhku yang paling terasing. 

Saat itu, aku mulai berharap kau untuk bicara dan mengajakku keluar untuk membeli makanan-makanan dan minuman-minuman ringan di sebuah toko yang dijaga oleh seorang perempuan cantik yang hanya bisa kuimajinasikan setelah mendengarkan cerita-cerita dari lisanmu. 

Rambutnya panjang sebahu, dan tentang wajahnya yang kudus, aku hanya bisa menempelkan seraut wajah seorang aktris bernama Angela. Dia sering nongol di layar kaca televisi yang mulai usang dengan ketidakpiawaian dalam mengikuti kompleksitas spontanitas yang terskenario. 

Dan, bukan suaramu yang mulai menguarkan kata-kata. Kau berlalu untuk melihat ke sekeliling pada saat berita kematian disiarkan dari sebuah corong di sebuah masjid. Tetangga sebelah yang kita tidak tahu rumahnya, mati. Dan, untuk itu kau sibuk berjalan menuju pintu depan untuk menutupnya rapat-rapat. Kau tidak menerima tamu. Kau tidak menerima undangan. Kau tidak akan hendak menyumbangkan doa yang terseragamkan dalam lingkaran-lingkaran yang tidak pernah terapatkan. 

Sedangkan aku, pikiranku tiba-tiba berkelebatan dengan skenario-skenario tentang kematian seperti apa yang akan menimpaku kelak. Skenario pertama, mungkin aku akan mati di sebuah tempat yang jauh dan asing, yang pada waktu tertentu pemandangan tanah di sekeliling akan begitu putih, memantulkan cahaya dari langit kelabu yang terang-terangan merintikkan bongkahan-bongkahan dingin yang mengujurkan sensasi rasa malas untuk memandikan mayatku. 

Saat itu, cukup minyak kayu putih atau minyak telon sebagai pewangi tubuhku, dan sebuah tatapan sendu dari jarak 1234567890 kilometer yang mereka-reka tentang sebuah bayangan di dalam pikiran, tubuh yang hendak disemayamkan di dalam sebuah kebakaran yang jalang, yang menghancurkan dan meluluhlantakkan seluruh daging dan tulang belulang yang tidak mungkin lagi bergetar oleh rekayasa-rekayasa rongsokan. Ia telah menjadi abu-abu halus dan asap-asap darinya menyatu di dalam udara untuk bertemu sekawannya yang paling satu. 

Skenario kedua, aku mati di sini, di tempat ini, di kamar ini, di ranjang dan di kasur ini, tanpa seorang pun mengetahui. Kau dan orang-orang lain yang berlalu lalang hanya menganggapku sedang tidur dan tengah mengaktifkan sebuah mode hibernasi seperti beruang kutub, yang saat terbangun bukanlah musim salju yang telah berakhir dan berganti dengan musim semi yang akan terlihat. 

Yang terlihat adalah sebuah kekalahan yang penuh, kekalahan yang dipenuhi dengan bau busuk duka yang ditampilkan di atas sebuah panggung sandiwara mini dari gawai-gawai yang bertebaran dan berserakan di muka bumi dan di muka pancaran-pancaran raut muka yang terdistorsi. 

Sebuah berita heboh menyebar bak virus yang menginfeksi kesadaran manusia: #Misteri Kematian Terpecahkan, dan kau hanya akan memunguti kepingan-kepingan pecahan tersebut untuk kau susun kembali dalam sebuah proyeksi yang akan segera terlupakan. 

*** 

Jika kamu tidak ingin bicara, maka menjauhlah sejauh-jauhnya dari ruangan yang gelap ini. Aku sempat tertidur dengan nyenyak selama beberapa saat, tampaknya; sempat pula mati pikiranku dengan terlalu banyaknya informasi yang beredar tanpa dipahami dan dicerna hanya untuk dibuang di sebuah lubang anus kesadaran. 

"Menuju ke mana?" tanyaku. 

Jawabku,"Menuju ketiadaan? Atau menuju sebuah keberadaan atau kesadaran lain yang masih belum diketahui? Yang pengetahuan tentangnya hanya berupa hipotesa yang terburu-buru dijadikan fakta dan keyakinan yang disembah dengan serta merta?" 

"Untuk menjadi sandaran yang bermakna, mungkin? Ketidakpastian terlalu menakutkan, mungkin? Atau demi ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang mungkin hendak dilampaui?" 

"Mungkin." 

Dan demi kemungkinan yang masih samar, dari keadaan terbaringku, aku mencoba untuk menilik kembali keberadaanmu di luar yang tengah berdiri di depan rak buku, menatapi judul-judul buku dan nama-nama penulis atau pengarang yang tercantum di punggung-punggung buku yang ringkih, yang lembaran-lembaran kertas di dalamnya hendak terlepas dari cengkeraman lem yang usang. Aku tersenyum tipis nan riang dalam hati mengetahui bahwa buku-buku itu akan mendapatkan percumbuan yang mesra dari tatapan mata yang penasaran. 

Buku-buku tentang apa yang akan kau baca; sastra novel fiksi tentang seorang manusia yang menghibur lara kehidupannya dengan tragedi yang gembira; atau tentang filsafat jiwa manusia yang akan kau gunakan sebagai dasar acuan untuk menilai kepribadian seseorang yang hendak kau taksir, atau tentang puisi-puisi yang strukturnya sudah tidak lagi beres, dan enggan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan mata-mata pembuat kebijakan. 

Atau, mungkin cukup sebuah buku teks mata kuliah, yang beberapa bagian isinya mungkin akan kau kutip atau secara tanpa pikir panjang kau jiplak begitu saja untuk menjadi bagian dari karya ilmiah yang harus dikumpulkan minggu depan. 

Ah, ternyata tidak satupun buku yang kau ambil untuk kau baca. Nada kecil dari telepon pintarmu memberitahukan bahwa ada obrolan penting dari seseorang yang masuk. 

Aku membayangkan itu adalah dari seorang yang tengah kau taksir. Kau taksir tentang kecantikan wajahnya untuk dibandingkan dengan wajah-wajah yang mungkin lebih cantik. Kau taksir tentang kehidupannya, dan dalam rentang waktu yang sebentar telah kau pastikan tentang masa depan dan juga mungkin saat-saat pengakhiran yang seolah-olah akan tetap seperti itu.

 Tidak akan ada perubahan. Kau taksir tentang tinggi dan berat badannya, kau taksir tentang payudara yang menggantung di dadanya, juga ukuran kutang yang membungkusnya. Kau taksir tentang bedak dan segala kosmetik yang dihabiskannya untuk memoles wajahnya. Kau taksir berapa biaya belanja yang mungkin akan kau keluarkan jika hidup bersamanya.

 "Asu!" aku mendengar nada gerutu dari mulutmu dan mataku pun melayu. Tubuhku pun molet untuk beralih kepada pemandangan sebuah tembok di sampingku. Dari balik tembok itu, terdengar gonggong-gonggongan anjing sebelah yang sedang dimandikan dengan wewangian-wewangian kembang kemenyan dan kembang mawar. 

Tampaknya anjing itu akan dijadikan persembahan untuk meredakan gerutuan-gerutuan yang terus menyembur dari mulut orang-orang yang sudah tidak betah dengan hujan-hujan yang waktu turunnya terlalu berjarak. Permandian dan persembahan anjing-anjing liar yang lagi-lagi akan ditayangkan dan diunggah langsung untuk menjadi mangsa monster data yang suatu saat akan dijadikan sumber kekuatan untuk menyapu habis ras yang telah mulai merenta bernama manusia. 

*** 

Akhirnya, kau berbicara juga kepadaku. Aku coba mendengarkan suara dan kata-katamu. Meskipun terdapat sebuah keengganan yang sangat besar untuk mendengarkan suara-suara selain yang muncul dari dalam diriku. 

"Tidur?" tanyamu di bibir pintu. 

"Hah?" tanyaku enggan. 

"Tidur?! Ada yang mencarimu," satu kalimat kau tambahkan setelah tanda tanya. 

"Siapa?" tanyaku enggan. 

"Orang," satu kata saja tanpa imbuhan jejalan kata-kata yang lain. 

"Oh ya, suruh masuk," kataku enggan. 

"Suruh masuk bagaimana? Dia tidak ada di ambang pintu rumah kita," dua kalimat langsung kau celotehkan yang mengantarkan pikiranku kepada citra tentang pintu rumah berpolitur cokelat yang terbuka, namun tidak ada siapapun di sana. 

Yang ada hanya angin yang lewat, yang menerbangkan debu-debu untuk menuju kepada batas langit cakrawala yang baru atau memenuhi lantai-lantai, juga perabotan-perabotan kayu (meja, kursi, rak buku), juga celah-celah jendela yang selalu setengah terbuka; juga di atas karpet merah kusam yang lebih dari setahun belum dicuci; juga mungkin telinga dan mataku. 

"Dia ada di mana?" tanyaku enggan, dan aku masih membelakangi tubuhnya yang berada di ambang pintu kamar. 

"Dia ada di sini," katamu penuh kebosanan, sambil menyodorkan sebuah kotak hitam gepeng di genggamanmu yang memerangkap cahaya dan gelombang makna di dalam medan jagad maya. 

"Apa katanya?" tanyaku enggan. 

"Dia ingin bicara denganmu!" 

"Hmm, bukankah itu katamu?" ku angkat tanganku hingga punggung-punggung jemariku memelototi hidung dan matanya. "Maksudmu bagaimana? Maksudmu itu apa?" aku menaksir sebuah kejengkelan dari nada suara yang kau lontarkan. 

"Dia ingin bicara denganmu!" tuturku dengan penuh penekanan pada setiap kata-kata itu. "Itu kata-katamu kan? Bukan katanya." "Sampean, terlalu rumit!," kau mengumpat lirih tepat dilubang telingaku yang menyerobong ke udara langit-langit kamar. "Dasar Asu!" 

"Ya, besok aku akan dikorbankan, seperti anjing-anjing yang baru dimandikan sesaat tadi. Walaupun aku tidak akan menggonggong sekeras mereka." 

"Terserah katamu," ucapmu sambil ngeloyor keluar kamar. 

"Ya, terserah kata-kata." 

*** 

Jika akhirnya kau bicara Asu, 

maka gonggongan-gonggongan keras di dalam kepalaku 

telah menyalak jauh sebelum aku mengenal kata itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun